Masyumi Reborn dan Jalan Terjal Islam Politik
loading...
A
A
A
YUSA' FARCHAN
Direktur Eksekutif Citra Institute,Peneliti Pusat Reformasi Pemilu (CETRO) 2007-2009
PERKEMBANGAN politik nasional semakin bergerak dinamis dengan dihidupkannya kembali mesin politik Partai Masyumi. Dengan tagline Masyumi Reborn, partai politik yang pernah dibubarkan pada 1960 ini dideklarasikan kembali bertepatan dengan Tasyakuran Milad ke-75 Partai Masyumi di Aula Masjid Furqon, Jakarta Pusat, 7 November 2020.
Upaya menghidupkan kembali Partai Masyumi saat ini sebetulnya bukan kali yang pertama. Sejak dibebaskan dari tahanan pada awal 1966, Mohammad Natsir, pendiri sekaligus mantan Ketua Umum Partai Masyumi berupaya menghidupkan kembali partai politik yang didirikan pada November 1945 dan dibubarkan Sukarno 15 tahun kemudian.
Pada 15 Agustus 1966, sekitar 50 ribu orang hadir dalam apel akbar umat Islam yang digelar di Masjid Al Azhar, Jakarta, termasuk Sjafroedin dan tokoh-tokoh pergerakan seperti Prawoto Mangkusasmito, Asaat, Moehammad Roem, dan Kasman Singodimejo.
Mereka menuntut pemerintah mengizinkan kembali Masyumi, tetapi Soeharto menolak karena tumbuhnya kembali partai-partai lama dianggap akan memicu persoalan. Soeharto juga melarang tokoh Masyumi memimpin partai yang baru didirikan, yaitu Partai Musimin Indonesia (Parmusi).
Tampaknya, salah satu “nilai jual” Masyumi yang akan dijadikan daya pikat dalam proses reinkarnasi saat ini adalah romantisme kejayaan Masyumi pada pemilu 1955. Pada pemilu pertama tersebut, Masyumi berhasil menjadi pemenang kedua di bawah PNI dengan perolehan 7.903.886 suara (20,92%) atau 57 kursi untuk anggota DPR dan 7.789.619 suara (20,59 %) atau 112 kursi untuk anggota Konstituante.
Setelah Pemilu 1955, dalam enam kali pemilu berturut-turut (1971 hingga 1997), Partai Masyumi absen dalam pemilu karena sejumlah faktor. Masyumi kembali tampil dalam gelanggang politik pada Pemilu 1999 dengan memperoleh 456.718 suara dan satu kursi DPR. Selain Masyumi, terdapat nama partai politik Masyumi Baru dengan perolehan 152.589 tetapi tidak mendapatkan kursi.
Selain Partai Masyumi dan Masyumi Baru, salah satu partai yang inspirasi gagasannya banyak dipengaruhi oleh pendiri Masyumi Mohammad Natsir adalah Partai Bulan Bintang (PBB). Meskipun tidak menggunakan nama Masyumi, PBB yang berhasil meraup 13 kursi pada Pemilu 1999 tersebut secara genetik dianggap mewarisi ideologi Masyumi.
Pada Pemilu 2004, PBB juga berhasil mendapatkan 11 kursi DPR. Namun pada pemilu 2009, suara PBB hanya 1,79% dan tidak mendapatkan kursi. Begitu juga dengan pemilu 2014, PBB tak berhasil mengantarkan wakilnya ke Senayan, bahkan suaranya terus merosot menjadi 0,79% pada pemilu terakhir (2019).
Kembalinya Partai Masyumi ke dalam gelanggang politik nasional tidak bisa dilepaskan dari konteks islam politik yang menemui jalan terjal dalam lanskap politik domestik.
Dalam diskursus islam dan politik, baik di level global maupun nasional, garis demarkasi yang tegas antara Islam politik dan politik Islam paling tidak dapat diambil dari argumentasi bahwa Islam politik menghendaki tegaknya sistem politik Islam sebagai aspirasi dan tujuan politik termasuk di dalamnya formalisasi hukum Islam (syariah).
Selain itu, Islam politik juga menghendaki representasi pemimpin atau politisi Muslim serta alokasi-alokasi distribusi material (ekonomi) kepada umat Islam berdasarkan logika mayoritas.
