Tolak RUU Cipta Kerja, Partai Demokrat: Banyak yang Harus Dibahas Kembali
Minggu, 04 Oktober 2020 - 09:31 WIB
Keempat, sambung dia, Demokrat memandang RUU Ciptaker telah mencerminkan bergesernya semangat Pancasila utamanya sila keadilan sosial (social justice) ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neo-liberalistik.
Kelima, selain cacat substansi, RUU Ciptaker ini juga cacat prosedur. Fraksi Partai Demokrat menilai, proses pembahasan hal-hal krusial dalam RUU Ciptaker ini kurang transparan dan akuntabel. Pembahasan RUU Ciptaker ini tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi tripartit, antara pengusaha, pekerja dan pemerintah.
(Lihat Juga Foto: Masih Terdampak Covid-19, Pasar Tradisional Sepi Pembeli ).
Ossy menambahkan, selain lima hal yang perlu menjadi pertimbangan, Demokrat juga menyampaikan tiga catatan kritis terkait isi dalam RUU ini. Pertama, ada sejumlah catatan terkait ketidakadilan di sektor ketenagakerjaan, antara lain mengenai aturan prinsip 'no work no pay' oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam. RUU Ciptaker juga memberikan kemudahan dan kelonggaran yang berlebihan bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA).
"Selain itu, RUU Ciptaker ini juga akan berimplikasi terhadap nasib sektor UMKM, konsumen, dan hukum bisnis. Bagi UMKM dan sektor informal, substansi RUU Ciptaker tidak menjawab kebutuhan di lapangan. Prinsipnya, perlindungan terhadap hak-hak para pekerja adalah hal yang fundamental untuk kita perjuangkan," terangnya.
Terkait lingkungan hidup dan sektor pertanahan, Ossy menjelaskan RUU Ciptaker melegalkan perampasan lahan sebanyak dan semudah mungkin untuk Proyek Prioritas Pemerintah dan Proyek Strategis Nasional, yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta. Masalah lingkungan hidup juga menjadi catatan tersendiri dimana dalam RUU Ciptaker memberikan kemudahan syarat pembukaan lahan untuk perusahaan di berbagai sektor.
"Selain itu, RUU Ciptaker memberikan kemudahan bagi pengadaan lahan di bawah 5 hektare. Padahal, untuk wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta , Surabaya, dan lainnya, luas 5 hektare dapat ditinggali oleh ratusan kepala keluarga. Akibat pengaturan ini, penggusuran paksa dengan skala kecil sangat mudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hilangnya berbagai perizinan menyebabkan masyarakat kehilangan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanahnya," sesalnya.
Terkait sentralisasi peraturan dari daerah ke pusat, Ossy menuturkan, RUU Ciptaker membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. Wibawa konstitusi dilecehkan dengan adanya aturan yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan dihidupkannya aturan kolonial di sektor perburuhan dan pertanahan.
Ossy mengatakan, RUU Ciptaker akan memberi legalitas bagi pemerintahan yang sentralistik dengan pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada pemerintah pusat, akan menjadikannya superior dibandingkan kekuasaan legislatif, yudikatif, dan pemerintah daerah. Padahal, tujuan RUU ini adalah untuk mengefektifkan birokrasi. Tetapi, aturan terbaru ini justru akan semakin merumitkan proses birokrasi karena tidak adanya kepastian dan kejelasan hukum dalam hal perizinan berusaha.
(Lihat Juga Infografis: Pakai Masker Bukan untuk Hiasan Dagu ).
Kelima, selain cacat substansi, RUU Ciptaker ini juga cacat prosedur. Fraksi Partai Demokrat menilai, proses pembahasan hal-hal krusial dalam RUU Ciptaker ini kurang transparan dan akuntabel. Pembahasan RUU Ciptaker ini tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi tripartit, antara pengusaha, pekerja dan pemerintah.
(Lihat Juga Foto: Masih Terdampak Covid-19, Pasar Tradisional Sepi Pembeli ).
Ossy menambahkan, selain lima hal yang perlu menjadi pertimbangan, Demokrat juga menyampaikan tiga catatan kritis terkait isi dalam RUU ini. Pertama, ada sejumlah catatan terkait ketidakadilan di sektor ketenagakerjaan, antara lain mengenai aturan prinsip 'no work no pay' oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam. RUU Ciptaker juga memberikan kemudahan dan kelonggaran yang berlebihan bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA).
"Selain itu, RUU Ciptaker ini juga akan berimplikasi terhadap nasib sektor UMKM, konsumen, dan hukum bisnis. Bagi UMKM dan sektor informal, substansi RUU Ciptaker tidak menjawab kebutuhan di lapangan. Prinsipnya, perlindungan terhadap hak-hak para pekerja adalah hal yang fundamental untuk kita perjuangkan," terangnya.
Terkait lingkungan hidup dan sektor pertanahan, Ossy menjelaskan RUU Ciptaker melegalkan perampasan lahan sebanyak dan semudah mungkin untuk Proyek Prioritas Pemerintah dan Proyek Strategis Nasional, yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta. Masalah lingkungan hidup juga menjadi catatan tersendiri dimana dalam RUU Ciptaker memberikan kemudahan syarat pembukaan lahan untuk perusahaan di berbagai sektor.
"Selain itu, RUU Ciptaker memberikan kemudahan bagi pengadaan lahan di bawah 5 hektare. Padahal, untuk wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta , Surabaya, dan lainnya, luas 5 hektare dapat ditinggali oleh ratusan kepala keluarga. Akibat pengaturan ini, penggusuran paksa dengan skala kecil sangat mudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hilangnya berbagai perizinan menyebabkan masyarakat kehilangan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanahnya," sesalnya.
Terkait sentralisasi peraturan dari daerah ke pusat, Ossy menuturkan, RUU Ciptaker membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. Wibawa konstitusi dilecehkan dengan adanya aturan yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan dihidupkannya aturan kolonial di sektor perburuhan dan pertanahan.
Ossy mengatakan, RUU Ciptaker akan memberi legalitas bagi pemerintahan yang sentralistik dengan pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada pemerintah pusat, akan menjadikannya superior dibandingkan kekuasaan legislatif, yudikatif, dan pemerintah daerah. Padahal, tujuan RUU ini adalah untuk mengefektifkan birokrasi. Tetapi, aturan terbaru ini justru akan semakin merumitkan proses birokrasi karena tidak adanya kepastian dan kejelasan hukum dalam hal perizinan berusaha.
(Lihat Juga Infografis: Pakai Masker Bukan untuk Hiasan Dagu ).
tulis komentar anda