LP3ES: Kemunduran Demokrasi Indonesia Sudah Tampak Sebelum Pandemi
Minggu, 25 Oktober 2020 - 20:00 WIB
JAKARTA - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial ( LP3ES ) telah membaca suramnya demokrasi Indonesia jauh sebelum terjadi pandemi Covid-19. LP3ES bahkan sempat meluncurkan buku Menyelamatkan Demokrasi akhir tahun lalu.
“Waktu itu pandemi belum tiba, kondisi demokrasi belum seperti sekarang rumitnya. Tapi waktu itu sudah prihatin sebenarnya, sudah melihat situasi yang cukup serius. Sehingga kita bikin buku Menyelamatkan Demokrasi, karena kemunduran demokrasi sudah kita lihat pada waktu itu sebetulnya,” kata Director Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto dalam Webminar Evaluasi Bidang Hukum dan Demokrasi yang digelar LP3ES, Minggu (25/10/2020).
(Baca: Sebut Demokrasi Dibajak Pakai Covid-19, Jimly: Ada Gejala Diktator Konstitusional)
Menurut Wijayanto, LP3ES memprediksi kondisi demokrasi akan semakin buruk pada waktu meluncurkan buku. Meski memang diakuinya ada harapan bahwa prediksi tersebut jangan sampai terjadi
“Kita sebenarnya tidak mengharapkan presidiksi kita bahwa situasi demokrasi akan semakin muram itu terwujud. Tapi kenyataannya adalah seperti yang kita dapati hari ini ya, yang namanya kemunduran demokrasi semakin terjadi,” ungkapnya.
Wijayanto mengatakan pada hasil studi The Economist Intelligence Unit tahun 2019, Indonesia masuk dalam negara flawed democracy atau demokrasi yang cacat.Dimana salah satu kontribusi terbesar yang membuat demokrasi di Indonesia cacat adalah kultur politik dan kebebasan sipil. Khusus untuk civil liberties, Indonesia kalah dari banyak negara.
(Baca: Demokrasi Indonesia Mundur, Ini Saran Jimly untuk Presiden Jokowi)
“Civil Liberties ini skor kita 5,59. Kita kalah misalnya dari Mongolia, Filipina, Malaysia. Khusus untuk civil libertie s bahkan jika dibandingkan dengan Singapura menurut The Economist, mereka skornya 7. Kita lebih rendah,” ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa hasil studi The Economist tahun lalu tersebut bahkan sejalan dengan hasil temuan survei Indikator Politik hari ini. Dimana kebebasan publik dalam menyatakan pendapat belum terjamin baik. Terbukti tingginya masyarakat yang takut menyatakan pendapat.
“Baru saja tadi siang Indikator Politik merilis hasil survei yang menunjukan bahwa warga makin takut menyatakan pendapat. Ada 21,9% yang setuju dan 47, 7% dari seluruh responden yang agak setuju. Jika setuju dan agak setuju digabungkan ternyata banyak warga, separuh warga agak takut atau sangat takut menyampaikan pendapat. Ini yang harus kita perhatikan bersama,” jelasnya.
“Waktu itu pandemi belum tiba, kondisi demokrasi belum seperti sekarang rumitnya. Tapi waktu itu sudah prihatin sebenarnya, sudah melihat situasi yang cukup serius. Sehingga kita bikin buku Menyelamatkan Demokrasi, karena kemunduran demokrasi sudah kita lihat pada waktu itu sebetulnya,” kata Director Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto dalam Webminar Evaluasi Bidang Hukum dan Demokrasi yang digelar LP3ES, Minggu (25/10/2020).
(Baca: Sebut Demokrasi Dibajak Pakai Covid-19, Jimly: Ada Gejala Diktator Konstitusional)
Menurut Wijayanto, LP3ES memprediksi kondisi demokrasi akan semakin buruk pada waktu meluncurkan buku. Meski memang diakuinya ada harapan bahwa prediksi tersebut jangan sampai terjadi
“Kita sebenarnya tidak mengharapkan presidiksi kita bahwa situasi demokrasi akan semakin muram itu terwujud. Tapi kenyataannya adalah seperti yang kita dapati hari ini ya, yang namanya kemunduran demokrasi semakin terjadi,” ungkapnya.
Wijayanto mengatakan pada hasil studi The Economist Intelligence Unit tahun 2019, Indonesia masuk dalam negara flawed democracy atau demokrasi yang cacat.Dimana salah satu kontribusi terbesar yang membuat demokrasi di Indonesia cacat adalah kultur politik dan kebebasan sipil. Khusus untuk civil liberties, Indonesia kalah dari banyak negara.
(Baca: Demokrasi Indonesia Mundur, Ini Saran Jimly untuk Presiden Jokowi)
“Civil Liberties ini skor kita 5,59. Kita kalah misalnya dari Mongolia, Filipina, Malaysia. Khusus untuk civil libertie s bahkan jika dibandingkan dengan Singapura menurut The Economist, mereka skornya 7. Kita lebih rendah,” ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa hasil studi The Economist tahun lalu tersebut bahkan sejalan dengan hasil temuan survei Indikator Politik hari ini. Dimana kebebasan publik dalam menyatakan pendapat belum terjamin baik. Terbukti tingginya masyarakat yang takut menyatakan pendapat.
“Baru saja tadi siang Indikator Politik merilis hasil survei yang menunjukan bahwa warga makin takut menyatakan pendapat. Ada 21,9% yang setuju dan 47, 7% dari seluruh responden yang agak setuju. Jika setuju dan agak setuju digabungkan ternyata banyak warga, separuh warga agak takut atau sangat takut menyampaikan pendapat. Ini yang harus kita perhatikan bersama,” jelasnya.
(muh)
tulis komentar anda