Harus Ada Pendekatan Baru Cegah Intoleransi di Lingkungan Pendidikan

Senin, 23 November 2020 - 11:32 WIB
M Najib Azca. Foto/Istimewa
JAKARTA - Kasus intoleransi kerap terjadi di lingkungan pendidikan. Pasalnya, intoleransi adalah momok yang bisa mengancam perdamaian dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Karena itu dibutuhkan program pendekatan baru dalam mencegah berkembangnya intoleransi di lingkungan pendidikan.

“Saya kira sudah cukup banyak riset menemukan ada ada tren meningkatnya intoleransi atau radikalisme di sekolah atau kampus. Ini suatu warning bagi kita semua, baik pendidik, pemerintah, masyarakat untuk mewaspadai atau hati-hati terhadap tren seperti ini,” ujar Dosen Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) M Najib Azca di Yogyakarta, Sabtu 21 November 2020.



Menurut dia, harus segera ada program untuk mengikis penyebaran intoleransi di lingkungan sekolah. Salah satunya dengan bergerak dengan pelibatan komunitas kaum muda seperti siswa SMP, SMA, dan mahasiswa.

“Karena mereka sendiri yang harus mampu mengenali, mengidentifikasi gejala-gejala misalnya menguatkan intoleransi di lingkungannya. Itu bisa dilakukan bila mereka terlibat langsung dan proaktif untuk melakukan aktivitas ini. Misalnya terjadinya gejala radikalisasi di lingkungannya teman sebayanya,” ungkap Najib.( )

Saat ini, lanjut dia, pihaknya tengah mengembangkan program pendekatan dengan membangun sekolah damai berbassis siswa sebaya. Dengan program itu, mereka (siswa dan mahasiswa) sendiri yang melihat dan mengamati, lalu mencoba mengembangkan upaya-upaya untuk membina damai di lingkungannya.

Dia juga menyarankan upaya mengikis intoleransi di sekolah tidak terkesan top down atau dari atas ke atas. “Kita harus mampu menyemai teman-teman muda untuk proaktif merawat toleransi, perdamaian di lingkungannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kemudaan mereka. Soalnya kalau menggunakan cara orang tua, kadang-kadang gak cocok,” katanya.( )

Misalnya, kata dia, dengan menggunakan platform TikTok atau Podcast. Penggunaan media baru dalam membangun toleransi di kalangan muda ini sangat penting ketika sasarannya adalah anak muda. Sementara cara-cara lama atau cara ala orang tua dinilainya tidak akan menyambung karena frekuensinya beda.

“Kita harus belajar juga dari anak-anak muda terutama dalam mengemas pesan-pesan damai, pesan-pesan kontra ekstremisme dengan cara-cara anak muda. Itu akan lebih muda cepat diterima dengan melalui proses dialog dan diskusi dengan mereka. Kita perlu mendengar juga dari anak muda sendiri apa yang mereka rasakan, mereka pikirkan, dan mereka inginkan. Dari situ kita rumuskan agenda kolaboratifnya,” paparnya.

Najib menegaskan, perlu adanya kombinasi untuk mengatasi masalah ini. Artinya, kalau dari level sekolah, pendidik memang sangat penting karena pada dasarnya sekolah masih menghargai senioritas dan secara hirarkiah ada guru sebagai pendidik yang memiliki otoritas. Tapi itu tidak cukup, sehingga siswa harus dilibatkan secara langsung, baru setelah itu pemerintah yang wajib terlibat.

Selain itu, dia melihat pelibatan tokoh agama dan organisasi masyarakat juga penting seperti dengan NU, Muhammadiyah, Al Washliyah, dan lain-lain, sehingga dari titik ini program itu juga dianggap sebagai agenda komunitas agama juga. Dengan begitu, ia yakin efek dari program itu akan sangat kuat dibandingkan seolah-olah agenda ini hanya program pemerintah saja.
(dam)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More