Sementara itu, politik Islam, bertolak pada argumentasi yang lebih esensial, bahwa politik itu penting dan nilai-nilai Islam perlu dihadirkan sebagai inspirasi politik tanpa harus memformalkannya dalam sistem ketatanegaraan.
Dalam perkembangannya, gagasan Islam politik cenderung semakin terpinggirkan dalam wacana ruang publik dan politik kontemporer. Islam politik dianggap tidak marketable di alam demokrasi yang ditunjukkan dari hasil pemilu ke pemilu terutama pemilu di era pasca reformasi.
Pasar pemilih muslim sebagai ceruk utama partai-partai Islam pun secara umum lebih merefleksikan sikap moderatnya, menolak formalisasi Islam. Partai-partai Islam seperti PPP dan PKS juga harus berkompromi dengan realitas politik dan bertransformasi menjadi partai yang lebih terbuka.
Jalan Terjal Masyumi
Kembalinya Partai Masyumi dalam gelanggang politik akan dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, konfigurasi politik nasional saat ini jauh berbeda dengan situasi Orde Lama yang diwarnai dengan konvergensi dan pertarungan ideologi secara fragmentatif.
Dalam tiga kali pemilu terakhir, realitas politik menunjukkan supremasi elektoral selalu dipegang oleh partai-partai nasionalis. Pemilu 2009 dimenangkan Partai Demokrat, Pemilu 2014 PDIP dan Pemilu 2019 juga dimenangkan PDIP.
Sementara itu, saluran formal politik umat Islam yang diwakili setidaknya oleh PPP, PKB, PAN, PKS, PBB dan PBR secara umum terus mengalami pasang surut dengan capaian tertinggi di bawah 10% sebagaimana yang diperoleh PKB pada pemilu 2019 yaitu 9,69%. Itupun disertai dengan kerja keras membangun inklusifitas partai politik agar lebih diterima di semua kalangan.
Dalam konteks dinamika elektoral, tren umum yang berkembang selama tiga kali pemilu terakhir adalah semakin eksklusif platform ideologi partai politik, maka semakin sulit berkembang menjadi partai besar. Inilah tantangan Masyumi ke depan jika ingin survive dan memenangkan kompetisi politik nasional. Supremasi elektoral yang hanya berlangsung dalam satu kali putaran pemilu pada 1955, sangat sulit direproduksi jika Masyumi tidak jeli melihat konfigurasi politik yang ada saat ini.
Kedua, Masyumi mengalami defisit kader muda yang cukup tinggi. Salah satu kunci penting survivalitas partai politik adalah tersedianya infrastruktur sumber daya manusia yang bisa menggerakkan seluruh sumber daya partai secara maksimal. Saat ini, Masyumi lebih didominasi kalangan tua, sementara tantangan zaman lebih kompleks seiring perkembangan teknologi informasi.
Defisit kader muda berkorelasi terhadap kemampuan partai dalam mengorganisasikan sumber daya politik dan ekonomi yang ada agar lebih manageable. Masyumi mampu menunjukkan supremasi elektoralnya pada pemilu 1955 karena memilki sejumlah kader muda progresif seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Mohammad Roem yang mampu mengimbangi ritme politikus konservatif (meminjam istilah Kahin) seperti Sukiman.
Karena keluwesan berpolitiknya, Guru Besar Cornell University George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952) bahkan menyebut Natsir sebagai “the last giant among the indonesia’s nationalist and revolutionary political leaders.”.
Ketiga, segmen pasar pemilih dalam pemilu terakhir dibanjiri dengan kalangan muda. Jumlah pemilih milenial mencapai 30-40% atau lebih dari 42 juta jiwa pada Pemilu 2019. Secara umum, segmen pemilih milenial memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan kalangan tua. Tiga ciri penting dari karakteristik milenial adalah creative, confidence dan connected.
Karakter-kreatif melekat pada perilaku milenial yang lebih menyukai tantangan-tantangan baru, termasuk dalam preferensi pekerjaan. Karakter confidence menandai kepercayaan diri yang tinggi kelompok milenial dengan cara pandang optimisme dan interaksinya yang intens dalam berbagai dialektika dan perdebatan-perdebatan di ruang publik virtual.
