Mengarusutamakan Pendidikan Kebencanaan

Rabu, 20 Januari 2021 - 06:30 WIB
SPAB dan Paradoks Burung Unta

Respons pemerintah terhadap pendidikan kebencanaan di antaranya mewujud pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Pemendikbud) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggraaan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Diundangkan pada pengujung 2019, Permendikbud ini menandai upaya pendidikan kebencanaan secara lebih definitif dan rinci. Dalam rilisnya, Sekretariat Nasional SPAB menyajikan berbagai petunjuk teknis bagi siswa dan pedoman bagi para pelatihnya dalam menghadapi situasi kebencanaan.

Pedoman dan acuan teknis dalam menghadapi situasi katastropik sangat diperlukan agar respons kebencanaan didasarkan pada sikap yang prosedural. Di berbagai belahan negara, langkah antisipatif menghadapi bencana alam bahkan sudah diperkuat dengan behavioral risk audit (BRA). BRA dijalankan untuk memastikan pelatihan manajemen risiko bencana berjalan secara rutin dan menjadi kesadaran bersama oleh semua pihak.

Digulirkannya konsep Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) menjadi warna baru menyusul berbagai kritik dan masukan terkait perlunya pendidikan kebencanaan. Dalam konsep ini, layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis layanan menjadi garda terdepan dalam konteks membangun masyarakat yang aman dari ancaman bencana.

Pendidikan kebencanaan diharapkan menumbuhkan sikap dan keterampilan mengelola fase sebelum, pada saat, dan setelah bencana terjadi. Di samping itu, diharapkan berkembang adanya pemahaman yang antisipatif terhadap bencana.

Namun demikian, gaung dan kampanye pendidikan kebencanaan ini terasa sayup-sayup terdengar. Masih belum terlihat upaya masif dan bersama-sama dalam mengembangkan dan menekankan pentingnya pendidikan kebencanaan.

Salah satu penyakit umum yang patut dihindari dalam urusan pekerjaan bersama adalah koordinasi yang tidak maksimal. SPAB yang melibatkan banyak pihak di dalamnya berpotensi menjadi program yang dijalankan sendiri-sendiri tanpa adanya kesatuan langkah.

Pandemi Covid-19 menjadi kendala tambahan dalam upaya persebaran informasi dan pelaksanaan dan pelatihan di lembaga pendidikan. Tentu sangat disayangkan, namun tidak bisa dihindari. Ide dan rancangan baik dalam SPAB dan berbagai petunjuk teknis turunannya terhambat oleh datangnya bencana pandemik yang datang lebih cepat.

Meski terlambat, SPAB sebagai rumusan penting pendidikan kebencanaan tetap harus didukung oleh berbagai pihak. Dukungan dan kolaborasi semua pihak dalam mengantisipasi bencana alam menjadi penting sebagaimana paradoks burung unta. Dalam The Ostrich Paradox, Why We Are Underprepare for Disasters (2017), Robert Meyer dan Howard Kunreuther menjelaskan bahwa burung unta adalah simbolisasi yang pas tentang keterbatasan kemampuan manusia dan bencana yang harus dihadapi.

Meskipun burung unta sering dicirikan sebagai burung malang yang mengubur kepalanya di pasir setiap kali ada bahaya, mereka sebenarnya adalah seniman pelarian yang sangat cerdik. Burung unta menggunakan kecepatan tinggi dalam berlari untuk mengatasi ketidakmampuan mereka untuk terbang.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More