Kemenangan Akal Sehat
Jum'at, 06 November 2020 - 05:00 WIB
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI)
CALON presiden dari Partai Demokrat Joe Biden berpeluang besar memenangi pertarungan pemilu Amerika Serikat (AS)—salah satu pemilu presiden (pilpres) yang sangat ketat dalam sejarah kepemiluan Negeri Paman Sam. Kemenangan di wilayah-wilayah Battle Ground, terutama di Wisconsin dan Michigan, menjadi penentu keunggulan sementara Biden atas rivalnya dari Partai Republik Donald Trump. Sementara, Trump hanya memenangi sedikit wilayah Battle Ground. Itu berkutat di wilayah seperti Texas dan Florida yang memang merupakan basis pendukung Trump.
Beragam sikap dan kebijakan irasional Trump sepanjang empat tahun terakhir menjabat telah memberikan banyak keuntungan bagi Biden pada pilpres ini. Berbagai kontroversi, kebohongan, dan salah kelola yang dilakukan Trump merupakan amunisi yang tinggal di-high light kembali oleh Tim Pemenangan Biden pada saat kampanye. Menjelang waktu pemilihan sejumlah problematika dan isu-isu besar pada tahun ini, semisal kasus rasisme, termasuk pembunuhan George Floyd yang memunculkan gerakan Black Lives Matters, dan terutama penanganan Covid-19, benar-benar membawa malapetaka bagi Trump yang cenderung menyelesaikannya dengan sekadar retorika, bahkan kebohongan.
Sikap dingin Trump terkait dengan aksi-aksi rasisme seolah membawa angin segar bagi kelompok-kelompok antiminoritas di AS. Sementara, data-data terkait Covid-19, misalnya, banyak yang tidak didasarkan pada kenyataan. Trump bahkan selalu mengklaim penanganan Covid-19 AS adalah yang terbaik di dunia—hal yang tentu saja bertolak belakangan dengan kenyataan korban meninggal yang menembus 200.000 orang hingga akhir tahun ini. Kenyataannya, Trump dan para pendukungnya sepanjang awal tahun ini cenderung menafikan eksistensi virus Covid-19.
Dalam menjalankan kekuasaannya, Trump lebih senang membangun kebijakan atas dasar intuisi personal yang selalu diyakininya benar. Dia seolah tahu apa yang ada di benak dan hati masyarakat AS. Dia tidak menyukai analisis yang kompleks, apalagi yang melawan intuisinya, yang menyebabkan pengelolaan kebijakan kerap out of the box namun juga pastinya irasional. Ini membuat frustrasi bahkan untuk orang-orang di sekitarnya. Tidak mengherankan, Trump menjadi presiden AS yang paling banyak memecat atau ditinggal oleh penasihat yang kemudian menjadi lawan politiknya.
Tidak lama setelah ditetapkan sebagai presiden pada 2016, berbagai kontroversi dan kekacauan segera terlihat dalam banyak hal. Meski bagi pendukungnya, Trump layaknya seorang demigod yang akan membawa AS keluar dari ketimpangan ekonomi. Hingga empat tahun masa pemerintahannya, Trump gagal mewujudkannya. Anthony W Orlando (2018) seorang jurnalis mengatakan Trump telah gagal mengatasi kesenjangan ekonomi di negara-negara bagian yang mendukungnya dan AS pada umumnya. Persoalan utama lain adalah semakin terbelahnya masyarakat AS, terutama terkait dengan masalah diskriminasi ras. Kebijakan Trump yang cenderung menyelesaikan persoalan ini dengan cara-cara tidak simpatik, bahkan kekerasan, menyebabkan keterbelahan itu semakin terlihat.
Sementara dalam konteks internasional, AS di bawah Trump benar-benar menjadi negara terkucil dan terbelakang. Eksistensi dan “peran tradisional” AS sebagai pemain global nomor wahid dengan karakteristik prodemokrasi dan pejuang persamaan hak yang selama ini coba dikuatkan oleh presiden sebelumnya, Barack Obama, seolah-olah sirna. Di masa Trump, AS mundur dalam peran internasional, yang kerap disebut dengan kebijakan deglobalisasi Trump. Di antaranya AS menarik diri dari UNESCO dan WHO karena dianggap tidak memberikan benefit buat AS. Selain itu, AS mengambil kebijakan mendukung Jerusalem sebagai ibu kota bagi Israel yang membuat AS semakin menjauh dari idealisme masyarakat dunia.