Terhadap fenomena politik, pada titik tertentu, milenial tampak tidak risih lagi berdebat atau mengekspresikan kemerdekaan berpikir dan partisipasi politiknya meski hanya melalui media sosial.
Sementara itu, karakter connected dicirikan dengan perilaku milenial yang selalu terhubung dengan perangkat teknologi informasi (gadget) sebagai sumber literasi dalam semua dimensi kehidupan.
Di ranah politik, yang cukup menarik adalah karakter detailed kelompok milenial. Karakter ini merefleksikan kecenderungan milenial urban yang menaruh perhatian ekstra, bukan pada narasi-narasi besar yang substantif, tapi pada narasi-narasi kecil seperti gaya rambut politikus, merek sepatu, jam tangan dan pakaian politikus, atau bahkan sisi-sisi privat seperti kehidupan keluarga politisi. Karakter milenial urban yang menaruh perhatian lebih pada narasi-narasi kecil tentu membutuhkan kepiawaian politik untuk mengelolanya. Inilah yang harus diperhatikan Masyumi.
Jika Masyumi hanya berkutat di ceruk pasar pemilih muslim, maka Masyumi akan sulit berkembang karena harus bersaing ketat dengan partai-partai lainnya yang selama ini banyak mengandalkan basis dukungan pemilih Islam. Merebut dukungan dari kalangan pemilih muslim juga bukan perkara mudah karena kantong-kantong suara pada basis muslim tradisional sudah dikuasai oleh PKB dan PPP, sementara muslim urban sudah dikuasai oleh PKS dan PAN.
Selain tiga tantangan tersebut, Partai Masyumi juga akan dihadapkan pada persoalan krusial menyangkut institusionalisasi partai politik. Randall dan Svasand (2002) mendefinisikan institusionalisasi sebagai proses pelembagaan partai dalam bentuk pola perilaku dan nilai serta budaya politik yang terintegrasi.
Derajat kesisteman yang menjadi produk persilangan antara dimensi struktural-internal dalam proses institusionalisasi parpol tersebut selama ini oleh para ahli disepakati sebagai faktor paling krusial dalam menentukan sehat tidaknya sebuah parpol.
Derajat kesisteman diukur melalui sejaumana mekanisme transparansi dalam pengambilan keputusan, sejauhmana fungsi-fungsi partai berjalan dan bagaimana penyelesaian konflik internal sesuai konstitusi partai. Derajat kesisteman juga mengatur bagaimana disiplin organisasi dan tingkat kepatuhan terhadap keputusan yang sudah diambil secara kolektif sesuai AD/ART partai sebagai aturan mainnya.
Masalah utama yang akan dihadapi Masyumi terkait institusionalisasi partai adalah ketersediaan sumber daya, terutama pembiayaan partai, baik dari sisi party finance maupun campaign finance. Dalam konteks ini, partai-partai yang memiliki sumber daya kapital dan politik memadai berpotensi memenangkan pemilu, setidaknya lolos parliamentary threshold. Hal ini didasarkan pada tingginya cost politik dan fenomena money politics yang telah mengakar di setiap momentum pemilu.
Meski dihadapkan pada medan terjal kompetisi politik, kehadiran Masyumi perlu diberikan karpet merah dalam konteks menjaga keseimbangan politik terutama dalam kanal partai-partai Islam. Nalar kritisisme perlu terus dihidupkan dalam rangka mengontrol jalannya kekuasaan.
Dalam konteks ini, legacy paling berharga adalah bagaimana kepiawaian tokoh-tokoh Masyumi dalam berdebat, lobi politik dan membangun relasi pergaulan multikultural. Persahabatan Natsir dan Isa Ansari dengan Aidit, Kasimo, Leimena, A.M.Tambunan dan tokoh-tokoh lintas ideologi lainnya layak diteladani dalam bingkai pluralisme dan multikulturalisme.
Meskipun kerap berdebat sengit di forum sidang parlemen, tapi di luar forum mereka adalah sahabat yang baik. Bahkan, “kalau habis rapat tak ada tumpangan, Pak Natsir sering dibonceng sepeda oleh Aidit dari Pejambon”, tutur Yusril Ihza Mahendra dalam Natsir; Politik Santun di Antara Dua Rezim(2011; 91). Selamat berjuang Partai Masyumi!
