Memutus Mata Rantai Dugaan Pungli Dana Pesantren

Rabu, 25 November 2020 - 05:30 WIB
Mh Zaelani Tammaka
Mh Zaelani Tammaka

Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA Jakarta

DI TENGAH pandemi Covid-19, tepatnya pada September 2020 pemerintah, melalui Kementerian Agama (Kemenag), menggelontorkan bantuan untuk pesantren. Bantuan operasional pesantren (BOP) sebesar Rp2,38 triliun dan Rp211,73 miliar untuk bantuan pembelajaran jarak jauh (PJJ) disalurkan ke 21.173 unit pondok pesantren, 62.153 unit madrasah diniyah, 112.008 LPTQ/PTQ. Khusus bantuan PJJ sebanyak 14.115 unit.

Tentu saja ini patut disambut gembira karena memang tidak sedikit lembaga pendidikan pesantren—yang pada umumnya tumbuh secara swadaya di tengah masyarakat—yang mengalami kendala pendanaan operasional. Namun, di tengah kabar menggembirakan tersebut muncul pemberitaan yang menyedihkan karena diduga telah terjadi pungutan liar (pungli) atas bantuan tersebut oleh sejumlah oknum.

Kecaman pun datang dari berbagai pihak, khususnya ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang banyak menaungi pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam. Ketua PP Muhammadiyah yang juga Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas memandang pungli semacam ini sebagai bentuk korupsi dan tindakan tercela. Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid al Islamiyah (RMI) PBNU KH Abdul Ghafar Rozin menilai pungli dana BOP menunjukkan pelakunya tidak memiliki sense of crisis di tengah pandemi Covid-19.



Apa yang terjadi ini sebenarnya fenomena gunung es. Sudah lama terjadi, namun tak muncul ke permukaan karena tidak terendus oleh media. Modusnya pun bisa bermacam-macam. Pada suatu waktu, misalnya, Kemenag pernah menggelontorkan program bantuan beasiswa untuk guru madrasah yang studi lanjut S-1 dan S-2 masing-masing Rp6 juta (S-1) dan Rp12 juta (S-2). Namun, kenyataan di lapangan, yang diterima oleh penerima beasiswa tidak lebih 45% sampai 50% dari besaran dana tersebut, yaitu berkisar Rp2,5 juta (S-1) dan Rp6 juta (S-2). Hal ini berarti boleh dibilang tingkat kebocorannya cukup tinggi, yaitu di atas 50%.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena, dalam penyaluran beasiswa tersebut banyak terjadi “percaloan” akibat minimnya informasi yang bisa diakses masyarakat. Kemudian, ada oknum yang memanfaatkan situasi. Aktornya tentu bisa saja orang di luar Kemenag, namun jika dilihat modusnya sangat mungkin melibatkan pihak internal Kemenag (pusat), atau setidaknya punya akses ke Kemenag. Surat permohonan dan syarat-syarat memang ditujukan ke kantor Kemenag pusat, tetapi pengirimannya “titip” oknum tersebut, atau dikirim ke alamat seperti arahan oknum tersebut.

Begitu dana tersebut cair, oknum tersebut meminta “fee” atas jasanya. Dana memang dikirim melalui kantor pos kepada penerima yang bersangkutan, namun si oknum minta setoran tunai dari dana yang dicairkan tersebut.

Hal itu salah satu gambaran bagaimana praktik pungli di lingkungan Kemenag. Mungkin saja pelakunya perseorangan, namun oknum tersebut bisa dipastikan punya “akses” ke Kemenag pusat. Mengapa? Sebab, mana mungkin surat permohonan yang dia bawa, namun pengirimnya bisa tembus sebagai penerima beasiswa. Namun, pada umumnya penerima tidak berdaya karena struktur organisasi Kemenag yang terpusat, sulit diakses oleh masyarakat, apalagi masyarakat di daerah.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More