DPR Desak Pemerintah Investigasi Kasus ABK Meninggal di Kapal China
Kamis, 07 Mei 2020 - 14:23 WIB
JAKARTA - Anggota Komisi I DPR, Sukamta mengatakan bahwa pemerintah harus memastikan keselamatan WNI yang menjadi anak buah kapal (ABK) di kapal ikan berbendera China dan melakukan investigasi secara menyeluruh atas kemungkinan pelanggaran HAM yang terjadi atas kematian 3 WNI yang kemudian dilarung ke laut oleh pihak perusahaan kapal.
“Meski sudah ada penjelasan dari KBRI Beijing bahwa pihak perusahaan katanya ikuti standar praktik kelautan internasional saat melarung 3 WNI yang meninggal, pemerintah harus melakukan investigasi secara menyeluruh terhadap masalah ini,” ujar Sukamta dalam keterangannya, Kamis (7/5/2020).
Apalagi, Sukamta melanjutkan, saat ini ada 15 ABK WNI yang turun di Busan dan minta bantuan lembaga penegak hukum di Korea Selatan (Korsel). Hal ini mengindikasikan ada tindakan eksploitasi yang terjadi. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus melindungi WNI di manapun berada.
“Kita perlu pastikan apa yang sesungguhnya terjadi, pihak Interpol bisa dilibatkan untuk melakukan investigsi. Jika nantinya terbukti ada unsur pelanggaran HAM terhadap para ABK dengan dieskploitasi apalagi hingga menyebabkan kematian, pemerintah harus melayangkan nota protes kepada pemerintah China dan melakukan tuntutan hukum terhadap perusahan kapal tersebut,” desaknya.
Menurut Sukamta, kabar soal eksploitasi TKI yang bekerja sebagai ABK di kapal-kapal asing sudah beberapa kali terdengar. Kali ini, berdasarkan informasi yang ia dengar, mereka bekerja 18 jam sehari, dan setelah bekerja selama sekitar 13 bulan hanya mendapatkan gaji hanya Rp1,7 juta rupiah. Parahnya lagi, ketika meninggal, mayat ABK tersebut dibuang ke laut.
“Boleh jadi kejadian ini telah berulang kali terjadi. Pemerintah dalam hal ini harus memperketat penempatan TKI di tempat bekerja mereka di Luar Negeri. Harus dipastikan mereka berada di perusahaan yang punya reputasi baik,” papar legislator asal Yogyakarta ini.
Kalau dirinci, sambung Sukamta, masalah ABK yang bekerja di kapal asing ini panjang. Sejak proses perekrutan awal ABK sering tidak jelas, mulai dari masalah kontrak kerja yang tidak jelas atau sepihak dengan perusahaan yang menjadi agen tenaga kerja Indonesia, yang nyatanya agen ini ternyata merupakan sub agen dari agen penyedia tenaga kerja di luar negeri. Seringkali, calon ABK harus membayar terlebih dahulu jika hendak berangkat dan jika tidak ada deposit, ABK akan bekerja 3-4 bulan tanpa diberi bayaran.
“Lebih mirisnya lagi ABK bisa tidak dibayar gajinya sampai kontrak kerja selesai dan kembali ke Indonesia. Kita sering menyebut mereka pahlawan devisa, harus dimaksimalkan pelayanan dan perlindungannya,” kata Ketua DPP PKS ini.
Karena itu, Sukamta meminta agar masalah ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Implementasi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU Perlindungan PMI) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia Oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia harus dikawal secara ketat agar kejadian-kejadian seperti ini tidak terus berulang. Apalagi, Indonesia telah meratifikasi Maritime Labour Convention 2006 (MLC 2006) pada tanggal 6 Oktober 2016 melalui UU Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention.
“Meski sudah ada penjelasan dari KBRI Beijing bahwa pihak perusahaan katanya ikuti standar praktik kelautan internasional saat melarung 3 WNI yang meninggal, pemerintah harus melakukan investigasi secara menyeluruh terhadap masalah ini,” ujar Sukamta dalam keterangannya, Kamis (7/5/2020).
Apalagi, Sukamta melanjutkan, saat ini ada 15 ABK WNI yang turun di Busan dan minta bantuan lembaga penegak hukum di Korea Selatan (Korsel). Hal ini mengindikasikan ada tindakan eksploitasi yang terjadi. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus melindungi WNI di manapun berada.
“Kita perlu pastikan apa yang sesungguhnya terjadi, pihak Interpol bisa dilibatkan untuk melakukan investigsi. Jika nantinya terbukti ada unsur pelanggaran HAM terhadap para ABK dengan dieskploitasi apalagi hingga menyebabkan kematian, pemerintah harus melayangkan nota protes kepada pemerintah China dan melakukan tuntutan hukum terhadap perusahan kapal tersebut,” desaknya.
Menurut Sukamta, kabar soal eksploitasi TKI yang bekerja sebagai ABK di kapal-kapal asing sudah beberapa kali terdengar. Kali ini, berdasarkan informasi yang ia dengar, mereka bekerja 18 jam sehari, dan setelah bekerja selama sekitar 13 bulan hanya mendapatkan gaji hanya Rp1,7 juta rupiah. Parahnya lagi, ketika meninggal, mayat ABK tersebut dibuang ke laut.
“Boleh jadi kejadian ini telah berulang kali terjadi. Pemerintah dalam hal ini harus memperketat penempatan TKI di tempat bekerja mereka di Luar Negeri. Harus dipastikan mereka berada di perusahaan yang punya reputasi baik,” papar legislator asal Yogyakarta ini.
Kalau dirinci, sambung Sukamta, masalah ABK yang bekerja di kapal asing ini panjang. Sejak proses perekrutan awal ABK sering tidak jelas, mulai dari masalah kontrak kerja yang tidak jelas atau sepihak dengan perusahaan yang menjadi agen tenaga kerja Indonesia, yang nyatanya agen ini ternyata merupakan sub agen dari agen penyedia tenaga kerja di luar negeri. Seringkali, calon ABK harus membayar terlebih dahulu jika hendak berangkat dan jika tidak ada deposit, ABK akan bekerja 3-4 bulan tanpa diberi bayaran.
“Lebih mirisnya lagi ABK bisa tidak dibayar gajinya sampai kontrak kerja selesai dan kembali ke Indonesia. Kita sering menyebut mereka pahlawan devisa, harus dimaksimalkan pelayanan dan perlindungannya,” kata Ketua DPP PKS ini.
Karena itu, Sukamta meminta agar masalah ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Implementasi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU Perlindungan PMI) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia Oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia harus dikawal secara ketat agar kejadian-kejadian seperti ini tidak terus berulang. Apalagi, Indonesia telah meratifikasi Maritime Labour Convention 2006 (MLC 2006) pada tanggal 6 Oktober 2016 melalui UU Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention.
tulis komentar anda