Komisi II DPR Kritisi Penggunaan Sirekap Pada Pilkada Serentak 2020

Kamis, 12 November 2020 - 19:02 WIB
Sejumlah anggota Komisi II DPR mengkritisi tentang rencana KPU untuk menggunakan Sirekap pada Pilkada Serentak 2020 yang akan digelar pada 9 Desember mendatang. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Sejumlah anggota Komisi II DPR mengkritisi tentang rencana Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) untuk menggunakan Sistem Informasi Rekapitulasi Pilkada ( Sirekap ) pada Pilkada Serentak 2020 yang akan digelar pada 9 Desember mendatang. Mereka menilai, banyak ketidaksiapan dari segi SDM, infrastruktur sampai teknologi.

Hal ini disampaikan sejumlah anggota Komisi II DPR dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPU, Bawaslu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). “Tujuannya untuk percepatan tapi dikorbankan kejujuran. Dengan adanya model baru perlu ada teknologi informasi dan lain sebagainya, infrastruktur perlu disiapkan, perlu dana di satu sisi kita sedang fokus pandemi COVID-19, ada permubaziran,” ujar Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus di Ruang Rapat Komisi II DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (12/11/2020). (Baca juga: KPU Ungkap Manfaat Sirekap di Pilkada Serentak 2020, Apa Saja?)

Kemudian, kata Guspardi, perlu juga kuota internet sehingga tidak mungkin petugas di daerah dibebankan dengan kuota internet, sementara pilkada ini merupkan urusan negara. Dia mengakui bahwa perlu ada efisiensi dan efektivitas tapi aplikasi yang digunakan tidak bisa sembarang.



“Ini sesuatu yang yang perlu dikaji. Tidak sekonyong-konyong, perlu ada percepatan inilah kita lakukan, dilihat kembali apakah banyak mudharat dari manfaatnya,” imbuh politikus PAN itu.

Anggota Komisi II DPR Fraksi PKS, Mardani Ali Sera melihat sejumlah hambatan jika menggunakan Sirekap pada Pilkada 2020 ini. Soal kesiapan SDM yang tidak semua orang bisa menggunakan teknologi ini apalagi di daerah pelosok. Waktu sosialisasi pun sempit karena kurang dari 1 bulan lagi sudah dilakukan pemungutan suara. Infrastruktur teknologi berupa internet pun baru sekitar 64% desa yang tercover.

“Ini ada kaitan ide teman-teman KPU, setiap saksi parpol tidak menerima bukti fisik, dalam bentuk foto, elektronik, ini ada assigment-nya (tanda tangan), kalau ikut aturan prosedur mendaftarkan tanda tangan elektronik harus ke BSN, Kominfo, waktunya luar biasa, prosesnya panjang sekali,” kata Mardani di kesempatan sama.

Kemudian, lanjut Mardani, bagaimana dengan keabsahan karena tidak mendapatkan bukti fisik, ini akan merepotkan jika terjadi sengketa dan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perselisihan hasil pilkada biasanya buka kotak suara, tapi sekarang buka HP atau buka server. Lalu soal audit teknologinya, audit teknologi ini tidak bisa hanya dilakukan oleh KPU atau Komisi II DPR saja tapi perlu pakar independen.

“Ini soal public trust. Kita menghadapi dengan adanya penolakan sebagian publik terhadap pilkada ini. Ini haknya publik yang ingin menjaga keselamatan. Public trust berat dengan kondisi pandemi. Secara konten juga bisa dipertanyakan, aplikasi banyak masalah, dan teknologinya menimbulkan pro dan kontra,” papar Mardani.

Karena itu, Legislator asal DKI Jakarta ini mengusulkan agar jangan diterapkan Sirekap sekarang tapi, disiapkan untuk pilkada atau pemilu yang akan datang. Untuk sekarang, sebaimnya Sirekap sifatnya opsional di beberapa tempat saja.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More