Aktif Berorganisasi, Camel Petir Jadi Bendahara KITA
Selasa, 03 November 2020 - 08:05 WIB
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum KITA, KH Maman Imanulhaq mengungkapkan Munas ini membahas visi Indonesia KITA, refleksi satu tahun Jokowi-Amin, serta mendengar laporan dari 45 Dewan Perwakilan KITA dari seluruh Indonesia. Laporan akan disampaikan perwakilan dari Medan, Banten, Cirebon, Jogjakarta, Pontianak, Papua, Bandung, Kupang, dan Jakarta.
Sementara itu Ketua Majelis Hikmah KITA, Taufik Rahzen, menyampaikan bahwa ini wacana budaya bertema “Menenun Keselarasan Besar: KITA, Cita, Cipta”.
Taufik Rahzen menyatakan, saat ini bangsa Indonesia sedang menenun kembali kesadarannya. Kain sosial yang digunakan selama ini, kian lusuh dan tersobek. Kain budaya yang dirajut turun temurun dari generasi ke generasi, kini terbilas oleh wabah, tercemar oleh kecemasan dan kehilangan asa. Putus asa, kita membutuhkan pakaian yang baru. (Baca juga:Sumpah Pemuda, Milenial Harus Kritis dan Kawal Perjalanan Bangsa)
“Kita hadir di tempat ini, sesungguhnya sedang menenun kembali kesadaran baru, dengan corak dan pola yang belum ada bentuknya. Pola yang disusun bersama, mencari corak sambil bekerja, menjahit sambil memakainya. Normalitas baru membutuhkan moralitas baru. Sebagaimana kewajaran baru memerlukan tata-ajar dan ajaran baru,” tutup Taufik.
Sementara itu Ketua Majelis Hikmah KITA, Taufik Rahzen, menyampaikan bahwa ini wacana budaya bertema “Menenun Keselarasan Besar: KITA, Cita, Cipta”.
Taufik Rahzen menyatakan, saat ini bangsa Indonesia sedang menenun kembali kesadarannya. Kain sosial yang digunakan selama ini, kian lusuh dan tersobek. Kain budaya yang dirajut turun temurun dari generasi ke generasi, kini terbilas oleh wabah, tercemar oleh kecemasan dan kehilangan asa. Putus asa, kita membutuhkan pakaian yang baru. (Baca juga:Sumpah Pemuda, Milenial Harus Kritis dan Kawal Perjalanan Bangsa)
“Kita hadir di tempat ini, sesungguhnya sedang menenun kembali kesadaran baru, dengan corak dan pola yang belum ada bentuknya. Pola yang disusun bersama, mencari corak sambil bekerja, menjahit sambil memakainya. Normalitas baru membutuhkan moralitas baru. Sebagaimana kewajaran baru memerlukan tata-ajar dan ajaran baru,” tutup Taufik.
(kri)
tulis komentar anda