Dakwah Kultural Dinilai Menjaga Harmoni dalam Beragama
Kamis, 10 Desember 2020 - 15:05 WIB
JAKARTA - Mengacu pengalaman para ulama terdahulu dari mulai generasi Wali Songo hingga hari ini, maka mereka ini memiliki konsep koridor berdakwah yang sangat luar biasa.
Mereka menggunakan metode dakwah kultural, yaitu dakwah yang menggunakan pendekatan kultur dan budaya nusantara.
Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) Nasional, Dr Adnan Anwar mengatakan, budaya Nusantara terkenal dengan adi luhung, mengandalkan etika dan moral.
Hal tersebut yang digunakan ulama dari sejak zaman Wali Songo hingga hari ini. Inilah yang kemudian menyebabkan terjadi Harmoni dalam beragama.
”Di Nusantara ini terjadi harmoni beragama. Itu karena starategi yang tepat, yakni dakwah kultural. Meskipun dalam konteks Islam dikenal ada amar ma'ruf nahi mungkar, yang mana amar ma'ruf itu menyiarkan perbuatan yang baik dan nahi mungkar itu mencegah kejahatan yang kemungkaran. Tapi nahi mungkar nya juga dengan ilmu bil Ma'ruf . Mencegah kemungkaran dengan cara-cara yang baik dan santun,” ujar Adnan di Jakarta, Kamis (10/12/2020).
Adnan mencontohkan pada zaman KH As’ad Syamsul Arifin yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Syafi'iyah di Situbondo, kemudian KHi Ali Ma’shum (Rais Aam Syuriyah PBNU periode 1980-1984) itu ketika mengkritik pemerintahan zaman Soeharto itu tidak menggunakan metode terbuka. Tapi langsung tabbayun mendatangi Soeharto.
”Mereka datang langsung bersilaturahmi dengan Pak Harto dan ber-tabbayun terhadap masalah yang berkembang di masyarakat. Merek tidak mau melakukan konfrontasi terbuka terhadap pemerintah. Karena tahu betul bahwa fatwanya ulama itu memiliki pengaruh luar biasa terhadap umat,” tuturnya. ( )
Melalui cara-cara seperti itu, sambung dia, stabilitas negara tetap terjaga. Sayangnya, kata dia, metode tabbayun yang tertutup ini sudah mulai ditinggalkan, apalagi oleh orang-orang atau kelompok yang mengaku sebagai ulama tapi tidak menggunakan cara-cara ulama yang benar di dalam menyelesaikan masalah itu.
”Mereka iba ratnya sekarang ini menggunakan metode jalanan. Sehingga situasi negara dan bangsa itu menjadi ruwet dan rusuh pada hari ini karena mereka yang mengaku sebagai ulama ini tidak menggunakan cara-cara ulama yang benar, sehingga tidak menyelesaikan masalah,” ucapnya. (Baca juga: Rektor UMI Buka Pelatihan Dakwah Digital Karyawan )
Mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBNU ini juga menyampaikan jika ada ulama yang menyelesaikan masalah kepada orang yang awam dengan menggunakan cara-cara atau pidato yang menyebarkan kebencian, hal itu tidak benar.
Dia menyebut ulama ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sebagai Al Ulama Warosatul Anbiya atau pewaris para Nabi. ”Nah para ulama kita inilah yang pada saat negara ini merdeka, mereka bersepakat dengan para pendiri bangsa untuk mendirikan negara yang berbasis negara Pancasila. Tidak memilih negara berbasis agama tetapi negara berbasis Pancasila dan UUD 1945,” tuturnya.
Mereka menggunakan metode dakwah kultural, yaitu dakwah yang menggunakan pendekatan kultur dan budaya nusantara.
Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) Nasional, Dr Adnan Anwar mengatakan, budaya Nusantara terkenal dengan adi luhung, mengandalkan etika dan moral.
Hal tersebut yang digunakan ulama dari sejak zaman Wali Songo hingga hari ini. Inilah yang kemudian menyebabkan terjadi Harmoni dalam beragama.
”Di Nusantara ini terjadi harmoni beragama. Itu karena starategi yang tepat, yakni dakwah kultural. Meskipun dalam konteks Islam dikenal ada amar ma'ruf nahi mungkar, yang mana amar ma'ruf itu menyiarkan perbuatan yang baik dan nahi mungkar itu mencegah kejahatan yang kemungkaran. Tapi nahi mungkar nya juga dengan ilmu bil Ma'ruf . Mencegah kemungkaran dengan cara-cara yang baik dan santun,” ujar Adnan di Jakarta, Kamis (10/12/2020).
Adnan mencontohkan pada zaman KH As’ad Syamsul Arifin yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Syafi'iyah di Situbondo, kemudian KHi Ali Ma’shum (Rais Aam Syuriyah PBNU periode 1980-1984) itu ketika mengkritik pemerintahan zaman Soeharto itu tidak menggunakan metode terbuka. Tapi langsung tabbayun mendatangi Soeharto.
”Mereka datang langsung bersilaturahmi dengan Pak Harto dan ber-tabbayun terhadap masalah yang berkembang di masyarakat. Merek tidak mau melakukan konfrontasi terbuka terhadap pemerintah. Karena tahu betul bahwa fatwanya ulama itu memiliki pengaruh luar biasa terhadap umat,” tuturnya. ( )
Melalui cara-cara seperti itu, sambung dia, stabilitas negara tetap terjaga. Sayangnya, kata dia, metode tabbayun yang tertutup ini sudah mulai ditinggalkan, apalagi oleh orang-orang atau kelompok yang mengaku sebagai ulama tapi tidak menggunakan cara-cara ulama yang benar di dalam menyelesaikan masalah itu.
”Mereka iba ratnya sekarang ini menggunakan metode jalanan. Sehingga situasi negara dan bangsa itu menjadi ruwet dan rusuh pada hari ini karena mereka yang mengaku sebagai ulama ini tidak menggunakan cara-cara ulama yang benar, sehingga tidak menyelesaikan masalah,” ucapnya. (Baca juga: Rektor UMI Buka Pelatihan Dakwah Digital Karyawan )
Mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBNU ini juga menyampaikan jika ada ulama yang menyelesaikan masalah kepada orang yang awam dengan menggunakan cara-cara atau pidato yang menyebarkan kebencian, hal itu tidak benar.
Dia menyebut ulama ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sebagai Al Ulama Warosatul Anbiya atau pewaris para Nabi. ”Nah para ulama kita inilah yang pada saat negara ini merdeka, mereka bersepakat dengan para pendiri bangsa untuk mendirikan negara yang berbasis negara Pancasila. Tidak memilih negara berbasis agama tetapi negara berbasis Pancasila dan UUD 1945,” tuturnya.
(dam)
Lihat Juga :
tulis komentar anda