Ancaman Kesehatan Mental Siswa pada Masa Pandemi
Kamis, 12 November 2020 - 05:30 WIB
Yulina Eva Riany
Pakar Ilmu Anak dan Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, IPB
PANDEMI Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan sosial telah menimbulkan rasa takut dan kecemasan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kebijakan pembatasan sosial yang dilaksanakan di bidang pendidikan dengan adanya pemberlakuan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau biasa dikenal sebagai belajar dari rumah bagi seluruh siswa di Indonesia menimbulkan berbagai polemik bagi para siswa dan orang tua siswa.
Dengan kebijakan tersebut, tentunya para siswa mengalami perubahan drastis terkait dengan aktivitas normal di sekolah. Sejatinya aktivitas di sekolah adalah sarana untuk belajar dan bermain bagi anak dan remaja. Jadi, sejak pemberlakuan pembatasan, beragam aktivitas tersebut harus dilakukan di rumah bersama anggota keluarga dan orang tua mereka. Hilangnya waktu bermain dan belajar bersama dengan teman di sekolah, terbatasnya kesempatan untuk berkunjung ke area bermain, ataupun pengalaman menyaksikan secara langsung dampak Covid-19 terhadap orang tua atau anggota keluarga mereka (dampak fisik, ekonomi, dan psikologi), adalah pengalaman yang sulit bagi anak-anak dan remaja. Anak-anak mungkin banyak yang belum atau tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba ini. Kemampuan anak dan remaja dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan akibat Covid-19 ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, kematangan, ataupun tahapan perkembangan anak.
Sebagai contoh, bagi anak usia dini, pengalaman belajar di rumah mungkin merupakan kesempatan emas bagi mereka untuk selalu meluangkan waktu bersama orang tua di rumah. Akan tetapi, karena kemampuan resonansi psikologis anak usia dini terhadap orang tuanya sangat tinggi, tidak mengherankan jika mereka mampu merasakan kecemasan, kekhawatiran atau stres yang dialami orang tua mereka secara langsung. Dengan demikian, tidak jarang anak usia dini yang mengalami hal yang sama ketika terjadi masalah mental pada orang tua mereka.
Sebaliknya, ketika anak sudah memasuki usia sekolah dasar maupun usia remaja, pembatasan aktivitas di luar rumah dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman bagi aktivitas sosial mereka. Hal ini disebabkan perkembangan sosial anak yang mulai nyaman melakukan aktivitas bersama teman-temannya di sekolah di samping mereka membutuhkan sarana untuk eksistensi diri. Jadi, dengan adanya pembatasan aktivitas di luar rumah dalam waktu lama, anak-anak dan remaja secara umum akan rentan untuk mengalami tekanan psikologi dan gangguan kesehatan mental.
Masalah Kesehatan Mental Siswa
Penelitian yang dipublikasikan di JAMA Pediatrics Journal dan dilakukan di Hubei China serta melibatkan 2.330 anak sekolah membuktikan bahwa anak-anak usia sekolah yang mengalami karantina proses belajar akibat Covid-19 menunjukkan beberapa tanda-tanda tekanan emosional. Bahkan, penelitian lanjutan dari observasi tersebut menunjukkan bahwa 22,6% dari anak-anak yang diobservasi mengalami gejala depresi dan 18,9% mengalami kecemasan. Hasil survei yang dilakukan oleh pemerintah Jepang juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu 72% anak-anak Jepang merasakan stres akibat Covid-19.
Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Investigasi yang dilakukan oleh Centre for Disease Control (CDC) menunjukkan 7,1% anak-anak dalam kelompok usia 3 hingga 17 tahun telah didiagnosis dengan kecemasan, dan sekitar 3,2% pada kelompok usia yang sama menderita depresi. Bahkan, penelitian lainnya menunjukkan bahwa isolasi akibat Covid-19 ini menyebabkan kondisi kesehatan mental anak-anak berkebutuhan khusus, seperti ADHD, ASD, dan disabilitas lainnya semakin buruk.
