Stafsus Mendagri: Penerapan Pilkada Asimetris Perlu Dipikirkan
Kamis, 15 Oktober 2020 - 12:05 WIB
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berharap kualitas demokrasi Indonesia tidak jauh berbeda dengan perkembangan negara lain. Tentu demokrasinya harus sesuai dengan nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia.
Salah satu ukuran keberhasilan demokrasi adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Kontestasi politik lokal ini kadang dipuji karena melahirkan pemimpin nasional dan daerah yang memiliki legitimasi kuat.
Di sisi lain, pilkada sering dianggap menimbulkan masalah, seperti konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta penyebab korupsi kepala daerah. Staf Khusus Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Kastorius Sinaga mengatakan mungkin perlu dipikirkan untuk menerapkan pilkada asimetris.
(Baca: Pilkada lewat DPRD Uangnya Borongan, Pilkada Langsung Itu Eceran)
Pilkada asimetris ini pertama kali diungkapkan oleh Mendagri Tito Karnavian . Jadi, nanti daerah yang indeks pembangunan manusia (IPM) dan kematangan demokrasinya sudah baik bisa melaksanakan pilkada langsung. Untuk yang belum, pilkadanya melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kastorius menerangkan IPM dan indeks demokrasi itu selalu diukur secara teratur oleh Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Badan Pusat Statistik (BPS).
“Penerapan prinsip demokrasi di tingkat masyarakat yang berbeda, akan menjadi masalah. Teman-teman CSIS pernah bilang soal oligarki politik itu cerminan dari dinasti politik di daerah,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Catatan Kritis Kebijakan dan Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada”, Kamis (15/10/2020).
(Baca: Penerapan Pilkada Diharapkan Bisa Dilakukan Secara Asimetris)
Kastorius secara terbuka mengatakan bahwa pilkada itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dia menyebut seorang calon bupati harus mengeluarkan dana sekitar Rp25 miliar. Sementara itu, penghasilan selama lima tahun bertugas jika ditotal hanya sekitar Rp2 miliar.
“Bagaimana mengembalikan uang Rp25 miliar. Mendagri memberikan melempar ke publik yang IPM dan indeks demokrasinya baik itu langsung,” paparnya.
Dia memastikan pengukuran lewat IPM memiliki cukup lengkap karena meliput berbagai aspek, seperti ekonomi dan sosial. Perkembangan demokrasi Indonesia sendiri mengalami naik turun.
Ada tiga indikator yang digunakan untuk mengukur hal tersebut. Pertama, indeks kebebasan sipil pada 2019 sebesar 77,20. Itu turun 1,26 poin dan masuk kategori sedang. Dua indikator selanjutnya, yakni hak politik sebesar 70,71 dan lembaga demokrasi sebesar 78,73. Semua dalam kategori sedang.
Salah satu ukuran keberhasilan demokrasi adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Kontestasi politik lokal ini kadang dipuji karena melahirkan pemimpin nasional dan daerah yang memiliki legitimasi kuat.
Di sisi lain, pilkada sering dianggap menimbulkan masalah, seperti konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta penyebab korupsi kepala daerah. Staf Khusus Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Kastorius Sinaga mengatakan mungkin perlu dipikirkan untuk menerapkan pilkada asimetris.
(Baca: Pilkada lewat DPRD Uangnya Borongan, Pilkada Langsung Itu Eceran)
Pilkada asimetris ini pertama kali diungkapkan oleh Mendagri Tito Karnavian . Jadi, nanti daerah yang indeks pembangunan manusia (IPM) dan kematangan demokrasinya sudah baik bisa melaksanakan pilkada langsung. Untuk yang belum, pilkadanya melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kastorius menerangkan IPM dan indeks demokrasi itu selalu diukur secara teratur oleh Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Badan Pusat Statistik (BPS).
“Penerapan prinsip demokrasi di tingkat masyarakat yang berbeda, akan menjadi masalah. Teman-teman CSIS pernah bilang soal oligarki politik itu cerminan dari dinasti politik di daerah,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Catatan Kritis Kebijakan dan Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada”, Kamis (15/10/2020).
(Baca: Penerapan Pilkada Diharapkan Bisa Dilakukan Secara Asimetris)
Kastorius secara terbuka mengatakan bahwa pilkada itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dia menyebut seorang calon bupati harus mengeluarkan dana sekitar Rp25 miliar. Sementara itu, penghasilan selama lima tahun bertugas jika ditotal hanya sekitar Rp2 miliar.
“Bagaimana mengembalikan uang Rp25 miliar. Mendagri memberikan melempar ke publik yang IPM dan indeks demokrasinya baik itu langsung,” paparnya.
Dia memastikan pengukuran lewat IPM memiliki cukup lengkap karena meliput berbagai aspek, seperti ekonomi dan sosial. Perkembangan demokrasi Indonesia sendiri mengalami naik turun.
Ada tiga indikator yang digunakan untuk mengukur hal tersebut. Pertama, indeks kebebasan sipil pada 2019 sebesar 77,20. Itu turun 1,26 poin dan masuk kategori sedang. Dua indikator selanjutnya, yakni hak politik sebesar 70,71 dan lembaga demokrasi sebesar 78,73. Semua dalam kategori sedang.
(muh)
tulis komentar anda