Vonis Maksimal Bos Jiwasraya, Bagaimana Nasib Nasabah?
Kamis, 15 Oktober 2020 - 06:00 WIB
JAKARTA - Bak oase di tengah gurun. Perumpamaan itu sungguh layak ditujukan bagi putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis empat terdakwa kasus PT Asuransi Jiwasraya dengan hukuman seumur hidup, Senin (12/10) silam.
(baca juga: Kasus Jiwasraya, Direktur PT Maxima Integra Juga Divonis Seumur Hidup)
Betapa tidak. Kepercayaan publik terhadap peradilan kita saat ini berada di titik nadir. Tindakan korupsi yang disepakati sebagai kejahatan luar bisa saat ini tak ada bedanya dengan kriminalitas biasa. Para pencoleng uang negara yang sungguh menyengsarakan rakyat itu rata-rata hanya dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan.
Bahkan belakangan ini, Mahkamah Agung (MA) yang digadang-gadang sebagai benteng keadilan terakhir kian berpihak para koruptor. Hukuman berat yang dijatuhkan di pengadilan tingkat pertama maupun di level banding niscaya dianulir oleh MA. Lembaga peradilan tertinggi juga kian getol memberi bonus bagi koruptor yang mengajukan Peninjauan Kembali.
Empat terdakwa yang ketiban sanksi maksimal itu adalah mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo, serta mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan, dan Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto.
Hukuman ini lebih berat dari tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum. Hendrisman dituntut 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, sedangkan Syahmirwan dituntut 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Untuk terdakwa Hary Prasetyo dan Joko Hartono Tirto, majelis hakim mengamini surat tuntutan jaksa penuntut umum dengan hukuman penjara seumur hidup.
Keempatnya terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri bersama Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat senilai Rp 16 triliun. Dalam perkara ini, Benny Tjokro dan Heru Hidayat memang belum diputus bersalah karena keduanya dirawat di rumah sakit karena Corona (COVID-19).
Para terdakwa terbukti melanggar melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
(baca juga: Kasus Jiwasraya, Direktur PT Maxima Integra Juga Divonis Seumur Hidup)
Betapa tidak. Kepercayaan publik terhadap peradilan kita saat ini berada di titik nadir. Tindakan korupsi yang disepakati sebagai kejahatan luar bisa saat ini tak ada bedanya dengan kriminalitas biasa. Para pencoleng uang negara yang sungguh menyengsarakan rakyat itu rata-rata hanya dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan.
Bahkan belakangan ini, Mahkamah Agung (MA) yang digadang-gadang sebagai benteng keadilan terakhir kian berpihak para koruptor. Hukuman berat yang dijatuhkan di pengadilan tingkat pertama maupun di level banding niscaya dianulir oleh MA. Lembaga peradilan tertinggi juga kian getol memberi bonus bagi koruptor yang mengajukan Peninjauan Kembali.
Empat terdakwa yang ketiban sanksi maksimal itu adalah mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo, serta mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan, dan Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto.
Hukuman ini lebih berat dari tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum. Hendrisman dituntut 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, sedangkan Syahmirwan dituntut 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Untuk terdakwa Hary Prasetyo dan Joko Hartono Tirto, majelis hakim mengamini surat tuntutan jaksa penuntut umum dengan hukuman penjara seumur hidup.
Keempatnya terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri bersama Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat senilai Rp 16 triliun. Dalam perkara ini, Benny Tjokro dan Heru Hidayat memang belum diputus bersalah karena keduanya dirawat di rumah sakit karena Corona (COVID-19).
Para terdakwa terbukti melanggar melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Lihat Juga :
tulis komentar anda