Teror di Sigi, IPW Ingatkan Potensi Aksi Terorisme Jelang Akhir Tahun
Senin, 30 November 2020 - 07:59 WIB
JAKARTA - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) , Neta S Pane mengatakan, kasus penyerangan dan pembunuhan satu keluarga di Sigi, Sulawesi Tengah yang diduga dilakukan jaringan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) semakin menunjukkan bahwa kelompok radikal dan garis keras keagamaan yang bersekutu dengan terorisme masih bercokol kuat di Indonesia.
Menurut Neta, sekecil apapun celah, mereka gunakan untuk membuat teror yang menakutkan masyarakat. Untuk itu Polri perlu bekerja cepat menangkap dan membongkar jaringannya.
"Sebab apa yang mereka lakukan di Sigi seperti sebuah sinyal bahwa kelompok radikal terorisme itu akan kembali menebar teror di berbagai tempat," kata Neta saat dihubungi SINDOnews, Senin (30/11/2020). ( )
Untuk itu, Neta meminta jajaran kepolisian, terutama jajaran intelijen, Baintelkam, Densus 88, dan BNPT perlu mewaspadai akan munculnya aksi terorisme di Indonesia menjelang akhir tahun ini. Ia melihat, dengan maraknya aksi kerumunan massa dan meluasnya gerakan intoleransi akhir-akhir ini telah membuat kalangan radikal dan jaringan terorisme seakan mendapat angin untuk kembali beraksi secara masif.
Neta mengatakan, dari pendataan lembaganya, simpatisan ormas yang sering melakukan kerumunan massa pernah ada yang terlibat dalam aksi terorisme. Di 2017 jumlah mereka yang ditangkap Polri mencapai 37 orang dari berbagai daerah, mulai dari Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan wilayah lainnya.
Beberapa di antaranya, lanjut dia, sempat ditahan di Nusa Kambangan, Gunung Sindur Bogor dan LP lainnya. Namun kini mereka sudah bebas dan tidak terlacak keberadaannya. "Keterlibatan mereka dalam aksi terorisme mulai dari menyembunyikan buronan terorisme hingga melakukan aksi teror itu sendiri," katanya. (
)
Neta khawatir dengan meluasnya aksi-aksi kerumunan massa dan gerakan intoleransi belakangan ini membuat mereka kembali bermanuver dan melakukan aksi teror. Saat ini jumlah narapidana terorisme yang tersebar di sejumlah lembaga pemasyarakat lebih dari 500 orang. Napi terorisme yang sudah bebas dan selesai menjalani hukuman dibina pemerintah melalui program deradikalisasi.
"Namun para mantan napi yang tidak terlacak keberadaannya memang perlu diwaspadai agar tidak bermanuver untuk melakukan aksi teror kembali," ujarnya.
Lebih lanjut Neta berharap, Kabaintelkam Polri perlu bekerja ekstra keras mencermati hal ini agar jajaran kepolisian tidak kecolongan. Sebab, dalam kerumunan massa akhir-akhir ini, terutama saat kedatangan Rizieq Shihab ke Tanah Air, Baintelkam Polri seperti kecolongan, karena tidak membuat pemetaan komprehensif antisipasi yang perlu dilakukan Polri. ( )
Dia menilai, aksi-aksi kerumunan massa seperti terbiarkan dan tidak terantisipasi oleh Baintelkam, sehingga tidak hanya melanggar protokol kesehatan, tapi sempat mengganggu jadwal penerbangan di bandara Soetta dan kemacetan para di berbagai tempat.
"Menjelang akhir tahun ini Baintelkam Polri perlu memetakan situasi dan kondisi yang ada sehingga situasi Kamtibmas benar-benar terkendali," kata Neta.
Menurut Neta, sekecil apapun celah, mereka gunakan untuk membuat teror yang menakutkan masyarakat. Untuk itu Polri perlu bekerja cepat menangkap dan membongkar jaringannya.
"Sebab apa yang mereka lakukan di Sigi seperti sebuah sinyal bahwa kelompok radikal terorisme itu akan kembali menebar teror di berbagai tempat," kata Neta saat dihubungi SINDOnews, Senin (30/11/2020). ( )
Untuk itu, Neta meminta jajaran kepolisian, terutama jajaran intelijen, Baintelkam, Densus 88, dan BNPT perlu mewaspadai akan munculnya aksi terorisme di Indonesia menjelang akhir tahun ini. Ia melihat, dengan maraknya aksi kerumunan massa dan meluasnya gerakan intoleransi akhir-akhir ini telah membuat kalangan radikal dan jaringan terorisme seakan mendapat angin untuk kembali beraksi secara masif.
Neta mengatakan, dari pendataan lembaganya, simpatisan ormas yang sering melakukan kerumunan massa pernah ada yang terlibat dalam aksi terorisme. Di 2017 jumlah mereka yang ditangkap Polri mencapai 37 orang dari berbagai daerah, mulai dari Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan wilayah lainnya.
Beberapa di antaranya, lanjut dia, sempat ditahan di Nusa Kambangan, Gunung Sindur Bogor dan LP lainnya. Namun kini mereka sudah bebas dan tidak terlacak keberadaannya. "Keterlibatan mereka dalam aksi terorisme mulai dari menyembunyikan buronan terorisme hingga melakukan aksi teror itu sendiri," katanya. (
Baca Juga
Neta khawatir dengan meluasnya aksi-aksi kerumunan massa dan gerakan intoleransi belakangan ini membuat mereka kembali bermanuver dan melakukan aksi teror. Saat ini jumlah narapidana terorisme yang tersebar di sejumlah lembaga pemasyarakat lebih dari 500 orang. Napi terorisme yang sudah bebas dan selesai menjalani hukuman dibina pemerintah melalui program deradikalisasi.
"Namun para mantan napi yang tidak terlacak keberadaannya memang perlu diwaspadai agar tidak bermanuver untuk melakukan aksi teror kembali," ujarnya.
Lebih lanjut Neta berharap, Kabaintelkam Polri perlu bekerja ekstra keras mencermati hal ini agar jajaran kepolisian tidak kecolongan. Sebab, dalam kerumunan massa akhir-akhir ini, terutama saat kedatangan Rizieq Shihab ke Tanah Air, Baintelkam Polri seperti kecolongan, karena tidak membuat pemetaan komprehensif antisipasi yang perlu dilakukan Polri. ( )
Dia menilai, aksi-aksi kerumunan massa seperti terbiarkan dan tidak terantisipasi oleh Baintelkam, sehingga tidak hanya melanggar protokol kesehatan, tapi sempat mengganggu jadwal penerbangan di bandara Soetta dan kemacetan para di berbagai tempat.
"Menjelang akhir tahun ini Baintelkam Polri perlu memetakan situasi dan kondisi yang ada sehingga situasi Kamtibmas benar-benar terkendali," kata Neta.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda