Mencari Solusi Layanan Kesehatan bagi Korban Tindak Pidana

Jum'at, 23 Oktober 2020 - 14:36 WIB
Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho menilai, ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r Perpres Nomor 82 Tahun 2018 yang mengalihkan tanggung jawab pemenuhan layanan kesehatan bagi para korban tindak pidana dari BPJS Kesehatan ke LPSK tidak disertai dengan pertimbangan yang matang. Pasalnya, kata dia, selama ini anggaran yang dimiliki LPSK atau disetujui oleh DPR dan pemerintah sangat terbatas.

Karenanya, Jamal menegaskan, ketika tanggung jawab beralih ke LPSK, maka pemerintah pusat harus mengucurkan anggaran untuk pemenuhan bantuan medis, psikososial, dan psikologis bagi para korban tindak pidana penyiksaan, penganiayaan berat, kekerasan seksual, dan perdagangan orang. Anggaran itu di luar anggaran yang sudah ditetapkan untuk LPSK.

"Ketika dalam Perpres tanggung jawabnya beralih ke LPSK, mestinya sudah ada prediksi alokasi anggarannya untuk LPSK untuk dana kesehatan dan bantuan-bantuan itu. LPSK mendorong saja ke pemerintah untuk realisasi anggaran. Itu kan urusan negara, harus direalisasikan," tegas Jamal saat dihubungi KORAN SINDO.

Dia membeberkan, untuk mengatasi minimnya informasi yang diperoleh masyarakat maka pemerintah termasuk BPJS Kesehatan dan LPSK harus terus melakukan sosialisasi sehubungan dengan Perpres tersebut. Artinya, menurut Jamal, BPJS Kesehatan tidak boleh lepas tangan meskipun ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r Perpres tadi telah berlaku. Berikutnya, LPSK pun harus duduk bersama dengan kementerian atau lembaga untuk memecahkan masalah yang masih terjadi.

"Dalam konteks ini, LPSK kan punya kepentingan. Harus duduk bersama dengan pihak-pihak terkait untuk terpenuhi hak-hak warga negara. Hak warga negara itu salah satunya adalah hak mendapatkan layanan medis dan perawatan manakala terjadi musibah ini dan itu," ujar Jamal.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hinca IP Panjaitan menyatakan, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan LPSK pada 16 September 2020 lalu, seluruh anggota Komisi III menyetujui kenaikan anggaran yang diajukan sebesar Rp129,1 miliar yang sebelumnya ditetapkan oleh Pemerintah melalui Kementerian Keuangan.

Semoga, kata Hinca, hasil dari RDP tersebut memberikan secercah harapan agar pemerintah jauh lebih perduli mengenai persoalan perlindungan saksi dan korban.

Dia menegaskan, LPSK adalah "malaikat tanpa sayap" yang melindungi tapi tidak dilindungi. Saat beberapa kali rapat di Komisi III, Hinca menyampaikan sangat kecewa karena setiap tahunnya justru anggaran LPSK terus dipangkas. Bayangkan saja, dalam jangka waktu lima tahun, anggaran LPSK yang mulanya sebesar Rp150 miliar menjadi hanya sekitar Rp54 miliar.

Untuk melaksanakan perlindungan terhadap saksi dan korban serta kompensasi korban, LPSK hanya dianggarkan Rp12 miliar. Bahkan, tutur Hinca, karena situasi pandemi COVID-19, anggaran LPSK kembali dipangkas menjadi hanya Rp45 miliar.

"Saya melihat ini sebagai situasi yang ironis. Bagaimana bisa kita memberikan LPSK tanggung jawab yang besar sementara kita membiarkan LPSK lemah secara anggaran, ibarat kita meminta perlindungan terhadap malaikat yang sudah kehilangan sayapnya. Diminta memgemban misi mulia melindungi saksi dan korban, eh tapi tak dikasih bensin kata orang Asahan," ujar Hinca kepada SINDOnews.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More