Efektifkah PP Kebiri untuk Predator Seks Anak? Ini Kata Ahli
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia , Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
PP tersebut diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 7 Desember 2020 dan diundangkan pada tanggal bersama. Pasal 25 PP ini menegaskan bahwa peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Dalam salinan PP, tercantum bahwa PP ini ada dengan pertimbangan untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Lantas, bakal efektifkan kebijakan baru tersebut?
(Baca: Berkesan Politik Pencitraan, PP Hukuman Kebiri Dinilai Macan Ompong)
Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, mengatakan, seperti halnya metode kontrasepsi berbasis kimia, kebiri kimia diselenggarakan beberapa kali. "PP 70/2020 tidak memuat pasal bahwa predator akan diberikan zat kimia itu secara berulang," katanya, Selasa (5/1/2021).
Kedua, kata Reza, PP 70/2020 menempatkan kebiri kimia sepenuhnya ditentukan oleh hakim atas diri predator. Dinihilkannya kehendak pelaku berisiko memantik penolakan bahkan amarah pelaku sehingga menjelma sebagai predator mysoped (lebih buas), dan justru akan mempertinggi risiko residivis pelaku.
"Ketiga, PP 70/2020, tidak memuat dasar logis bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak berbasis daring. Pelaku memang tidak melakukan secara fisik dengan korbannya. Namun secara virtual ia mampu memengaruhi target untuk merusak atau mencabuli dirinya sendiri," katanya.
(Baca: Dukung PP Kebiri Kimia, Komnas PA Sebut Ini Hadiah untuk Anak Indonesia)
Dalam situasi seperti itu, kata Reza, kebiri kimia menjadi kehilangan relevansinya. Padahal, kejahatan seksual berbasis daring sangat mungkin memakan lebih banyak korban.
Keempat, PP 70/2020 mengatur bahwa kebiri kimia tidak dikenakan pada pelaku yang berusia anak-anak. Dinamika psikoseksual individu anak-anak dan individu dewasa sangat berbeda. Bahkan antar sesama anak, karena juga terbagi ke dalam sekian tahap perkembangan, dinamika psikoseksual mereka juga berlainan satu sama lain.
"Pelaku 16 tahun dan pelaku berumur 6 tahun tentu berbeda tajam, walau mereka masih sama-sama berada dalam kategori anak-anak. Bagi pelaku berumur 16 tahun itu, karena kematangan seksualnya sudah berada pada fase lanjut, maka kebiri kimia justru bisa bermanfaat positif," tuturnya.
(Baca: Tak Bisa Dikebiri, Pelaku Pemerkosaan di Tangerang Kebanyakan Anak-anak)
Kelima, kata Reza, bayangkan predator 15 tahun baru keluar penjara setelah lepas dari usia 18 tahun. Merujuk PP 70/2020 ia tidak akan diberikan tindakan kebiri kimia karena masih anak-anak saat dipidana. "Padahal, justru setelah melewati usia anak-anak itulah dorongan seksualnya baru menjadi predisposisi jahat," urainya.
Keenam, dalam PP 70/2020 kebiri kimia bukan pemberatan sanksi, melainkan tindakan yang dilangsungkan bersama rehabilitasi. Karena bukan penghukuman, dokter tampaknya berpeluang menjadi eksekutor kebiri.
Disisi lain, karena kebiri merupakan tindakan maka persetujuan pelaku harus dipenuhi. Tanpa consent, kebiri kimia justru akan menjadi perlakuan yang dipaksakan kepada diri pelaku. "Tidakkah ini melanggar etika profesi?" katanya.
Lihat Juga: Polda Jateng Ungkap Kasus Kekerasan Seksual Kakak Adik di Purworejo, 3 Tersangka Ditangkap
PP tersebut diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 7 Desember 2020 dan diundangkan pada tanggal bersama. Pasal 25 PP ini menegaskan bahwa peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Dalam salinan PP, tercantum bahwa PP ini ada dengan pertimbangan untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Lantas, bakal efektifkan kebijakan baru tersebut?
(Baca: Berkesan Politik Pencitraan, PP Hukuman Kebiri Dinilai Macan Ompong)
Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, mengatakan, seperti halnya metode kontrasepsi berbasis kimia, kebiri kimia diselenggarakan beberapa kali. "PP 70/2020 tidak memuat pasal bahwa predator akan diberikan zat kimia itu secara berulang," katanya, Selasa (5/1/2021).
Kedua, kata Reza, PP 70/2020 menempatkan kebiri kimia sepenuhnya ditentukan oleh hakim atas diri predator. Dinihilkannya kehendak pelaku berisiko memantik penolakan bahkan amarah pelaku sehingga menjelma sebagai predator mysoped (lebih buas), dan justru akan mempertinggi risiko residivis pelaku.
"Ketiga, PP 70/2020, tidak memuat dasar logis bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak berbasis daring. Pelaku memang tidak melakukan secara fisik dengan korbannya. Namun secara virtual ia mampu memengaruhi target untuk merusak atau mencabuli dirinya sendiri," katanya.
(Baca: Dukung PP Kebiri Kimia, Komnas PA Sebut Ini Hadiah untuk Anak Indonesia)
Dalam situasi seperti itu, kata Reza, kebiri kimia menjadi kehilangan relevansinya. Padahal, kejahatan seksual berbasis daring sangat mungkin memakan lebih banyak korban.
Keempat, PP 70/2020 mengatur bahwa kebiri kimia tidak dikenakan pada pelaku yang berusia anak-anak. Dinamika psikoseksual individu anak-anak dan individu dewasa sangat berbeda. Bahkan antar sesama anak, karena juga terbagi ke dalam sekian tahap perkembangan, dinamika psikoseksual mereka juga berlainan satu sama lain.
"Pelaku 16 tahun dan pelaku berumur 6 tahun tentu berbeda tajam, walau mereka masih sama-sama berada dalam kategori anak-anak. Bagi pelaku berumur 16 tahun itu, karena kematangan seksualnya sudah berada pada fase lanjut, maka kebiri kimia justru bisa bermanfaat positif," tuturnya.
(Baca: Tak Bisa Dikebiri, Pelaku Pemerkosaan di Tangerang Kebanyakan Anak-anak)
Kelima, kata Reza, bayangkan predator 15 tahun baru keluar penjara setelah lepas dari usia 18 tahun. Merujuk PP 70/2020 ia tidak akan diberikan tindakan kebiri kimia karena masih anak-anak saat dipidana. "Padahal, justru setelah melewati usia anak-anak itulah dorongan seksualnya baru menjadi predisposisi jahat," urainya.
Keenam, dalam PP 70/2020 kebiri kimia bukan pemberatan sanksi, melainkan tindakan yang dilangsungkan bersama rehabilitasi. Karena bukan penghukuman, dokter tampaknya berpeluang menjadi eksekutor kebiri.
Disisi lain, karena kebiri merupakan tindakan maka persetujuan pelaku harus dipenuhi. Tanpa consent, kebiri kimia justru akan menjadi perlakuan yang dipaksakan kepada diri pelaku. "Tidakkah ini melanggar etika profesi?" katanya.
Lihat Juga: Polda Jateng Ungkap Kasus Kekerasan Seksual Kakak Adik di Purworejo, 3 Tersangka Ditangkap
(muh)