Layanan TBC Tak Boleh Dihentikan, Tetap Agresif Meski di Masa Pandemi

Kamis, 03 Desember 2020 - 14:43 WIB
TBC masih menjadi masalah kesehatan global hingga sekarang. Sebagai penyakit menular, TBC menjadi pembunuh yang paling mematikan di dunia setelah HIV.
JAKARTA - TBC masih menjadi masalah kesehatan global hingga sekarang. Sebagai penyakit menular, TBC menjadi pembunuh yang paling mematikan di dunia setelah HIV. Indonesia termasuk delapan negara yang menyumbang 2/3 kasus TBC di seluruh dunia. Bahkan menempati posisi kedua setelah India dengan kasus sebanyak 845.000 dengan kematian sebanyak 98.000 atau setara dengan 11 kematian/jam, ini tentu sangat membahayakan, di lain sisi baru sekitar 568 ribuan kasus yang baru ternotifikasi, sementara ada sekitar 33% kasus TBC yang belum ditemukan di Indonesia

Apa perbedaan TBC dan Covid-19?

TBC dan Covid-19 memiliki kesamaan, yaitu menular melalui droplet dan udara, serta menyerang bagian paru paru sehingga gejalanyapun kurang lebih sama, antara lain batuk, sesak nafas, badan letih lesu, demam meriang. TBC disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium tuberculosis, sedangkan Covid-19 disebabkan oleh Virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2), sehingga menyebabkan penyakit Coronavirus Disease-2019 (Covid-19).

Bakteri dan virus adalah jenis patogen yang bisa menyebabkan infeksi berbahaya. Memang sulit membedakan antara infeksi virus dan bakteri karena memiliki banyak kesamaan.

Sebagian besar pasien TBC adalah usia produktif (15-55 tahun), sehingga akan menurunkan produktifitas kerja dan kualitas hidup. Namun Salah satu perbedaan yang mendasar antara 2 penyakit ini adalah, jika Covid-19 menunjukkan masa inkubasi yang relatif singkat, 0-14 hari, sedangkan TBC bisa menjadi laten, atau dormain, atau tidur di dalam tubuh seseorang, untuk nanti menjadi bangkit dalam rentang waktu yang lama, khususnya ketika daya tahan tubuh seseorang tersebut sedang lemah.





Penemuan kasus TBC mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2019 ke tahun 2020. Pengobatan penderita TBC dan pengambilan obat ke layanan kesehatan mengalami kendala di kala pandemi, karena adanya pembatasan diberbagai sektor. Kegawatdaruratan pandemi Covid-19, menyebabkan rasa takut masyarakat untuk memeriksakan gejalanya ke layanan kesehatan, Tenaga Kesehatan beralih fokus untuk penanganan Covid-19, belum lagi mengenai dukungan sosial, atau pendampingan pasien dalam menyelesaikan pengobatan secara langsung menjadi sangat terbatas.

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan protokol yang mengatur layanan Tuberkulosis selama fase pandemi Covid-19. Protokol Kesehatan tersebut telah didiseminasikan secara nasional, yaitu layanan TBC tidak boleh dihentikan karena jika putus berobat akan menjadi Resistan Obat dan akan menularkan kepada yang kontak, Penunjukan fasyankes rujukan sementara dan terpisah dengan fasyankes Covid-19, Penunjukkan faskes lain untuk layanan laboratorium untuk diagnosis TBC dan dilakukan penyesuaian dengan penanganan COVID-19, menggunakan teknologi digital untuk memantau pengawasan minum obat pasien TBC, mengajak dan melibatkan komunitas setempat untuk pendampingan pasien. Kemenkes menghimbau agar pengobatan TBC tetap berjalan tanpa pasien harus terlalu sering mengunjungi fasyankes.

Presiden Jokowi memberikan arahan “Pelacakan secara agresif untuk menemukan penderita TBC sehingga dapat menumpang proses pencarian untuk COVID-19, dengan melakukan contact tracing, yakni dengan Investigasi kontak dan melacak kontak erat dan dilakukan skrining gejala.”
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More