Perang dagang, terutama dengan China, yang berdampak luas pada perekonomian dunia, kenyataannya tidak membawa hasil yang benar-benar positif bagi warga dunia. Kebijakannya yang cenderung proteksionis menyulitkan perdagangan global karena AS tidak lagi mau berperan sebagai negosiator multilateral untuk menurunkan tarif dan menghapuskan berbagai hambatan perdagangan (Winarno 2020). Di bawah Trump, negara-negara sahabat AS sekalipun terpukul secara ekonomi karena berbagai sanksi ekonomi dan tingginya tarif impor yang ditetapkan oleh AS.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI)
CALON presiden dari Partai Demokrat Joe Biden berpeluang besar memenangi pertarungan pemilu Amerika Serikat (AS)—salah satu pemilu presiden (pilpres) yang sangat ketat dalam sejarah kepemiluan Negeri Paman Sam. Kemenangan di wilayah-wilayah Battle Ground, terutama di Wisconsin dan Michigan, menjadi penentu keunggulan sementara Biden atas rivalnya dari Partai Republik Donald Trump. Sementara, Trump hanya memenangi sedikit wilayah Battle Ground. Itu berkutat di wilayah seperti Texas dan Florida yang memang merupakan basis pendukung Trump.
Beragam sikap dan kebijakan irasional Trump sepanjang empat tahun terakhir menjabat telah memberikan banyak keuntungan bagi Biden pada pilpres ini. Berbagai kontroversi, kebohongan, dan salah kelola yang dilakukan Trump merupakan amunisi yang tinggal di-high light kembali oleh Tim Pemenangan Biden pada saat kampanye. Menjelang waktu pemilihan sejumlah problematika dan isu-isu besar pada tahun ini, semisal kasus rasisme, termasuk pembunuhan George Floyd yang memunculkan gerakan Black Lives Matters, dan terutama penanganan Covid-19, benar-benar membawa malapetaka bagi Trump yang cenderung menyelesaikannya dengan sekadar retorika, bahkan kebohongan.
Sikap dingin Trump terkait dengan aksi-aksi rasisme seolah membawa angin segar bagi kelompok-kelompok antiminoritas di AS. Sementara, data-data terkait Covid-19, misalnya, banyak yang tidak didasarkan pada kenyataan. Trump bahkan selalu mengklaim penanganan Covid-19 AS adalah yang terbaik di dunia—hal yang tentu saja bertolak belakangan dengan kenyataan korban meninggal yang menembus 200.000 orang hingga akhir tahun ini. Kenyataannya, Trump dan para pendukungnya sepanjang awal tahun ini cenderung menafikan eksistensi virus Covid-19.
Dalam menjalankan kekuasaannya, Trump lebih senang membangun kebijakan atas dasar intuisi personal yang selalu diyakininya benar. Dia seolah tahu apa yang ada di benak dan hati masyarakat AS. Dia tidak menyukai analisis yang kompleks, apalagi yang melawan intuisinya, yang menyebabkan pengelolaan kebijakan kerap out of the box namun juga pastinya irasional. Ini membuat frustrasi bahkan untuk orang-orang di sekitarnya. Tidak mengherankan, Trump menjadi presiden AS yang paling banyak memecat atau ditinggal oleh penasihat yang kemudian menjadi lawan politiknya.
Tidak lama setelah ditetapkan sebagai presiden pada 2016, berbagai kontroversi dan kekacauan segera terlihat dalam banyak hal. Meski bagi pendukungnya, Trump layaknya seorang demigod yang akan membawa AS keluar dari ketimpangan ekonomi. Hingga empat tahun masa pemerintahannya, Trump gagal mewujudkannya. Anthony W Orlando (2018) seorang jurnalis mengatakan Trump telah gagal mengatasi kesenjangan ekonomi di negara-negara bagian yang mendukungnya dan AS pada umumnya. Persoalan utama lain adalah semakin terbelahnya masyarakat AS, terutama terkait dengan masalah diskriminasi ras. Kebijakan Trump yang cenderung menyelesaikan persoalan ini dengan cara-cara tidak simpatik, bahkan kekerasan, menyebabkan keterbelahan itu semakin terlihat.
Sementara dalam konteks internasional, AS di bawah Trump benar-benar menjadi negara terkucil dan terbelakang. Eksistensi dan “peran tradisional” AS sebagai pemain global nomor wahid dengan karakteristik prodemokrasi dan pejuang persamaan hak yang selama ini coba dikuatkan oleh presiden sebelumnya, Barack Obama, seolah-olah sirna. Di masa Trump, AS mundur dalam peran internasional, yang kerap disebut dengan kebijakan deglobalisasi Trump. Di antaranya AS menarik diri dari UNESCO dan WHO karena dianggap tidak memberikan benefit buat AS. Selain itu, AS mengambil kebijakan mendukung Jerusalem sebagai ibu kota bagi Israel yang membuat AS semakin menjauh dari idealisme masyarakat dunia.
Perang dagang, terutama dengan China, yang berdampak luas pada perekonomian dunia, kenyataannya tidak membawa hasil yang benar-benar positif bagi warga dunia. Kebijakannya yang cenderung proteksionis menyulitkan perdagangan global karena AS tidak lagi mau berperan sebagai negosiator multilateral untuk menurunkan tarif dan menghapuskan berbagai hambatan perdagangan (Winarno 2020). Di bawah Trump, negara-negara sahabat AS sekalipun terpukul secara ekonomi karena berbagai sanksi ekonomi dan tingginya tarif impor yang ditetapkan oleh AS.
tulis komentar anda