Masyumi Reborn dan Jalan Terjal Islam Politik
Selasa, 17 November 2020 - 09:56 WIB
Pada Pemilu 2004, PBB juga berhasil mendapatkan 11 kursi DPR. Namun pada pemilu 2009, suara PBB hanya 1,79% dan tidak mendapatkan kursi. Begitu juga dengan pemilu 2014, PBB tak berhasil mengantarkan wakilnya ke Senayan, bahkan suaranya terus merosot menjadi 0,79% pada pemilu terakhir (2019).
Kembalinya Partai Masyumi ke dalam gelanggang politik nasional tidak bisa dilepaskan dari konteks islam politik yang menemui jalan terjal dalam lanskap politik domestik.
Dalam diskursus islam dan politik, baik di level global maupun nasional, garis demarkasi yang tegas antara Islam politik dan politik Islam paling tidak dapat diambil dari argumentasi bahwa Islam politik menghendaki tegaknya sistem politik Islam sebagai aspirasi dan tujuan politik termasuk di dalamnya formalisasi hukum Islam (syariah).
Selain itu, Islam politik juga menghendaki representasi pemimpin atau politisi Muslim serta alokasi-alokasi distribusi material (ekonomi) kepada umat Islam berdasarkan logika mayoritas.
Sementara itu, politik Islam, bertolak pada argumentasi yang lebih esensial, bahwa politik itu penting dan nilai-nilai Islam perlu dihadirkan sebagai inspirasi politik tanpa harus memformalkannya dalam sistem ketatanegaraan.
Dalam perkembangannya, gagasan Islam politik cenderung semakin terpinggirkan dalam wacana ruang publik dan politik kontemporer. Islam politik dianggap tidak marketable di alam demokrasi yang ditunjukkan dari hasil pemilu ke pemilu terutama pemilu di era pasca reformasi.
Pasar pemilih muslim sebagai ceruk utama partai-partai Islam pun secara umum lebih merefleksikan sikap moderatnya, menolak formalisasi Islam. Partai-partai Islam seperti PPP dan PKS juga harus berkompromi dengan realitas politik dan bertransformasi menjadi partai yang lebih terbuka.
Jalan Terjal Masyumi
Kembalinya Partai Masyumi dalam gelanggang politik akan dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, konfigurasi politik nasional saat ini jauh berbeda dengan situasi Orde Lama yang diwarnai dengan konvergensi dan pertarungan ideologi secara fragmentatif.
Dalam tiga kali pemilu terakhir, realitas politik menunjukkan supremasi elektoral selalu dipegang oleh partai-partai nasionalis. Pemilu 2009 dimenangkan Partai Demokrat, Pemilu 2014 PDIP dan Pemilu 2019 juga dimenangkan PDIP.
Kembalinya Partai Masyumi ke dalam gelanggang politik nasional tidak bisa dilepaskan dari konteks islam politik yang menemui jalan terjal dalam lanskap politik domestik.
Dalam diskursus islam dan politik, baik di level global maupun nasional, garis demarkasi yang tegas antara Islam politik dan politik Islam paling tidak dapat diambil dari argumentasi bahwa Islam politik menghendaki tegaknya sistem politik Islam sebagai aspirasi dan tujuan politik termasuk di dalamnya formalisasi hukum Islam (syariah).
Selain itu, Islam politik juga menghendaki representasi pemimpin atau politisi Muslim serta alokasi-alokasi distribusi material (ekonomi) kepada umat Islam berdasarkan logika mayoritas.
Sementara itu, politik Islam, bertolak pada argumentasi yang lebih esensial, bahwa politik itu penting dan nilai-nilai Islam perlu dihadirkan sebagai inspirasi politik tanpa harus memformalkannya dalam sistem ketatanegaraan.
Dalam perkembangannya, gagasan Islam politik cenderung semakin terpinggirkan dalam wacana ruang publik dan politik kontemporer. Islam politik dianggap tidak marketable di alam demokrasi yang ditunjukkan dari hasil pemilu ke pemilu terutama pemilu di era pasca reformasi.
Pasar pemilih muslim sebagai ceruk utama partai-partai Islam pun secara umum lebih merefleksikan sikap moderatnya, menolak formalisasi Islam. Partai-partai Islam seperti PPP dan PKS juga harus berkompromi dengan realitas politik dan bertransformasi menjadi partai yang lebih terbuka.
Jalan Terjal Masyumi
Kembalinya Partai Masyumi dalam gelanggang politik akan dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, konfigurasi politik nasional saat ini jauh berbeda dengan situasi Orde Lama yang diwarnai dengan konvergensi dan pertarungan ideologi secara fragmentatif.
Dalam tiga kali pemilu terakhir, realitas politik menunjukkan supremasi elektoral selalu dipegang oleh partai-partai nasionalis. Pemilu 2009 dimenangkan Partai Demokrat, Pemilu 2014 PDIP dan Pemilu 2019 juga dimenangkan PDIP.
tulis komentar anda