Demokrasi Indonesia Butuh Banyak Jawaban
Selasa, 27 Oktober 2020 - 06:01 WIB
DALAM perspektif kritis, laporan soal kian menurunnya indeks demokrasi plus ketidakpuasan kaum milenial terhadap sistem ini tidak terlalu mengagetkan. Sinyal anjloknya indeks telah terang mulai terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Kegagalan negara merespons atau menjawab dinamika sosial di tengah masyarakat tak ayal membuat publik, wabilkhusus kaum muda, kurang percaya.
Paparan data seperti yang terakhir diungkap oleh Center for the Future of Democracy dari Cambridge University atau survei Indikator Politik Indonesia tentu bukan sembarang data. Bagi Pemerintah Indonesia, data ini menjadi sumber yang sangat berharga untuk memitigasi negara ke depan. Pemerintah tentu berhak beralasan bahwa kecenderungan publik utamanya kaum muda tak puas dengan sistem demokrasi itu adalah fenomena global. Artinya, kegagalan ini tidak bisa ditumpukan lantaran kesalahan tata kelola di dalam negeri saja. Di tengah globalisasi ini, Indonesia dan mayoritas negara di dunia saling terkait, lebih-lebih pada hal jejaring kapitalisme.
Dus, untuk mengurai data itu tak sesederhana membalikkan tangan. Lebih-lebih di saat pandemi yang belum mampu terkendali ini, setiap negara kebanyakan seolah berpikir demi kepentingan dalam negerinya sendiri.
Soal keakuratan survei, pemerintah pun berhak mengelak atau bahkan tak percaya. Namun, terlepas dari itu, data tersebut patut menjadi rujukan atau setidaknya jadi bahan kewaspadaan. Jika melihat hasil survei, munculnya ketidakpuasan atas sistem demokrasi tentu tidak disebabkan faktor tunggal. Sebagai bagian sistem pemerintahan yang berbasis rakyat, demokrasi pun telah diterapkan di mayoritas negara di dunia. Dengan demikian, kegagalan-kegagalan yang terjadi hakikatnya capture atas fakta di berbagai belahan dunia dalam kurun waktu lama.
Di Indonesia, terlepas terkorelasi dengan hasil penelitian survei atau tidak, narasi ketidakpuasan atas demokrasi diakui makin nyaring terdengar. Selama 22 tahun setelah peralihan rezim dari Orde Baru menuju Reformasi, faktanya belum memberikan jawaban memuaskan atas terwujudnya demokrasi.
Tak salah kiranya, demokrasi masih dianggap sebatas prosedural, belum substantif. Benar memang pemilu telah digelar rutin secara periodik dan diikuti semua lapisan masyarakat. Namun, keterlibatan publik lebih sekadar cara menggugurkan tahapan demokrasi, belum menyentuh intinya. Lagi-lagi tak salah kiranya jika demokrasi Indonesia masih sebatas vote, belum menjangkar ke voice.
Indikasi ini tak berlebihan. Kedamaian (peace) dan keadilan (justice) yang menjadi muara utama demokrasi belum sepenuhnya dirasakan semua anak negeri. Tebang pilih penegakan hukum, pengabaian kekerasan terhadap suatu kelompok, hingga pengekangan kebebasan masih sering kita saksikan di negeri ini. Fakta ini dikuatkan hasil survei Indikator Politik Indonesia terakhir (24-30 September 2020) yang mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat cenderung takut menyatakan pendapat.
Ini menjadi pekerjaan rumah sekaligus alarm besar pemerintah untuk membenahi agar bolong-bolong demokrasi tak kian menganga. Kita sepakat, demokrasi bukanlah sistem yang sepenuhnya ideal. Namun, saat ini, diakui demokrasi menjadi sistem yang lebih baik dibandingkan yang lain. Seperti dikatakan Robert Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989), yang salah bukanlah demokrasi, tetapi orang yang mempraktikkanya.
Ada banyak kemuliaan pada sistem ini. Di situ ada kebebasan, kesetaraan, dan kemerdekaan berpikir. Nilai-nilai positif inilah yang harus ditransformasikan, terutama ke kaum muda, agar mereka juga bisa berpikir makin matang. Kaum muda, termasuk generasi milenial adalah potensi besar bangsa ini. Ketidakpuasan yang muncul bisa jadi mereka hidup di zaman keterbukaan sehingga tak mampu membandingkan represivitas di era Orde Baru. Mereka perlu didekati dan dipahami. Kegagalan menyapa mereka hakikatnya memendam masalah besar di kemudian hari. Bahkan, terhadap eksistensi sistem demokrasi ini sendiri.