Pakar Ilmu Anak dan Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, IPB
PANDEMI Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan sosial telah menimbulkan rasa takut dan kecemasan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kebijakan pembatasan sosial yang dilaksanakan di bidang pendidikan dengan adanya pemberlakuan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau biasa dikenal sebagai belajar dari rumah bagi seluruh siswa di Indonesia menimbulkan berbagai polemik bagi para siswa dan orang tua siswa.
Dengan kebijakan tersebut, tentunya para siswa mengalami perubahan drastis terkait dengan aktivitas normal di sekolah. Sejatinya aktivitas di sekolah adalah sarana untuk belajar dan bermain bagi anak dan remaja. Jadi, sejak pemberlakuan pembatasan, beragam aktivitas tersebut harus dilakukan di rumah bersama anggota keluarga dan orang tua mereka. Hilangnya waktu bermain dan belajar bersama dengan teman di sekolah, terbatasnya kesempatan untuk berkunjung ke area bermain, ataupun pengalaman menyaksikan secara langsung dampak Covid-19 terhadap orang tua atau anggota keluarga mereka (dampak fisik, ekonomi, dan psikologi), adalah pengalaman yang sulit bagi anak-anak dan remaja. Anak-anak mungkin banyak yang belum atau tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba ini. Kemampuan anak dan remaja dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan akibat Covid-19 ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, kematangan, ataupun tahapan perkembangan anak.
Sebagai contoh, bagi anak usia dini, pengalaman belajar di rumah mungkin merupakan kesempatan emas bagi mereka untuk selalu meluangkan waktu bersama orang tua di rumah. Akan tetapi, karena kemampuan resonansi psikologis anak usia dini terhadap orang tuanya sangat tinggi, tidak mengherankan jika mereka mampu merasakan kecemasan, kekhawatiran atau stres yang dialami orang tua mereka secara langsung. Dengan demikian, tidak jarang anak usia dini yang mengalami hal yang sama ketika terjadi masalah mental pada orang tua mereka.
Sebaliknya, ketika anak sudah memasuki usia sekolah dasar maupun usia remaja, pembatasan aktivitas di luar rumah dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman bagi aktivitas sosial mereka. Hal ini disebabkan perkembangan sosial anak yang mulai nyaman melakukan aktivitas bersama teman-temannya di sekolah di samping mereka membutuhkan sarana untuk eksistensi diri. Jadi, dengan adanya pembatasan aktivitas di luar rumah dalam waktu lama, anak-anak dan remaja secara umum akan rentan untuk mengalami tekanan psikologi dan gangguan kesehatan mental.
Masalah Kesehatan Mental Siswa
Penelitian yang dipublikasikan di JAMA Pediatrics Journal dan dilakukan di Hubei China serta melibatkan 2.330 anak sekolah membuktikan bahwa anak-anak usia sekolah yang mengalami karantina proses belajar akibat Covid-19 menunjukkan beberapa tanda-tanda tekanan emosional. Bahkan, penelitian lanjutan dari observasi tersebut menunjukkan bahwa 22,6% dari anak-anak yang diobservasi mengalami gejala depresi dan 18,9% mengalami kecemasan. Hasil survei yang dilakukan oleh pemerintah Jepang juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu 72% anak-anak Jepang merasakan stres akibat Covid-19.
Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Investigasi yang dilakukan oleh Centre for Disease Control (CDC) menunjukkan 7,1% anak-anak dalam kelompok usia 3 hingga 17 tahun telah didiagnosis dengan kecemasan, dan sekitar 3,2% pada kelompok usia yang sama menderita depresi. Bahkan, penelitian lainnya menunjukkan bahwa isolasi akibat Covid-19 ini menyebabkan kondisi kesehatan mental anak-anak berkebutuhan khusus, seperti ADHD, ASD, dan disabilitas lainnya semakin buruk.
tulis komentar anda