Dua Alasan Utama Milenial Kecewa Terhadap Demokrasi
Senin, 26 Oktober 2020 - 11:39 WIB
JAKARTA - Milenial menganggap praktik demokrasi tidak sesuai harapan. Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) Hurriyah mengatakan ada dua hal yang menyebabkan kekecewaan para milenial terhadap sistem demokrasi.
Pertama, Ada kesenjangan antara cita-cita demokrasi dan realitas. Selama ini demokrasi di mata masyarakat identik dengan janji kebebasan, kesejahteraan, dan good government.
Masyarakat memandang seharusnya demokrasi memberikan kesetaraan dalam menyuarakan pendapat dan partisipasi dalam politik. Sistem politik demokrasi juga dianggap unggul dibandingkan sistem politik, lainnya, seperti sosialis, komunis, dan monarki
“Kita bisa lihat perbandingan di dunia, tren negara demokrasi yang kaya jauh lebih banyak dibandingkan dengan negara otoriter yang makmur. Kita ambil contoh negara Timur Tengah itu bukan karena demokrasinya, tetapi sumber daya alamnya,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Minggu malam (25/10/2020).
Namun, secara global hari ini, demokrasi dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak mempunyai orientasi dan tujuan yang demokrasi. Di beberapa negara malah dimanfaatkan oleh kaum populis.( )
Partai-partai populis di Eropa ini semakin mendapatkan dukungan yang besar. Hurriyah menerangkan beberapa elite politik menggunakan jargon populis padahal dia bukan populis, seperti Donald Trump dan Jair Bolsonaro. Selain itu, demokrasi kadang “dibajak” oleh oligarki.
“Akhirnya sistemnya demokrasi, tetapi secara nilai dan substansi jauh dari nilai-nilai demokrasi. Dalam konteks Indonesia, sejak 2004, kita punya presiden yang terpilih secara demokratis. Akan tetapi, ketika memerintah justru tidak demokratis. Ini jadi persoalan juga,” katanya.
Alasan kedua, milenial kecewa berkaitan dengan tantangan dan persoalan khas yang dihadapi. Para milenial ini sangat konsen dengan isu ekonomi, seperti pekerjaan dan kebutuhan hidup. Beberapa waktu lalu, ada riset yang menyebutkan milenial akan kesulitan untuk membeli rumah karena harganya yang meroket.( )
Hurriyah menyatakan para milenial ini terbiasa dengan kompetisi. Mereka sangat mengedepankan kemampuan dalam menggapai sesuatu yang diinginkan.
Di sisi lain, para milenial dipertontonkan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan norma, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), oleh para politikus.
“Praktik politik Indonesia yang dilihat adalah nepotisme. Ini kan bertentangan. Mereka meyakini dalam dunia kerja, saya harus kompetitif. Harusnya punya kompetensi untuk mengalahkan orang lain, tetapi dunia politik masih sangat nepotisme. Sekarang nepotisme menjalar ke politisi muda,” tuturnya.
Pertama, Ada kesenjangan antara cita-cita demokrasi dan realitas. Selama ini demokrasi di mata masyarakat identik dengan janji kebebasan, kesejahteraan, dan good government.
Masyarakat memandang seharusnya demokrasi memberikan kesetaraan dalam menyuarakan pendapat dan partisipasi dalam politik. Sistem politik demokrasi juga dianggap unggul dibandingkan sistem politik, lainnya, seperti sosialis, komunis, dan monarki
“Kita bisa lihat perbandingan di dunia, tren negara demokrasi yang kaya jauh lebih banyak dibandingkan dengan negara otoriter yang makmur. Kita ambil contoh negara Timur Tengah itu bukan karena demokrasinya, tetapi sumber daya alamnya,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Minggu malam (25/10/2020).
Namun, secara global hari ini, demokrasi dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak mempunyai orientasi dan tujuan yang demokrasi. Di beberapa negara malah dimanfaatkan oleh kaum populis.( )
Partai-partai populis di Eropa ini semakin mendapatkan dukungan yang besar. Hurriyah menerangkan beberapa elite politik menggunakan jargon populis padahal dia bukan populis, seperti Donald Trump dan Jair Bolsonaro. Selain itu, demokrasi kadang “dibajak” oleh oligarki.
“Akhirnya sistemnya demokrasi, tetapi secara nilai dan substansi jauh dari nilai-nilai demokrasi. Dalam konteks Indonesia, sejak 2004, kita punya presiden yang terpilih secara demokratis. Akan tetapi, ketika memerintah justru tidak demokratis. Ini jadi persoalan juga,” katanya.
Alasan kedua, milenial kecewa berkaitan dengan tantangan dan persoalan khas yang dihadapi. Para milenial ini sangat konsen dengan isu ekonomi, seperti pekerjaan dan kebutuhan hidup. Beberapa waktu lalu, ada riset yang menyebutkan milenial akan kesulitan untuk membeli rumah karena harganya yang meroket.( )
Hurriyah menyatakan para milenial ini terbiasa dengan kompetisi. Mereka sangat mengedepankan kemampuan dalam menggapai sesuatu yang diinginkan.
Di sisi lain, para milenial dipertontonkan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan norma, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), oleh para politikus.
“Praktik politik Indonesia yang dilihat adalah nepotisme. Ini kan bertentangan. Mereka meyakini dalam dunia kerja, saya harus kompetitif. Harusnya punya kompetensi untuk mengalahkan orang lain, tetapi dunia politik masih sangat nepotisme. Sekarang nepotisme menjalar ke politisi muda,” tuturnya.
(dam)
Lihat Juga :
tulis komentar anda