Efektifkah PP Kebiri untuk Predator Seks Anak? Ini Kata Ahli
Selasa, 05 Januari 2021 - 11:37 WIB
JAKARTA - Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia , Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
PP tersebut diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 7 Desember 2020 dan diundangkan pada tanggal bersama. Pasal 25 PP ini menegaskan bahwa peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Dalam salinan PP, tercantum bahwa PP ini ada dengan pertimbangan untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Lantas, bakal efektifkan kebijakan baru tersebut?
(Baca: Berkesan Politik Pencitraan, PP Hukuman Kebiri Dinilai Macan Ompong)
Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, mengatakan, seperti halnya metode kontrasepsi berbasis kimia, kebiri kimia diselenggarakan beberapa kali. "PP 70/2020 tidak memuat pasal bahwa predator akan diberikan zat kimia itu secara berulang," katanya, Selasa (5/1/2021).
Kedua, kata Reza, PP 70/2020 menempatkan kebiri kimia sepenuhnya ditentukan oleh hakim atas diri predator. Dinihilkannya kehendak pelaku berisiko memantik penolakan bahkan amarah pelaku sehingga menjelma sebagai predator mysoped (lebih buas), dan justru akan mempertinggi risiko residivis pelaku.
"Ketiga, PP 70/2020, tidak memuat dasar logis bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak berbasis daring. Pelaku memang tidak melakukan secara fisik dengan korbannya. Namun secara virtual ia mampu memengaruhi target untuk merusak atau mencabuli dirinya sendiri," katanya.
(Baca: Dukung PP Kebiri Kimia, Komnas PA Sebut Ini Hadiah untuk Anak Indonesia)
Dalam situasi seperti itu, kata Reza, kebiri kimia menjadi kehilangan relevansinya. Padahal, kejahatan seksual berbasis daring sangat mungkin memakan lebih banyak korban.
PP tersebut diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 7 Desember 2020 dan diundangkan pada tanggal bersama. Pasal 25 PP ini menegaskan bahwa peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Dalam salinan PP, tercantum bahwa PP ini ada dengan pertimbangan untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Lantas, bakal efektifkan kebijakan baru tersebut?
(Baca: Berkesan Politik Pencitraan, PP Hukuman Kebiri Dinilai Macan Ompong)
Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, mengatakan, seperti halnya metode kontrasepsi berbasis kimia, kebiri kimia diselenggarakan beberapa kali. "PP 70/2020 tidak memuat pasal bahwa predator akan diberikan zat kimia itu secara berulang," katanya, Selasa (5/1/2021).
Kedua, kata Reza, PP 70/2020 menempatkan kebiri kimia sepenuhnya ditentukan oleh hakim atas diri predator. Dinihilkannya kehendak pelaku berisiko memantik penolakan bahkan amarah pelaku sehingga menjelma sebagai predator mysoped (lebih buas), dan justru akan mempertinggi risiko residivis pelaku.
"Ketiga, PP 70/2020, tidak memuat dasar logis bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak berbasis daring. Pelaku memang tidak melakukan secara fisik dengan korbannya. Namun secara virtual ia mampu memengaruhi target untuk merusak atau mencabuli dirinya sendiri," katanya.
(Baca: Dukung PP Kebiri Kimia, Komnas PA Sebut Ini Hadiah untuk Anak Indonesia)
Dalam situasi seperti itu, kata Reza, kebiri kimia menjadi kehilangan relevansinya. Padahal, kejahatan seksual berbasis daring sangat mungkin memakan lebih banyak korban.
tulis komentar anda