Seperti ini, Big Data Bisa Dongkrak Efisiensi BPJS Kesehatan
Kamis, 22 Oktober 2020 - 20:36 WIB
Ada 37 Miliar Data
Nurmala Selly menambahkan rekam medis pasien merupakan salah satu sumber data penting yang perlu diperhitungkan dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan efisiensi pembiayaan. Namun, saat ini sistem pencatatan data medis masih bersifat manual dan belum bersinergi dengan baik antara satu faskes dan faskes lainnya. Akibatnya, data yang sangat kaya tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Ke depan, peran para pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam mendorong integrasi big data kesehatan di Indonesia. “Disertai dengan kerangka regulasi yang tepat guna menjamin privasi dan keamanan data masyarakat,” kata Nurmala Selly.
Terkait pemanfaatan big data, pada Juni 2020 lalu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) bekerjasama dengan BPJS Kesehatan telah menerbitkan Buku Statistik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014-2018. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, data yang terekam dalam Program JKN-KIS merupakan aset berharga yang dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh negara untuk kemajuan kesehatan masyarakat Indonesia.“Data yang kami miliki ini dapat digunakan untuk dasar perencanaan, penganggaran, proyeksi anggaran, operasional kegiatan, dan juga penelitian,” ujar Fachmi Idris.
Mundiharno, Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan mengungkapkan hingga Maret 2020, pihaknya telah memiliki 37,58 miliar yang berasal dari pengelolaan Program JKN-KIS. Selama enam tahun ini, data tersebut sudah berbiak dengan cepat. Sebagai perbandingkan pada 2014 BPJS Kesehatan baru memiliki 1,29 miliar data.
Jadi data sample dan big data analysis, yang dimiliki BPJS Kesehatan sangat besar. Terdiri dari ratusan juta observasi, milyaran records dan ratusan variable. Data tersebut sangat kaya dan perlu dimanfaat secara optimal baik untuk kepentingan pengambilan keputusan internal manajemen. “Maupun sebagai dasar dalam pengembangan kebijakan makro JKN-KIS, kata Mundiharno.
Di dalam data tersebut, juga merekam data kepesertaan JKN-KIS yang pada akhir tahun lalu berjumlah 224,1 juta orang. Dalam data yang dimiliki BPJS Kesehatan itu terdiri dari Data Kepesertaan, ada 117 variabel dengan 268 juta data observasi. Lalu Data Layanan Primer, ada 119 variabel dengan 756 juta data observasi. Serta Data Pelayanan Rujukan, yang terdiri dari 128 variabel dan 434 juta data observasi.
Dalam Data Kepersertaan itu terdapat data Jenis Peserta, Golongan, Alamat, serta Pusat Pelayanan Kesehatan (PPK) yang dapat digunakan peserta. Data yang terekam dalam Layanan Primer, berupa Data Kunjungan, Data Pendaftaran dan Data Tindakan Dokter. Sementara pada Data Pelayanan Rujukan berisi data Surat Elijibilitas Peserta (SEP), Prsedur, Nomer Formulir Pengajuan Klaim, Verifikasi, serta data Diagnosa.
Hasbullah Thabrany mengatakan data-data seperti yang tersaji dalam Buku Statistik JKN 2014-2018, memang harus menjadi rujukan dalam pengelolaan JKN-KIS ke depan. Data itu tersaji dalam setiap provinsi. Sehingga bisa dianalisa, di provinsi tertentu berapa besar klaimnya. Bisa dibandingkannya dengan jumlah peserta BPJS Kesehatan, yang ada di provinsi tersebut. Kelengkapan fasilitas kesehatan yang dimiliki. Kecendrungan jenis penyakit yang diderita penduduk, dan sebagainya.
Dari data tersebut juga bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana metode pengobatan yang dilakukan dapat membuat pasien sembuh. “Kita juga bisa melihat seberapa banyak sebenarnya pengobatan cuci darah dapat mempertahankan kelangsungan hidup pasien gagal ginjal, “ujar Hasbullah. Data-data seperti ini sangat diperlukan untuk merencankan dan mengestimasi pegeluaran BPJS Kesehatan, agar penyalit animea yang kini diderita badan ini bisa disembuhkan.
