Nasabah Tajir Lebih Suka Menabung
Jum'at, 16 Oktober 2020 - 06:18 WIB
NASABAH tajir memilih mengendapkan dana di perbankan nasional ketimbang melakukan transaksi. Akibatnya, perekonomian nasional yang dalam tujuh bulan terakhir ini terseok-seok disapu dampak pandemi Covid-19 akan semakin melemah dan resesi ekonomi pun tak terhindarkan. Tercatat, nilai tabungan nasabah kalangan menengah atas semakin gemuk. Tengok saja, nilai tabungan di atas Rp5 miliar sudah mencapai sebesar Rp373 triliun per Agustus 2020 atau meningkat lebih dari tiga kali dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp115 triliun. Nasabah dengan nilai tabungan di atas Rp5 miliar tersebut meliputi nasabah institusi dan individu.
Peningkatan nilai tabungan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah ke atas memilih mengamankan dana ketimbang membelanjakan. Perilaku orang kaya itu tidak salah, tetapi sangat berpengaruh terhadap perputaran roda perekonomian nasional, yang pada akhirnya berdampak langsung kepada masyarakat kelas bawah. Dengan demikian, jumlah dana pihak ketiga (DPK) di perbankan semakin melimpah. Sebaliknya, angka penyaluran kredit sangat landai dari target yang ditetapkan pada awal tahun. Berdasarkan hitungan Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro bahwa DPK tumbuh di atas 8%, sedangkan kredit hanya meningkat 1,5% sepanjang tahun ini.
Lebih jelas, pihak Bank Indonesia (BI) membeberkan bahwa kenaikan DPK atau simpanan masyarakat di perbankan yang signifikan itu sudah mulai termonitor sejak Maret lalu. Sebaliknya, pertumbuhan penyaluran kredit semakin jauh dari target yang sudah dipatok sebelumnya. Pihak bank sentral berasumsi bahwa melemahnya penyaluran kredit perbankan disebabkan sejumlah faktor. Di antaranya perbankan sangat mempertimbangkan kehati-hatian terkait dengan risiko kredit macet. Dari sisi lain, dunia usaha sedang tiarap karena terdampak pandemi Covid-19 yang melumpuhkan perekonomian.
Mengutip keterangan Gubernur BI Perry Wajiyo bahwa pertumbuhan kredit perbankan mengalami penurunan dari 1,04% menjadi 0,12% per September lalu. Akibatnya, intermediasi pada sektor keuangan masih lemah karena pertumbuhan kredit yang terbatas. Hal itu sejalan dengan permintaan domestik yang masih lemah dan kehati-hatian pihak perbankan dalam menyikapi dampak dari pandemi Covid-19. Meski demikian, Perry mengklaim bahwa ketahanan sistem keuangan masih tetap kuat, dan terus berupaya meminimalkan risiko dari dampak Covid-19. Ke depan pihak BI optimistis intermediasi perbankan segera membaik sejalan dengan prospek perbaikan kinerja korporasi yang diiringi dengan pemulihan perekonomian nasional.
Memang, kinerja korporasi berangsur-angsur mulai membaik meski masih terseok-seok pada kuartal ketiga. Setidaknya terindikasi dari peningkatan penjualan, dan kemampuan membayar, serta penerimaan perpajakan terutama di sektor industri dan perdagangan. Namun, dari sisi penyaluran kredit masih mengalami tekanan sehingga diperkirakan kredit korporasi bakal melorot 3% hingga 5% pada tahun ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Melandainya penyaluran kredit korporasi memang sulit untuk dihindari sebab kegiatan ekspansi usaha menjadi stagnan alias tiarap.
Peningkatan DPK di perbankan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga melanda perbankan yang ada di Amerika Serikat (AS). Simak saja publikasi dari Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) atau lembaga asuransi penyimpanan AS yang mengungkapkan bahwa perbankan Negeri Paman Sam telah mencatat rekor kenaikan simpanan sebesar USD2 triliun atau setara Rp28.440 triliun pada kurs Rp14.000 per dolar AS di tengah pandemi Covid-19. Dana yang masuk ke perbankan sebagian besar berasal dari dana bantuan dan tunjangan menghadapi dampak Covid-19, sebagai bagian dari stimulus perekonomian negara dengan penduduk terbesar ketiga di dunia. Warga AS memilih menabung ketimbang membelanjakan dananya sebagai antisipasi dalam menghadapi ketidakpastian masa depan.
Selain itu, tak kurang dari 25 institusi raksasa yang menikmati stimulus ekonomi dari pemerintah di antaranya JP Morgan Chase, Bank of America, dan Citigroup. Imbasnya, sebagaimana dilansir FDIC, perbankan di Negeri Paman Sam itu tiba-tiba kebanjiran dana tunai. Namun, pihak perbankan meski memiliki DPK melimpah sangat diliputi kehati-hatian untuk menyalurkan kredit di tengah suasana resesi ekonomi. Saat ini perekonomian negara raksasa itu juga terombang-ambing karena dampak pandemi Covid-19, yang menyebabkan angka pengangguran terus meningkat.