Direktur Eksekutif Citra Institute,Peneliti Pusat Reformasi Pemilu (CETRO) 2007-2009
PERKEMBANGAN politik nasional semakin bergerak dinamis dengan dihidupkannya kembali mesin politik Partai Masyumi. Dengan tagline Masyumi Reborn, partai politik yang pernah dibubarkan pada 1960 ini dideklarasikan kembali bertepatan dengan Tasyakuran Milad ke-75 Partai Masyumi di Aula Masjid Furqon, Jakarta Pusat, 7 November 2020.
Upaya menghidupkan kembali Partai Masyumi saat ini sebetulnya bukan kali yang pertama. Sejak dibebaskan dari tahanan pada awal 1966, Mohammad Natsir, pendiri sekaligus mantan Ketua Umum Partai Masyumi berupaya menghidupkan kembali partai politik yang didirikan pada November 1945 dan dibubarkan Sukarno 15 tahun kemudian.
Pada 15 Agustus 1966, sekitar 50 ribu orang hadir dalam apel akbar umat Islam yang digelar di Masjid Al Azhar, Jakarta, termasuk Sjafroedin dan tokoh-tokoh pergerakan seperti Prawoto Mangkusasmito, Asaat, Moehammad Roem, dan Kasman Singodimejo.
Mereka menuntut pemerintah mengizinkan kembali Masyumi, tetapi Soeharto menolak karena tumbuhnya kembali partai-partai lama dianggap akan memicu persoalan. Soeharto juga melarang tokoh Masyumi memimpin partai yang baru didirikan, yaitu Partai Musimin Indonesia (Parmusi).
Tampaknya, salah satu “nilai jual” Masyumi yang akan dijadikan daya pikat dalam proses reinkarnasi saat ini adalah romantisme kejayaan Masyumi pada pemilu 1955. Pada pemilu pertama tersebut, Masyumi berhasil menjadi pemenang kedua di bawah PNI dengan perolehan 7.903.886 suara (20,92%) atau 57 kursi untuk anggota DPR dan 7.789.619 suara (20,59 %) atau 112 kursi untuk anggota Konstituante.
Setelah Pemilu 1955, dalam enam kali pemilu berturut-turut (1971 hingga 1997), Partai Masyumi absen dalam pemilu karena sejumlah faktor. Masyumi kembali tampil dalam gelanggang politik pada Pemilu 1999 dengan memperoleh 456.718 suara dan satu kursi DPR. Selain Masyumi, terdapat nama partai politik Masyumi Baru dengan perolehan 152.589 tetapi tidak mendapatkan kursi.
Selain Partai Masyumi dan Masyumi Baru, salah satu partai yang inspirasi gagasannya banyak dipengaruhi oleh pendiri Masyumi Mohammad Natsir adalah Partai Bulan Bintang (PBB). Meskipun tidak menggunakan nama Masyumi, PBB yang berhasil meraup 13 kursi pada Pemilu 1999 tersebut secara genetik dianggap mewarisi ideologi Masyumi.
Pada Pemilu 2004, PBB juga berhasil mendapatkan 11 kursi DPR. Namun pada pemilu 2009, suara PBB hanya 1,79% dan tidak mendapatkan kursi. Begitu juga dengan pemilu 2014, PBB tak berhasil mengantarkan wakilnya ke Senayan, bahkan suaranya terus merosot menjadi 0,79% pada pemilu terakhir (2019).
Kembalinya Partai Masyumi ke dalam gelanggang politik nasional tidak bisa dilepaskan dari konteks islam politik yang menemui jalan terjal dalam lanskap politik domestik.
Dalam diskursus islam dan politik, baik di level global maupun nasional, garis demarkasi yang tegas antara Islam politik dan politik Islam paling tidak dapat diambil dari argumentasi bahwa Islam politik menghendaki tegaknya sistem politik Islam sebagai aspirasi dan tujuan politik termasuk di dalamnya formalisasi hukum Islam (syariah).
Selain itu, Islam politik juga menghendaki representasi pemimpin atau politisi Muslim serta alokasi-alokasi distribusi material (ekonomi) kepada umat Islam berdasarkan logika mayoritas.