Nurmala Selly menambahkan rekam medis pasien merupakan salah satu sumber data penting yang perlu diperhitungkan dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan efisiensi pembiayaan. Namun, saat ini sistem pencatatan data medis masih bersifat manual dan belum bersinergi dengan baik antara satu faskes dan faskes lainnya. Akibatnya, data yang sangat kaya tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Ke depan, peran para pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam mendorong integrasi big data kesehatan di Indonesia. “Disertai dengan kerangka regulasi yang tepat guna menjamin privasi dan keamanan data masyarakat,” kata Nurmala Selly.
Terkait pemanfaatan big data, pada Juni 2020 lalu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) bekerjasama dengan BPJS Kesehatan telah menerbitkan Buku Statistik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014-2018. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, data yang terekam dalam Program JKN-KIS merupakan aset berharga yang dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh negara untuk kemajuan kesehatan masyarakat Indonesia.“Data yang kami miliki ini dapat digunakan untuk dasar perencanaan, penganggaran, proyeksi anggaran, operasional kegiatan, dan juga penelitian,” ujar Fachmi Idris.
Mundiharno, Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan mengungkapkan hingga Maret 2020, pihaknya telah memiliki 37,58 miliar yang berasal dari pengelolaan Program JKN-KIS. Selama enam tahun ini, data tersebut sudah berbiak dengan cepat. Sebagai perbandingkan pada 2014 BPJS Kesehatan baru memiliki 1,29 miliar data.
Jadi data sample dan big data analysis, yang dimiliki BPJS Kesehatan sangat besar. Terdiri dari ratusan juta observasi, milyaran records dan ratusan variable. Data tersebut sangat kaya dan perlu dimanfaat secara optimal baik untuk kepentingan pengambilan keputusan internal manajemen. “Maupun sebagai dasar dalam pengembangan kebijakan makro JKN-KIS, kata Mundiharno.
Di dalam data tersebut, juga merekam data kepesertaan JKN-KIS yang pada akhir tahun lalu berjumlah 224,1 juta orang. Dalam data yang dimiliki BPJS Kesehatan itu terdiri dari Data Kepesertaan, ada 117 variabel dengan 268 juta data observasi. Lalu Data Layanan Primer, ada 119 variabel dengan 756 juta data observasi. Serta Data Pelayanan Rujukan, yang terdiri dari 128 variabel dan 434 juta data observasi.
Dalam Data Kepersertaan itu terdapat data Jenis Peserta, Golongan, Alamat, serta Pusat Pelayanan Kesehatan (PPK) yang dapat digunakan peserta. Data yang terekam dalam Layanan Primer, berupa Data Kunjungan, Data Pendaftaran dan Data Tindakan Dokter. Sementara pada Data Pelayanan Rujukan berisi data Surat Elijibilitas Peserta (SEP), Prsedur, Nomer Formulir Pengajuan Klaim, Verifikasi, serta data Diagnosa.
Hasbullah Thabrany mengatakan data-data seperti yang tersaji dalam Buku Statistik JKN 2014-2018, memang harus menjadi rujukan dalam pengelolaan JKN-KIS ke depan. Data itu tersaji dalam setiap provinsi. Sehingga bisa dianalisa, di provinsi tertentu berapa besar klaimnya. Bisa dibandingkannya dengan jumlah peserta BPJS Kesehatan, yang ada di provinsi tersebut. Kelengkapan fasilitas kesehatan yang dimiliki. Kecendrungan jenis penyakit yang diderita penduduk, dan sebagainya.
Dari data tersebut juga bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana metode pengobatan yang dilakukan dapat membuat pasien sembuh. “Kita juga bisa melihat seberapa banyak sebenarnya pengobatan cuci darah dapat mempertahankan kelangsungan hidup pasien gagal ginjal, “ujar Hasbullah. Data-data seperti ini sangat diperlukan untuk merencankan dan mengestimasi pegeluaran BPJS Kesehatan, agar penyalit animea yang kini diderita badan ini bisa disembuhkan.
tulis komentar anda