Paparan data seperti yang terakhir diungkap oleh Center for the Future of Democracy dari Cambridge University atau survei Indikator Politik Indonesia tentu bukan sembarang data. Bagi Pemerintah Indonesia, data ini menjadi sumber yang sangat berharga untuk memitigasi negara ke depan. Pemerintah tentu berhak beralasan bahwa kecenderungan publik utamanya kaum muda tak puas dengan sistem demokrasi itu adalah fenomena global. Artinya, kegagalan ini tidak bisa ditumpukan lantaran kesalahan tata kelola di dalam negeri saja. Di tengah globalisasi ini, Indonesia dan mayoritas negara di dunia saling terkait, lebih-lebih pada hal jejaring kapitalisme.
Dus, untuk mengurai data itu tak sesederhana membalikkan tangan. Lebih-lebih di saat pandemi yang belum mampu terkendali ini, setiap negara kebanyakan seolah berpikir demi kepentingan dalam negerinya sendiri.
Soal keakuratan survei, pemerintah pun berhak mengelak atau bahkan tak percaya. Namun, terlepas dari itu, data tersebut patut menjadi rujukan atau setidaknya jadi bahan kewaspadaan. Jika melihat hasil survei, munculnya ketidakpuasan atas sistem demokrasi tentu tidak disebabkan faktor tunggal. Sebagai bagian sistem pemerintahan yang berbasis rakyat, demokrasi pun telah diterapkan di mayoritas negara di dunia. Dengan demikian, kegagalan-kegagalan yang terjadi hakikatnya capture atas fakta di berbagai belahan dunia dalam kurun waktu lama.
Di Indonesia, terlepas terkorelasi dengan hasil penelitian survei atau tidak, narasi ketidakpuasan atas demokrasi diakui makin nyaring terdengar. Selama 22 tahun setelah peralihan rezim dari Orde Baru menuju Reformasi, faktanya belum memberikan jawaban memuaskan atas terwujudnya demokrasi.
Tak salah kiranya, demokrasi masih dianggap sebatas prosedural, belum substantif. Benar memang pemilu telah digelar rutin secara periodik dan diikuti semua lapisan masyarakat. Namun, keterlibatan publik lebih sekadar cara menggugurkan tahapan demokrasi, belum menyentuh intinya. Lagi-lagi tak salah kiranya jika demokrasi Indonesia masih sebatas vote, belum menjangkar ke voice.
Indikasi ini tak berlebihan. Kedamaian (peace) dan keadilan (justice) yang menjadi muara utama demokrasi belum sepenuhnya dirasakan semua anak negeri. Tebang pilih penegakan hukum, pengabaian kekerasan terhadap suatu kelompok, hingga pengekangan kebebasan masih sering kita saksikan di negeri ini. Fakta ini dikuatkan hasil survei Indikator Politik Indonesia terakhir (24-30 September 2020) yang mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat cenderung takut menyatakan pendapat.
Ini menjadi pekerjaan rumah sekaligus alarm besar pemerintah untuk membenahi agar bolong-bolong demokrasi tak kian menganga. Kita sepakat, demokrasi bukanlah sistem yang sepenuhnya ideal. Namun, saat ini, diakui demokrasi menjadi sistem yang lebih baik dibandingkan yang lain. Seperti dikatakan Robert Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989), yang salah bukanlah demokrasi, tetapi orang yang mempraktikkanya.
Ada banyak kemuliaan pada sistem ini. Di situ ada kebebasan, kesetaraan, dan kemerdekaan berpikir. Nilai-nilai positif inilah yang harus ditransformasikan, terutama ke kaum muda, agar mereka juga bisa berpikir makin matang. Kaum muda, termasuk generasi milenial adalah potensi besar bangsa ini. Ketidakpuasan yang muncul bisa jadi mereka hidup di zaman keterbukaan sehingga tak mampu membandingkan represivitas di era Orde Baru. Mereka perlu didekati dan dipahami. Kegagalan menyapa mereka hakikatnya memendam masalah besar di kemudian hari. Bahkan, terhadap eksistensi sistem demokrasi ini sendiri.
(bmm)
tulis komentar anda