Margarito Kamis: UU Cipta Kerja Memunculkan Ketidakpastian Hukum

Selasa, 06 Oktober 2020 - 17:45 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis. Foto/dok.SINDOnews
JAKARTA - Pemerintah bersama dengan DPR telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna pada Senin (5/10/2020). Namun, UU tersebutt dinilai berpotensi memunculkan banyak persoalan hukum. Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan, problem terbesar UU Cipta Kerja yakni materi atau isinya mencakup berbagai hal yang tersebar dan berkaitan dengan berbagai macam UU.

“Itulah yang ada dalam omnibus law. Sekali lagi materinya mencakup berbagai materi dalam berbagai UU. Ada UU ketenagakerjaan, macam-macam. Semuanya tercakup di dalamnya. Itu masalah terbesarnya dari sudut ilmu hukum. Nama dan muatannya sudah bermasalah,” katanya, Selasa (6/10/2020).

Margarito mengaku heran bagaimana satu UU menggugurkan pasal-pasal dalam berbagai UU yang lain. “Kan dengan UU Omnibus Law, menggugurkan muatan yang sama di UU yang lain yang sudah ada sebelumnya. Itu masalah,” tuturnya.



(Baca: Selain Inkonstitusional, UU Cipta Kerja Khianati Kedaulatan Rakyat)

Dia mencontohkan UU Ketenagakerjaan yang sejumlah pasalnya masuk dalam UU Cipta Kerja. ”Dan juga ada UU yang lain, macam-macam. Itu saja masalah. Masalahnya bagaimana UU ini menggugurkan semua UU yang lain. Pakai ilmu apa itu? Dalam ilmu hukum tidak ada ilmunya. Satu UU menggugurkan UU yang lain. Seharusnya, UU yang sama, misalnya mau menggantikan UU Ketenagakerjaan maka buat UU Tenaga Kerja yang baru saja. bukan seperti sekarang ini. Bikin UU yang menggugurkan (muatan) UU yang lain. Itu saja masalah,” tuturnya.

Dari segi konstitusi, kata Margarito, juga bermasalah. Sebab, hadirnya UU Cipta Kerja justru tidak memberikan kepastian hukum, kapan harus memakai UU Cipta Kerja dan kapan harus memakai UU lain. ”Menurut saya, harus memang, wajib dibereskan UU ini di MK (Mahkamah Konstitusi). MK harus ambil keputusan agar kita tidak kacau, agar bangsa ini tidak kacau di masa yang akan datang,” tuturnya.

Menurut Margarito, MK harus memastikan apakah UU seperti ini masuk akal secara konstitusi sesuai dengan perintah konstitusi atau tidak. ”Saya berpendapat ini tidak sesuai. Kenapa tidak sesuai? Karena ingin menciptakan ketidakpastian hukum,” urainya.

(Baca: Nih Hitung-hitungan Pesangon Korban PHK dalam UU Cipta Kerja, Catat!)

Selain itu, kata Margarito, di dalam UU tersebut juga banyak hal yang dinilai konyol. Pertama, soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Selama ini, PHK dibayar oleh korporasi. Sekarang sesuai UU Cipta Kerja, PKH ditanggung bersama dengan pemerintah. ”Apakah nanti ditangani BPJS, apa pun itu. Tapi di dalam UU itu ditanggung bersama dengan pemerintah. Berapa persen pemerintah, berapa persen korporasi,” urainya.

Dia mengaku heran bagaimana bisa masalah perusahaan dialihkan kepada negara. ”Masalah perusahaan dialihkan kepada rakyat. Perusahaan yang ngacau, rakyat yang tanggung dari pasal yang soal PHK. Beban bersama antar perusahaan dan pemerintah. Pemerintah itu rakyat. Jadi, perusahaan yang bermasalah, rakyat yang tanggung. Itu terlalu jahat. Kelewat jahat,” katanya.

Menurutnya, dalam kaitan hal ini, negara disebut Margarito sudah menyerah pada korporasi. ”Lebih jahat, ini jahat, lebih jahat dari kapitalis. Ini sangat jahat. Untungnya tidak dibagi ke rakyat, tapi ketika mereka rugi dibagi ke rakyat. Persis seperti Jiwasraya. Ini mirip, persis Jiwasraya,” tuturnya.
(muh)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More