Pakar Hukum Nilai Analisis dari Rencana Revisi UU MK Sangat Dangkal

Rabu, 06 Mei 2020 - 20:14 WIB
Rencana DPR merevisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) di tengah pandemi Corona atau Covid-19 terus menuai sorotan. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Rencana DPR merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) di tengah pandemi Corona atau Covid-19 terus menuai sorotan. Beragam desakan meminta parlemen Senayan untuk menghentikan pembahasan karena revisi beleid itu tak ada urgensinya dan kental nuansa politik transaksional.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti, menilai materi perubahan UU itu tidak mengandung politik hukum yang makin memperkuat MK. Menurutnya, hal itu tampak jelas dari pembahasan yang dijalankan tidak sesuai prosedur yang baik.

Pembahasan UU seharusnya tidak hanya sekadar bersandar pada norma saja. Perubahan UU MK semestinya sejalan dan mempertimbangkan sendi-sendi demokrasi, negara hukum, dan konstitusi.



Bahkan, setelah mengamati sistematika naskah akademik (NA) RUU MK, ternyata tidak sesuai dengan UU Nomor 12 tahun 2011. Di dalamnya tidak ada bab mengenai arah jangkauan.

"NA-nya tidak memberikan penjelasan bersifat ilmiah yang dapat digunakan sebagai justifikasi melakukan perubahan. Tidak ada buku, teks, artikel jurnal bereputasi yang sumbernya bersifat otoritatif. Jadi, analisisnya sangat dangkal," papar Susi dalam diskusi daring bertajuk ‘Potensi Konflik Kepentingan di Balik Revisi UU Mahkamah Konstitusi?’ pada Rabu (6/5/2020).

Jika mencermati muatan subtansinya, Susi menyebut DPR gagal memberikan alasan yang masuk akal kenapa perlunya perubahan UU tersebut. Hal itu jelas memperlihatkan parlemen tidak menjalankan prosedur perancangan dan perumusan yang baik.

"Prosedur yang tidak baik, hampir dapat dipastikan menghasilkan subtansi yang tidak baik. Kesannya malah politisasi hukum (politization of the judiciary). Ini berbahaya bagi keberlangsungan asas-asas demokrasi, negara hukum dan konstitusionalisme," cetus dia.

Susi menjelaskan, ada beberapa muatan yang dipersoalkan yaitu usia minimal hakim MK dan tindak lanjut putusan. Batas usia minimal menjadi hakim MK telah dinaikkan dari semula 47 menjadi 60 tahun.

"Tapi, NA sama sekali tidak memberikan argumentasi kuat mengenai perubahan ini. Hanya menyamakan usia pensiun dengan hakim agung di Mahkamah Agung," terang dia.

Padahal menurutnya, jabatan hakim MK bukanlah hakim karir. Selain itu, perkara di MK justru menyangkut kasus pengujian substansi hukum yang tentunya membutuhkan stamina yang memadai.

"Dari segi kesehatan, kalau usia minimal 60 tahun, maka putusan yang dikeluarkan para hakim ini bisa saja diragukan. Jangan-jangan nanti malah lebih banyak menyerahkan tanggung jawabnya putusan ke panitera," ujar Susi.
(maf)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More