Bahas 'Iktikad Baik' dalam Hukum, Patra M Zen Raih Gelar Doktor
Rabu, 28 Oktober 2020 - 22:21 WIB
JAKARTA - Disiplin hukum pidana disebut tidak memadai untuk menilai "iktikad baik" pihak ketiga. Oleh karena itu, diperlukan disiplin ilmu lain, yakni ekonomi (akuntansi forensik) dan antropologi (fisiognomi dan analisis gestur) dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di muka persidangan.
Hal itu disampaikan mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) Patra M Zen dalam presentasi disertasi dihadapan ujian/sidang promosi doktor Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana.
Menurut dia, kebaruan (novelty) dalam disertasinya adalah konsep pihak ketiga yang beriktikad baik dan cara membedakan harta kekayaan yang didapat dengan kejujuran dan kewajaran dengan harta kekayaan pihak ketiga yang kotor dan tercemar (dirty and tainted property).
"Hukum acara pidana di Indonesia belum menjamin hak atas harta kekayaan pihak ketiga yang beritikad baik," kata Patra seperti dalam keterangannya, Rabu (29/10/2020).
Sidang terbuka dipimpin oleh Ketua Program Pascasarjana Dr Firman Wijaya SH MH yang juga selaku Co-Promotor II; Prof. Dr. Tb Ronny Nitibaskara bertindak sebagai Promotor; dan Dr. Chairul Huda SH, MH selaku Co-Promotot I. Adapun para penguji adalah, Prof Dr Basuki Rekso W, Dr Yenti Ganarsih, Dr Rocky Marbun, dan Dr Hartanto.
Lebih lanjut dia mengatakan, dari 12 putusan yang diteliti dalam disertasinya, Patra menemukan adanya irasionalitas dalam due process of law perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. "Telah terjadi ketidakadilan dan pelanggar HAM dalam due process of law dalam perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang di negeri ini," urai Patra.
Menurut dia, tidak ada kewajiban bagi penyidik, penuntut umum maupun hakim untuk menguraikan rasionalitas penyitaan dan perampasan harta kekayaan pihak ketiga. Padahal dalam praktik peradilan, pihak ketiga bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yakni pihak ketiga yang beriktikad baik dan buruk.
"Perlindungan harta kekayaan pihak ketiga atas harta kekayaan di negeri ini masih bergantung pada 'kebaikan moral' penyidik, penuntut umum dan hakim," ujar Patra. (Baca juga:Duo Manchester Beri Ucapan Selamat Hari Sumpah Pemuda)
Sidang terbuka dihadiri oleh para mentor dan senior promovendus, di antaranya Prof Amzulian Rifai SH LLM Ketua Ombudsman Republik Indonesia (dosen Patra saat menempuh pendidikan hukum di Universitas Indonesia).
Tampak hadir Dr Hotma Sitoempoel (advokat senior yang menjadi mentor promovendus saat di Yayasan LBH Indonesia), Ferry Lawrentius Hollen direksi Gajah Tunggal Group (salah satu group perusaaan klien promovendus), Kartini Nurdin Ketua Yayasan Obor Indonesia (penerbit) dan Dian Novita Susanto, Direktur Eksekutif Kantor Hukum Moeldoko81, dimana promovendus didapuk selaku Direktur Hukum. (Baca juga: Pidato Sumpah Pemuda, Megawati Kembali Ungkap Kekesalan Dituding PKI)
Hadir pula Lidia Ariyanti, istri dan kelima anak Patra mendampingi promovendus juga orang tua dan adik-adiknya. Tampak juga ibu kandung, ayah dan ibu mertua. "Kalau ayahnya masih hidup, pasti sekarang sudah menangis, kata Hj Siti Alfiah, ibunda Patra.
Hal itu disampaikan mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) Patra M Zen dalam presentasi disertasi dihadapan ujian/sidang promosi doktor Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana.
Menurut dia, kebaruan (novelty) dalam disertasinya adalah konsep pihak ketiga yang beriktikad baik dan cara membedakan harta kekayaan yang didapat dengan kejujuran dan kewajaran dengan harta kekayaan pihak ketiga yang kotor dan tercemar (dirty and tainted property).
"Hukum acara pidana di Indonesia belum menjamin hak atas harta kekayaan pihak ketiga yang beritikad baik," kata Patra seperti dalam keterangannya, Rabu (29/10/2020).
Sidang terbuka dipimpin oleh Ketua Program Pascasarjana Dr Firman Wijaya SH MH yang juga selaku Co-Promotor II; Prof. Dr. Tb Ronny Nitibaskara bertindak sebagai Promotor; dan Dr. Chairul Huda SH, MH selaku Co-Promotot I. Adapun para penguji adalah, Prof Dr Basuki Rekso W, Dr Yenti Ganarsih, Dr Rocky Marbun, dan Dr Hartanto.
Lebih lanjut dia mengatakan, dari 12 putusan yang diteliti dalam disertasinya, Patra menemukan adanya irasionalitas dalam due process of law perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. "Telah terjadi ketidakadilan dan pelanggar HAM dalam due process of law dalam perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang di negeri ini," urai Patra.
Menurut dia, tidak ada kewajiban bagi penyidik, penuntut umum maupun hakim untuk menguraikan rasionalitas penyitaan dan perampasan harta kekayaan pihak ketiga. Padahal dalam praktik peradilan, pihak ketiga bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yakni pihak ketiga yang beriktikad baik dan buruk.
"Perlindungan harta kekayaan pihak ketiga atas harta kekayaan di negeri ini masih bergantung pada 'kebaikan moral' penyidik, penuntut umum dan hakim," ujar Patra. (Baca juga:Duo Manchester Beri Ucapan Selamat Hari Sumpah Pemuda)
Sidang terbuka dihadiri oleh para mentor dan senior promovendus, di antaranya Prof Amzulian Rifai SH LLM Ketua Ombudsman Republik Indonesia (dosen Patra saat menempuh pendidikan hukum di Universitas Indonesia).
Tampak hadir Dr Hotma Sitoempoel (advokat senior yang menjadi mentor promovendus saat di Yayasan LBH Indonesia), Ferry Lawrentius Hollen direksi Gajah Tunggal Group (salah satu group perusaaan klien promovendus), Kartini Nurdin Ketua Yayasan Obor Indonesia (penerbit) dan Dian Novita Susanto, Direktur Eksekutif Kantor Hukum Moeldoko81, dimana promovendus didapuk selaku Direktur Hukum. (Baca juga: Pidato Sumpah Pemuda, Megawati Kembali Ungkap Kekesalan Dituding PKI)
Hadir pula Lidia Ariyanti, istri dan kelima anak Patra mendampingi promovendus juga orang tua dan adik-adiknya. Tampak juga ibu kandung, ayah dan ibu mertua. "Kalau ayahnya masih hidup, pasti sekarang sudah menangis, kata Hj Siti Alfiah, ibunda Patra.
(dam)
tulis komentar anda