Sementara itu, politik Islam, bertolak pada argumentasi yang lebih esensial, bahwa politik itu penting dan nilai-nilai Islam perlu dihadirkan sebagai inspirasi politik tanpa harus memformalkannya dalam sistem ketatanegaraan.
Dalam perkembangannya, gagasan Islam politik cenderung semakin terpinggirkan dalam wacana ruang publik dan politik kontemporer. Islam politik dianggap tidak marketable di alam demokrasi yang ditunjukkan dari hasil pemilu ke pemilu terutama pemilu di era pasca reformasi.
Pasar pemilih muslim sebagai ceruk utama partai-partai Islam pun secara umum lebih merefleksikan sikap moderatnya, menolak formalisasi Islam. Partai-partai Islam seperti PPP dan PKS juga harus berkompromi dengan realitas politik dan bertransformasi menjadi partai yang lebih terbuka.
Jalan Terjal Masyumi
Kembalinya Partai Masyumi dalam gelanggang politik akan dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, konfigurasi politik nasional saat ini jauh berbeda dengan situasi Orde Lama yang diwarnai dengan konvergensi dan pertarungan ideologi secara fragmentatif.
Dalam tiga kali pemilu terakhir, realitas politik menunjukkan supremasi elektoral selalu dipegang oleh partai-partai nasionalis. Pemilu 2009 dimenangkan Partai Demokrat, Pemilu 2014 PDIP dan Pemilu 2019 juga dimenangkan PDIP.
Sementara itu, saluran formal politik umat Islam yang diwakili setidaknya oleh PPP, PKB, PAN, PKS, PBB dan PBR secara umum terus mengalami pasang surut dengan capaian tertinggi di bawah 10% sebagaimana yang diperoleh PKB pada pemilu 2019 yaitu 9,69%. Itupun disertai dengan kerja keras membangun inklusifitas partai politik agar lebih diterima di semua kalangan.
Dalam konteks dinamika elektoral, tren umum yang berkembang selama tiga kali pemilu terakhir adalah semakin eksklusif platform ideologi partai politik, maka semakin sulit berkembang menjadi partai besar. Inilah tantangan Masyumi ke depan jika ingin survive dan memenangkan kompetisi politik nasional. Supremasi elektoral yang hanya berlangsung dalam satu kali putaran pemilu pada 1955, sangat sulit direproduksi jika Masyumi tidak jeli melihat konfigurasi politik yang ada saat ini.
Kedua, Masyumi mengalami defisit kader muda yang cukup tinggi. Salah satu kunci penting survivalitas partai politik adalah tersedianya infrastruktur sumber daya manusia yang bisa menggerakkan seluruh sumber daya partai secara maksimal. Saat ini, Masyumi lebih didominasi kalangan tua, sementara tantangan zaman lebih kompleks seiring perkembangan teknologi informasi.
Defisit kader muda berkorelasi terhadap kemampuan partai dalam mengorganisasikan sumber daya politik dan ekonomi yang ada agar lebih manageable. Masyumi mampu menunjukkan supremasi elektoralnya pada pemilu 1955 karena memilki sejumlah kader muda progresif seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Mohammad Roem yang mampu mengimbangi ritme politikus konservatif (meminjam istilah Kahin) seperti Sukiman.
Karena keluwesan berpolitiknya, Guru Besar Cornell University George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952) bahkan menyebut Natsir sebagai “the last giant among the indonesia’s nationalist and revolutionary political leaders.”.
Ketiga, segmen pasar pemilih dalam pemilu terakhir dibanjiri dengan kalangan muda. Jumlah pemilih milenial mencapai 30-40% atau lebih dari 42 juta jiwa pada Pemilu 2019. Secara umum, segmen pemilih milenial memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan kalangan tua. Tiga ciri penting dari karakteristik milenial adalah creative, confidence dan connected.
Karakter-kreatif melekat pada perilaku milenial yang lebih menyukai tantangan-tantangan baru, termasuk dalam preferensi pekerjaan. Karakter confidence menandai kepercayaan diri yang tinggi kelompok milenial dengan cara pandang optimisme dan interaksinya yang intens dalam berbagai dialektika dan perdebatan-perdebatan di ruang publik virtual.
