Senator NTT Minta DPD RI Tak Diatur dalam UU MD3
Selasa, 06 Oktober 2020 - 11:19 WIB
JAKARTA - Senator dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Abraham Liyanto mengusulkan agar Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ( DPD RI ) tidak diatur dalam Undang-undang (UU) MPR, DPR, DPD dan DPRD ( MD3 ). Menurut dia, DPD harus punya UU sendiri yang merupakan turunan dari UUD 1945, Pasal 22 C ayat (4) dan Pasal 22 D ayat (4).
“DPD itu lembaga sejajar dengan DPR. Diatur oleh UUD 1945. Harus punya UU tersendiri,” ujar Abraham di Jakarta, Selasa (6/10/2020). (Baca juga: Puan Maharani Tegaskan DPD RI Lahir untuk Perjuangkan Aspirasi Daerah)
Karena kedudukannya masuk dalam UU MD3, dia menilai DPD seperti lembaga mandul. Apalagi kewenangan DPD sudah terbatas diatur dalam UUD 1945.
Dalam Pasal 22 D, dinyatakan bahwa DPD hanya dapat mengajukan dan ikut membahas berbagai UU. Alhasil, DPD tidak punya kewenangan untuk mengambil keputusan.
Anggota Komite I DPD RI mengatakan jika lembaga-lembaga lain punya UU tersendiri seperti UU KPK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bank Indonesia, Polri, dan sebagainya, DPD harusnya juga punya UU tersendiri.
Dengan UU tersendiri, maka DPD tidak perlu menunggu amendemen UUD lagi agar bisa lebih efektif atau tidak mandul seperti sekarang. Selain itu, keterbatasan pada UUD 1945 itu bisa diatasi karena DPD bisa mengatur rumah tangganya dan bisa mengeksekusi setiap persoalan daerah tanpa dibatasi oleh UU MD3.
Menurut dia, semua petinggi di negara secara pribadi mendukung DPD RI sebagai lembaga checks and balance. Semua mendukung DPD sebagai kamar kedua dari Parlemen Indonesia.
Tujuannya agar putusan DPR punya perimbangan dari DPD. Akan tetapi, kenyataannya konstitusi dan UU MD3 membatasi DPD berfungsi sebagai kamar kedua secara efektif bagi parlemen Indonesia.
“Konstitusi dan MD3 hanya cek kosong sehingga DPD tidak dapat pangung untuk menyalurkan pandangan dan pendapat. Menunggu amedemen lagi, tidak jelas kapan dilakukan. Maka langkah cepat adalah dengan membentuk UU tersendiri,” tuturnya.
Usulan Abraham Liyanto itu pun didukung oleh Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Kristen Satya Wacana Umbu Rauta. Alasannya, ada perintah dalam UUD 1945, Pasal 22C ayat (4) dan Pasal 22D ayat (4). Pasal 22 C ayat (4) menyatakan susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Sementara Pasal 22 D Ayat 4 menyatakan anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang- undang. "Jadi bisa diatur dengan undang undang tersendiri," kata Umbu. (Baca juga: DPD Terus Mendorong agar Perppu dan PP Otda Diterbitkan)
Umbu juga menilai DPD bisa diatur dengan UU tersendiri karena DPD adalah lembaga negara utama yang sejajar dengan DPR, BPK, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Dia melihat pengaturan selama ini yaitu menggabungkan MPR, DPR dan DPD mengikuti praktik yang pernah terjadi pada masa Orde Baru dengan aturan UU Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR dan DPR.
“DPD itu lembaga sejajar dengan DPR. Diatur oleh UUD 1945. Harus punya UU tersendiri,” ujar Abraham di Jakarta, Selasa (6/10/2020). (Baca juga: Puan Maharani Tegaskan DPD RI Lahir untuk Perjuangkan Aspirasi Daerah)
Karena kedudukannya masuk dalam UU MD3, dia menilai DPD seperti lembaga mandul. Apalagi kewenangan DPD sudah terbatas diatur dalam UUD 1945.
Dalam Pasal 22 D, dinyatakan bahwa DPD hanya dapat mengajukan dan ikut membahas berbagai UU. Alhasil, DPD tidak punya kewenangan untuk mengambil keputusan.
Anggota Komite I DPD RI mengatakan jika lembaga-lembaga lain punya UU tersendiri seperti UU KPK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bank Indonesia, Polri, dan sebagainya, DPD harusnya juga punya UU tersendiri.
Dengan UU tersendiri, maka DPD tidak perlu menunggu amendemen UUD lagi agar bisa lebih efektif atau tidak mandul seperti sekarang. Selain itu, keterbatasan pada UUD 1945 itu bisa diatasi karena DPD bisa mengatur rumah tangganya dan bisa mengeksekusi setiap persoalan daerah tanpa dibatasi oleh UU MD3.
Menurut dia, semua petinggi di negara secara pribadi mendukung DPD RI sebagai lembaga checks and balance. Semua mendukung DPD sebagai kamar kedua dari Parlemen Indonesia.
Tujuannya agar putusan DPR punya perimbangan dari DPD. Akan tetapi, kenyataannya konstitusi dan UU MD3 membatasi DPD berfungsi sebagai kamar kedua secara efektif bagi parlemen Indonesia.
“Konstitusi dan MD3 hanya cek kosong sehingga DPD tidak dapat pangung untuk menyalurkan pandangan dan pendapat. Menunggu amedemen lagi, tidak jelas kapan dilakukan. Maka langkah cepat adalah dengan membentuk UU tersendiri,” tuturnya.
Usulan Abraham Liyanto itu pun didukung oleh Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Kristen Satya Wacana Umbu Rauta. Alasannya, ada perintah dalam UUD 1945, Pasal 22C ayat (4) dan Pasal 22D ayat (4). Pasal 22 C ayat (4) menyatakan susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Sementara Pasal 22 D Ayat 4 menyatakan anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang- undang. "Jadi bisa diatur dengan undang undang tersendiri," kata Umbu. (Baca juga: DPD Terus Mendorong agar Perppu dan PP Otda Diterbitkan)
Umbu juga menilai DPD bisa diatur dengan UU tersendiri karena DPD adalah lembaga negara utama yang sejajar dengan DPR, BPK, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Dia melihat pengaturan selama ini yaitu menggabungkan MPR, DPR dan DPD mengikuti praktik yang pernah terjadi pada masa Orde Baru dengan aturan UU Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR dan DPR.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda