Puasa di Roma, Panasnya Pol, Jalanan Sampai Berasap
Senin, 11 Mei 2020 - 15:49 WIB
Roma, ibu kota Italia ini sekarang dikenal sebagai pusat penyebaran agama Katolik. Tapi nenek moyang penghuni kota ini, yakni bangsa Romawi sangat dekat dengan agama Islam. Bangsa ini bahkan menjadi satu surat tersendiri dalam kitab suci Al Quran. Inti dari surat itu adalah Allah senantiasa membela orang yang beriman. Kala surat itu diturunkan, bangsa Romawi termasuk orang-orang yang mengakui keesaan tuhan dengan tidak menyembah berhala. Jejak Islam di Italia dimulai pada abad ke 9, saat Sisilia dan beberapa wilayah di Semenanjung Italia menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Salah satu sisa kejayaan Islam di sana adalah Katedral Lucera yang dulunya sebuah masjid.
Saat ini di Roma yang notabene hanya sepelemparan batu dari Vatikan juga berdiri sebuah masjid : Grande Moschea atau Masjid Agung. Tempat peribadatan yang mampu menampung sekitar 40.000 jemaah merupakan simbol toleransi lantaran berdekatan dengan Vatikan dan sinagog Yahudi. Warga muslim tercatat sebagai pemeluk agama terbesar kedua di Italia. Masjid yang dibangun di atas lahan seluas 30 ribu meter persegi itu menjadi tempat berkumpul umat Islam di sana. Menurut data Pew Research Center 2015 umat Islam di Italia sekitar 2,2 juta jiwa. Sebelum Masjid Agung Roma berdiri, warga muslim Italia yang berasal dari Maroko, Albania, Tunisia, Senegal, Mesir, Aljazair, dan negara-negara Afrika Utara serta Timur Tengah terbiasa melaksanakan kegiatan ibadah di dua masjid besar yang ada di Kota Catania dan Milan.
Masjid Agung Roma didirikan atas inisiatif Raja Arab Saudi, Faisal bin Abdul Azis bin Abdurrahman As Saud. Menurut Raja Faisal, Kota Roma, tempat menetap sekitar 40 ribu Muslim pada 1970-an, sudah seharusnya memiliki sebuah masjid.
Rencana Raja Faisal itu baru terealisasi pada 1974, ketika Presiden Giovanni Leone berkunjung ke Arab Saudi. Pada pertemuan kedua pemimpin itu, Raja Faisal mengemukakan, rencana pembangunan masjid itu selain sebagai tempat ibadah dan kegiatan umat Islam di Italia, juga bisa dimanfaatkan untuk menjalin hubungan akrab serta berdialog antara umat Islam dan Kristen. Bukan apa-apa, dulu di negeri ini memang sering terjadi gejolak dan sentimen keagamaan.
Presiden Giovanni sepakat, dengan syarat Raja Faisal harus menyediakan seluruh dananya. Faisal mengangguk. Ia lantas mengucurkan dana tak kurang dari 30 juta dolar AS untuk pembangunan masjid di atas lahan seluas 30.000 meter persegi. Singkat kata, pada 11 Desember 1984, dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Masjid Agung Roma oleh Presiden Italia saat itu, Alessandro Pertini. Dan peresmiannya dilakukan pada 23 Muharram 1416 H atau bertepatan dengan tanggal 21 Juni 1995.
Tentu saja masjid itu juga menjadi tempat berkumpul bagi warga negara dan diaspora Indonesia di Italia yang beragama Islam. Terutama saat ibadah salat Jumat. Biasanya yang menjadi imam salat, seorang warga Maroko. “Sepengetahuan saya belum pernah ada orang Indonesia mengimami salat di masjid itu,” tutur Rusli Rudiana, staf KBRI Roma kepada SINDOnews.
Selain Masjid Agung, di sebelah selatan Roma juga terdapat sebuah masjid kecil. Sebelum wabah Covid 19 menyerang, setiap Jumat maupun waktu berbuka puasa di depan masjid selalu ramai oleh pedagang makanan. “Pada umumnya mereka berasal dari Afrika Utara. Mereka berkumpul, ngobrol-ngobrol sambal makan,” katanya. WNI di Italia terbagi dalam naungan dua perwakilan. Di KBRI Roma ada sekitar 3.000 orang, dan di Vatikan kurang lebih 1.600 orang. “Yang di Vatikan mayoritas biarawan dan biarawati,” ujar Rusli. “Selain bersekolah, mereka bekerja sosial di SD, SMP, SMA milik ordo Katolik dan rumah jompo.”
Warga Indonesia di lingkungan KBRI Roma terdiri dari beragam profesi. Ada pekerja pabrik, karyawan toko, ibu rumah tangga, hingga pelaut. Sedangkan yang di bawah KBRI Vatikan hampir semuanya bersekolah S2 dan S3 di universitas milik kepausan. Dalam kondisi normal, saat Ramadan tiba warga Indonesia berkumpul di KBRI Roma untuk melakukan iftar dan salat tarawih seminggu sekali. Hidangan disediakan oleh KBRI. Menunya tentu saja masakan khas Indonesia. “Justru menu asli Indonesia yang ditunggu dan dicari oleh mereka,“ katanya.