Terhadap fenomena politik, pada titik tertentu, milenial tampak tidak risih lagi berdebat atau mengekspresikan kemerdekaan berpikir dan partisipasi politiknya meski hanya melalui media sosial.
Sementara itu, karakter connected dicirikan dengan perilaku milenial yang selalu terhubung dengan perangkat teknologi informasi (gadget) sebagai sumber literasi dalam semua dimensi kehidupan.
Di ranah politik, yang cukup menarik adalah karakter detailed kelompok milenial. Karakter ini merefleksikan kecenderungan milenial urban yang menaruh perhatian ekstra, bukan pada narasi-narasi besar yang substantif, tapi pada narasi-narasi kecil seperti gaya rambut politikus, merek sepatu, jam tangan dan pakaian politikus, atau bahkan sisi-sisi privat seperti kehidupan keluarga politisi. Karakter milenial urban yang menaruh perhatian lebih pada narasi-narasi kecil tentu membutuhkan kepiawaian politik untuk mengelolanya. Inilah yang harus diperhatikan Masyumi.
Jika Masyumi hanya berkutat di ceruk pasar pemilih muslim, maka Masyumi akan sulit berkembang karena harus bersaing ketat dengan partai-partai lainnya yang selama ini banyak mengandalkan basis dukungan pemilih Islam. Merebut dukungan dari kalangan pemilih muslim juga bukan perkara mudah karena kantong-kantong suara pada basis muslim tradisional sudah dikuasai oleh PKB dan PPP, sementara muslim urban sudah dikuasai oleh PKS dan PAN.
Selain tiga tantangan tersebut, Partai Masyumi juga akan dihadapkan pada persoalan krusial menyangkut institusionalisasi partai politik. Randall dan Svasand (2002) mendefinisikan institusionalisasi sebagai proses pelembagaan partai dalam bentuk pola perilaku dan nilai serta budaya politik yang terintegrasi.
Derajat kesisteman yang menjadi produk persilangan antara dimensi struktural-internal dalam proses institusionalisasi parpol tersebut selama ini oleh para ahli disepakati sebagai faktor paling krusial dalam menentukan sehat tidaknya sebuah parpol.
Derajat kesisteman diukur melalui sejaumana mekanisme transparansi dalam pengambilan keputusan, sejauhmana fungsi-fungsi partai berjalan dan bagaimana penyelesaian konflik internal sesuai konstitusi partai. Derajat kesisteman juga mengatur bagaimana disiplin organisasi dan tingkat kepatuhan terhadap keputusan yang sudah diambil secara kolektif sesuai AD/ART partai sebagai aturan mainnya.
Masalah utama yang akan dihadapi Masyumi terkait institusionalisasi partai adalah ketersediaan sumber daya, terutama pembiayaan partai, baik dari sisi party finance maupun campaign finance. Dalam konteks ini, partai-partai yang memiliki sumber daya kapital dan politik memadai berpotensi memenangkan pemilu, setidaknya lolos parliamentary threshold. Hal ini didasarkan pada tingginya cost politik dan fenomena money politics yang telah mengakar di setiap momentum pemilu.
Meski dihadapkan pada medan terjal kompetisi politik, kehadiran Masyumi perlu diberikan karpet merah dalam konteks menjaga keseimbangan politik terutama dalam kanal partai-partai Islam. Nalar kritisisme perlu terus dihidupkan dalam rangka mengontrol jalannya kekuasaan.
Dalam konteks ini, legacy paling berharga adalah bagaimana kepiawaian tokoh-tokoh Masyumi dalam berdebat, lobi politik dan membangun relasi pergaulan multikultural. Persahabatan Natsir dan Isa Ansari dengan Aidit, Kasimo, Leimena, A.M.Tambunan dan tokoh-tokoh lintas ideologi lainnya layak diteladani dalam bingkai pluralisme dan multikulturalisme.
Meskipun kerap berdebat sengit di forum sidang parlemen, tapi di luar forum mereka adalah sahabat yang baik. Bahkan, “kalau habis rapat tak ada tumpangan, Pak Natsir sering dibonceng sepeda oleh Aidit dari Pejambon”, tutur Yusril Ihza Mahendra dalam Natsir; Politik Santun di Antara Dua Rezim(2011; 91). Selamat berjuang Partai Masyumi!
(dam)