Usulan Revisi Pasal Karet UU ITE, Komisi I: Soal SARA Masa Dicabut?
Kamis, 15 Oktober 2020 - 16:24 WIB
JAKARTA - Penangkapan sejumlah anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) terkait demonstrasi menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang berakhir ricuh di sejumlah daerah, memunculkan wacana revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebab, umumnya mereka ditangkap karena dugaan melanggar UU ITE.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, misalnya, menyebut UU ITE selama ini dijadikan dasar penangkapan. Padahal, kata dia, harusnya didudukkan proporsinya sesuai dengan hak dasar kebebasan menyampaikan pendapat dan hal berserikat. Karena itu, PKS mengusulkan ada revisi dalam pasal UU ITE, khususnya yang sering dijadikan dasar penangkapan atau proses hukum berbasis postingan di sosial media. (Baca juga: Rocky Gerung: Penangkapan Aktivis KAMI untuk Sediakan Bukti Teori Dalang)
Ketua Komisi I DPR Meutya Viada Hafid mengatakan, UU ITE sudah dilakukan revisi belum lama ini sehingga tidak mungkin dilakukan revisi lagi dalam waktu dekat. Mengenai anggapan adanya pasal karet, Meutya mengatakan anggapan tersebut karena mereka belum memahami secara utuh UU tersebut. ”Coba dilihat, saya gak yakin ini karena pasal karet, mungkin in karena orang tidak paham tentang UU ITE, tapi kita sudah melakukan revisi belum lama, dua tahun lalu. Jadi saya rasa mungkin bukan UU ITE yang direvisi,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/10/2020). (Baca juga: Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin Tak Diizinkan Jenguk Syahganda Nainggolan dkk)
Dirinya mengaku tidak mengerti pasti pasal mana yang dianggap sebagai pasal karet. Mengenai Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang dinilai sering dijadikan sebagai senjata untuk menangkap seseorang yang menyebarkan informasi melalui media sosial di mana didalam pasal tersebut menyebutkan soal suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), Meutya mengatakan bahwa isu SARA memang harus diatur dalam UU.
Pasal 28 ayat (2) tersebut berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
”Kebencian yang menimbulkan SARA ya memang gak boleh. Teman-teman ada yang setuju kebencian SARA yang diperbolehkan? Masa itu kita cabut, apa teman-teman mau kata “SARA” dicabut? ITE sudah betul,” tuturnya.
Politikus Partai Golkar itu menyebutkan, jika ada yang menginginkan revisi UU ITE dengan mencabut kata “kebencian” dan “SARA”, hal itu justru dinilai kebablasan. ”Justru harus kita jaga bahwa tidak boleh ada orang membawa isu SARA untuk adu domba, untuk melakukan hoaks. Masa iya teman-teman dukung itu dicabut dari UU ITE,” katanya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, misalnya, menyebut UU ITE selama ini dijadikan dasar penangkapan. Padahal, kata dia, harusnya didudukkan proporsinya sesuai dengan hak dasar kebebasan menyampaikan pendapat dan hal berserikat. Karena itu, PKS mengusulkan ada revisi dalam pasal UU ITE, khususnya yang sering dijadikan dasar penangkapan atau proses hukum berbasis postingan di sosial media. (Baca juga: Rocky Gerung: Penangkapan Aktivis KAMI untuk Sediakan Bukti Teori Dalang)
Ketua Komisi I DPR Meutya Viada Hafid mengatakan, UU ITE sudah dilakukan revisi belum lama ini sehingga tidak mungkin dilakukan revisi lagi dalam waktu dekat. Mengenai anggapan adanya pasal karet, Meutya mengatakan anggapan tersebut karena mereka belum memahami secara utuh UU tersebut. ”Coba dilihat, saya gak yakin ini karena pasal karet, mungkin in karena orang tidak paham tentang UU ITE, tapi kita sudah melakukan revisi belum lama, dua tahun lalu. Jadi saya rasa mungkin bukan UU ITE yang direvisi,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/10/2020). (Baca juga: Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin Tak Diizinkan Jenguk Syahganda Nainggolan dkk)
Dirinya mengaku tidak mengerti pasti pasal mana yang dianggap sebagai pasal karet. Mengenai Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang dinilai sering dijadikan sebagai senjata untuk menangkap seseorang yang menyebarkan informasi melalui media sosial di mana didalam pasal tersebut menyebutkan soal suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), Meutya mengatakan bahwa isu SARA memang harus diatur dalam UU.
Pasal 28 ayat (2) tersebut berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
”Kebencian yang menimbulkan SARA ya memang gak boleh. Teman-teman ada yang setuju kebencian SARA yang diperbolehkan? Masa itu kita cabut, apa teman-teman mau kata “SARA” dicabut? ITE sudah betul,” tuturnya.
Politikus Partai Golkar itu menyebutkan, jika ada yang menginginkan revisi UU ITE dengan mencabut kata “kebencian” dan “SARA”, hal itu justru dinilai kebablasan. ”Justru harus kita jaga bahwa tidak boleh ada orang membawa isu SARA untuk adu domba, untuk melakukan hoaks. Masa iya teman-teman dukung itu dicabut dari UU ITE,” katanya.
(cip)
tulis komentar anda