Waktu puasa di Eropa Selatan terbilang panjang. Azan subuh pukul 04.30 dan waktu salat magrib baru jatuh pada pukul 20.20. “Lapar sih enggak, cuma hausnya itu terasa banget,” sahutnya seraya menceritakan bulan Ramadan beberapa tahun lalu, suhu bisa mencapai 39 derajat Celcius. “Bayangkan saja, jalanan sampai berasap.” Warga Italia sendiri pada umumnya mengetahui dan terbiasa dengan kehadiran bulan Ramadan. Mereka sering berinteraksi dengan kaum pendatang dari negara-negara Afrika Utara yang mayoritas muslim
Saat ini di Roma yang notabene hanya sepelemparan batu dari Vatikan juga berdiri sebuah masjid : Grande Moschea atau Masjid Agung. Tempat peribadatan yang mampu menampung sekitar 40.000 jemaah merupakan simbol toleransi lantaran berdekatan dengan Vatikan dan sinagog Yahudi. Warga muslim tercatat sebagai pemeluk agama terbesar kedua di Italia. Masjid yang dibangun di atas lahan seluas 30 ribu meter persegi itu menjadi tempat berkumpul umat Islam di sana. Menurut data Pew Research Center 2015 umat Islam di Italia sekitar 2,2 juta jiwa. Sebelum Masjid Agung Roma berdiri, warga muslim Italia yang berasal dari Maroko, Albania, Tunisia, Senegal, Mesir, Aljazair, dan negara-negara Afrika Utara serta Timur Tengah terbiasa melaksanakan kegiatan ibadah di dua masjid besar yang ada di Kota Catania dan Milan.
Masjid Agung Roma didirikan atas inisiatif Raja Arab Saudi, Faisal bin Abdul Azis bin Abdurrahman As Saud. Menurut Raja Faisal, Kota Roma, tempat menetap sekitar 40 ribu Muslim pada 1970-an, sudah seharusnya memiliki sebuah masjid.
Rencana Raja Faisal itu baru terealisasi pada 1974, ketika Presiden Giovanni Leone berkunjung ke Arab Saudi. Pada pertemuan kedua pemimpin itu, Raja Faisal mengemukakan, rencana pembangunan masjid itu selain sebagai tempat ibadah dan kegiatan umat Islam di Italia, juga bisa dimanfaatkan untuk menjalin hubungan akrab serta berdialog antara umat Islam dan Kristen. Bukan apa-apa, dulu di negeri ini memang sering terjadi gejolak dan sentimen keagamaan.
Presiden Giovanni sepakat, dengan syarat Raja Faisal harus menyediakan seluruh dananya. Faisal mengangguk. Ia lantas mengucurkan dana tak kurang dari 30 juta dolar AS untuk pembangunan masjid di atas lahan seluas 30.000 meter persegi. Singkat kata, pada 11 Desember 1984, dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Masjid Agung Roma oleh Presiden Italia saat itu, Alessandro Pertini. Dan peresmiannya dilakukan pada 23 Muharram 1416 H atau bertepatan dengan tanggal 21 Juni 1995.
Tentu saja masjid itu juga menjadi tempat berkumpul bagi warga negara dan diaspora Indonesia di Italia yang beragama Islam. Terutama saat ibadah salat Jumat. Biasanya yang menjadi imam salat, seorang warga Maroko. “Sepengetahuan saya belum pernah ada orang Indonesia mengimami salat di masjid itu,” tutur Rusli Rudiana, staf KBRI Roma kepada SINDOnews.
Selain Masjid Agung, di sebelah selatan Roma juga terdapat sebuah masjid kecil. Sebelum wabah Covid 19 menyerang, setiap Jumat maupun waktu berbuka puasa di depan masjid selalu ramai oleh pedagang makanan. “Pada umumnya mereka berasal dari Afrika Utara. Mereka berkumpul, ngobrol-ngobrol sambal makan,” katanya. WNI di Italia terbagi dalam naungan dua perwakilan. Di KBRI Roma ada sekitar 3.000 orang, dan di Vatikan kurang lebih 1.600 orang. “Yang di Vatikan mayoritas biarawan dan biarawati,” ujar Rusli. “Selain bersekolah, mereka bekerja sosial di SD, SMP, SMA milik ordo Katolik dan rumah jompo.”
Warga Indonesia di lingkungan KBRI Roma terdiri dari beragam profesi. Ada pekerja pabrik, karyawan toko, ibu rumah tangga, hingga pelaut. Sedangkan yang di bawah KBRI Vatikan hampir semuanya bersekolah S2 dan S3 di universitas milik kepausan. Dalam kondisi normal, saat Ramadan tiba warga Indonesia berkumpul di KBRI Roma untuk melakukan iftar dan salat tarawih seminggu sekali. Hidangan disediakan oleh KBRI. Menunya tentu saja masakan khas Indonesia. “Justru menu asli Indonesia yang ditunggu dan dicari oleh mereka,“ katanya.
Waktu puasa di Eropa Selatan terbilang panjang. Azan subuh pukul 04.30 dan waktu salat magrib baru jatuh pada pukul 20.20. “Lapar sih enggak, cuma hausnya itu terasa banget,” sahutnya seraya menceritakan bulan Ramadan beberapa tahun lalu, suhu bisa mencapai 39 derajat Celcius. “Bayangkan saja, jalanan sampai berasap.” Warga Italia sendiri pada umumnya mengetahui dan terbiasa dengan kehadiran bulan Ramadan. Mereka sering berinteraksi dengan kaum pendatang dari negara-negara Afrika Utara yang mayoritas muslim
(rza)
tulis komentar anda