Mengajak nasabah tajir untuk tidak mengendapkan dananya di perbankan adalah sebuah pekerjaan rumah (PR) baru bagi pemerintah. Pasalnya, tidak ada aturan yang bisa memaksa para orang kaya itu untuk membelanjakan dana yang dimiliki. (*)
Peningkatan nilai tabungan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah ke atas memilih mengamankan dana ketimbang membelanjakan. Perilaku orang kaya itu tidak salah, tetapi sangat berpengaruh terhadap perputaran roda perekonomian nasional, yang pada akhirnya berdampak langsung kepada masyarakat kelas bawah. Dengan demikian, jumlah dana pihak ketiga (DPK) di perbankan semakin melimpah. Sebaliknya, angka penyaluran kredit sangat landai dari target yang ditetapkan pada awal tahun. Berdasarkan hitungan Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro bahwa DPK tumbuh di atas 8%, sedangkan kredit hanya meningkat 1,5% sepanjang tahun ini.
Lebih jelas, pihak Bank Indonesia (BI) membeberkan bahwa kenaikan DPK atau simpanan masyarakat di perbankan yang signifikan itu sudah mulai termonitor sejak Maret lalu. Sebaliknya, pertumbuhan penyaluran kredit semakin jauh dari target yang sudah dipatok sebelumnya. Pihak bank sentral berasumsi bahwa melemahnya penyaluran kredit perbankan disebabkan sejumlah faktor. Di antaranya perbankan sangat mempertimbangkan kehati-hatian terkait dengan risiko kredit macet. Dari sisi lain, dunia usaha sedang tiarap karena terdampak pandemi Covid-19 yang melumpuhkan perekonomian.
Mengutip keterangan Gubernur BI Perry Wajiyo bahwa pertumbuhan kredit perbankan mengalami penurunan dari 1,04% menjadi 0,12% per September lalu. Akibatnya, intermediasi pada sektor keuangan masih lemah karena pertumbuhan kredit yang terbatas. Hal itu sejalan dengan permintaan domestik yang masih lemah dan kehati-hatian pihak perbankan dalam menyikapi dampak dari pandemi Covid-19. Meski demikian, Perry mengklaim bahwa ketahanan sistem keuangan masih tetap kuat, dan terus berupaya meminimalkan risiko dari dampak Covid-19. Ke depan pihak BI optimistis intermediasi perbankan segera membaik sejalan dengan prospek perbaikan kinerja korporasi yang diiringi dengan pemulihan perekonomian nasional.
Memang, kinerja korporasi berangsur-angsur mulai membaik meski masih terseok-seok pada kuartal ketiga. Setidaknya terindikasi dari peningkatan penjualan, dan kemampuan membayar, serta penerimaan perpajakan terutama di sektor industri dan perdagangan. Namun, dari sisi penyaluran kredit masih mengalami tekanan sehingga diperkirakan kredit korporasi bakal melorot 3% hingga 5% pada tahun ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Melandainya penyaluran kredit korporasi memang sulit untuk dihindari sebab kegiatan ekspansi usaha menjadi stagnan alias tiarap.
Peningkatan DPK di perbankan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga melanda perbankan yang ada di Amerika Serikat (AS). Simak saja publikasi dari Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) atau lembaga asuransi penyimpanan AS yang mengungkapkan bahwa perbankan Negeri Paman Sam telah mencatat rekor kenaikan simpanan sebesar USD2 triliun atau setara Rp28.440 triliun pada kurs Rp14.000 per dolar AS di tengah pandemi Covid-19. Dana yang masuk ke perbankan sebagian besar berasal dari dana bantuan dan tunjangan menghadapi dampak Covid-19, sebagai bagian dari stimulus perekonomian negara dengan penduduk terbesar ketiga di dunia. Warga AS memilih menabung ketimbang membelanjakan dananya sebagai antisipasi dalam menghadapi ketidakpastian masa depan.
Selain itu, tak kurang dari 25 institusi raksasa yang menikmati stimulus ekonomi dari pemerintah di antaranya JP Morgan Chase, Bank of America, dan Citigroup. Imbasnya, sebagaimana dilansir FDIC, perbankan di Negeri Paman Sam itu tiba-tiba kebanjiran dana tunai. Namun, pihak perbankan meski memiliki DPK melimpah sangat diliputi kehati-hatian untuk menyalurkan kredit di tengah suasana resesi ekonomi. Saat ini perekonomian negara raksasa itu juga terombang-ambing karena dampak pandemi Covid-19, yang menyebabkan angka pengangguran terus meningkat.
Mengajak nasabah tajir untuk tidak mengendapkan dananya di perbankan adalah sebuah pekerjaan rumah (PR) baru bagi pemerintah. Pasalnya, tidak ada aturan yang bisa memaksa para orang kaya itu untuk membelanjakan dana yang dimiliki. (*)
(bmm)
tulis komentar anda