Perasaan Tidak Adil Picu Kebersamaan Kolektif Berhimpun dalam Kelompok Alumni 212
Kamis, 03 Desember 2020 - 13:22 WIB
JAKARTA - Sejumlah tokoh yang selama ini berseberangan dengan Pemerintahan Joko Widodo ( Jokowi ) menghadiri kegiatan Dialog Nasional 212 yang dilaksanakan secara virtual, kemarin. Mereka di antaranya adalah Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS), Gatot Nurmantyo, Amien Rais, Din Syamsuddin, Rocky Gerung, Fadli Zon, Mardani Ali Sera, Refly Harun, Said Didu, Ahmad Dhani, hingga Ekonom Senior Rizal Ramli.
Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Siti Zuhro menilai kelompok Alumni 212 itu bisa jadi tetap eksis ke depannya selama misinya belum terwujud. "Ke depan 212 bisa jadi tetap eksis selama misinya belum terwujud. Mereka tak hanya solid tapi akan tetap menjaga solidaritas antar mereka," ujar Siti Zuhro kepada SINDOnews, Rabu (2/11/2020). (Baca juga: Dialog Nasional 212 Kubur Parpol Lama, Untungkan Partai Ummat dan Masyumi)
Siti Zuhro mengatakan sistem demokrasi mensyaratkan adanya checks and balances antara legislatif dan eksekutif. "Sistem demokrasi juga membolehkan dan memberi peluang adanya oposisi sebagai pengimbang penguasa," jelasnya.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Dia menuturkan Societal forces (kekuatan sosial) atau kelompok strategis diperlukan untuk melakukan pressure terhadap pengambil kebijakan terkait kebijakan publik yang dinilai merugikan rakyat. "Sebagai kelompok kepentingan atau pressure group, societal forces atau civil society akan melakukan kritisisi thd kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan rakyat," tandasnya.
Dia melanjutkan sejak 1999 jumlah societal forces bertambah dan mereka sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah. Apalagi dengan adanya pemilu dan pilkada langsung, dia membeberkan jumlahnya tak hanya bertambah tapi juga makin terfragmentasi. (Baca juga:Tokoh Oposisi Kumpul di Dialog Nasional 212, Kekuatan Baru Pemilu 2024?)
"Munculnya 212 tak bisa dilepaskan dari adanya akumulasi rasa kecewa dan tidak puas karena aspirasi mereka yang tidak diakomodasi. Perasaan tidak adil telah memicu kebersamaan kolektif mereka tetap berhimpun dalam komunitas 212," pungkasnya.
Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Siti Zuhro menilai kelompok Alumni 212 itu bisa jadi tetap eksis ke depannya selama misinya belum terwujud. "Ke depan 212 bisa jadi tetap eksis selama misinya belum terwujud. Mereka tak hanya solid tapi akan tetap menjaga solidaritas antar mereka," ujar Siti Zuhro kepada SINDOnews, Rabu (2/11/2020). (Baca juga: Dialog Nasional 212 Kubur Parpol Lama, Untungkan Partai Ummat dan Masyumi)
Siti Zuhro mengatakan sistem demokrasi mensyaratkan adanya checks and balances antara legislatif dan eksekutif. "Sistem demokrasi juga membolehkan dan memberi peluang adanya oposisi sebagai pengimbang penguasa," jelasnya.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Dia menuturkan Societal forces (kekuatan sosial) atau kelompok strategis diperlukan untuk melakukan pressure terhadap pengambil kebijakan terkait kebijakan publik yang dinilai merugikan rakyat. "Sebagai kelompok kepentingan atau pressure group, societal forces atau civil society akan melakukan kritisisi thd kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan rakyat," tandasnya.
Dia melanjutkan sejak 1999 jumlah societal forces bertambah dan mereka sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah. Apalagi dengan adanya pemilu dan pilkada langsung, dia membeberkan jumlahnya tak hanya bertambah tapi juga makin terfragmentasi. (Baca juga:Tokoh Oposisi Kumpul di Dialog Nasional 212, Kekuatan Baru Pemilu 2024?)
"Munculnya 212 tak bisa dilepaskan dari adanya akumulasi rasa kecewa dan tidak puas karena aspirasi mereka yang tidak diakomodasi. Perasaan tidak adil telah memicu kebersamaan kolektif mereka tetap berhimpun dalam komunitas 212," pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda