Ketua MPR: Pelaksanaan Pilkada Lanjutan di Tengah Pandemi Itu Sebuah Dilema
Rabu, 30 September 2020 - 14:59 WIB
JAKARTA - Pelaksanaan pemilihan kepala daerah ( pilkada ) di tengah pandemi COVID-19 terus menuai polemik. Putusan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) untuk melanjutkan pilkada mendapatkan kritik dari sejumlah ormas, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo mengatakan yakin pemerintah telah mengolah seluruh masukan baik dari yang pro maupun kontra. Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi COVID-19 ini merupakan sebuah dilema. (Baca juga: Para Sekda Diminta Pastikan Netralitas ASN Terjaga di Pilkada 2020)
Di satu sisi, ada kekhawatiran akan penyebaran virus Sars Cov-II. Data terakhir Satgas Penanganan COVID-19, jumlah orang positif mencapai 282.724, sembuh 210.437, dan meninggal dunia 10.601.
Di sisi lain, menurut Bamsoet-sapaan akrabnya, hak politik dan konstitusional untuk dipilih dan memilih harus dipenuhi. Penyelenggaraan pilkada untuk memfasilitasi pergantian pemimpin daerah.
“Penundaan pilkada memiliki konsekuensi akan adanya pelaksana tugas (plt) yang dalam melaksanakan tugasnya memiliki keterbatasan karena tidak mengambil kebijakan strategis. Di masa pandemi ini, pengambilan kebijakan strategis sangat dibutuhkan,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Pilkada Berkualitas Dengan Protokol Kesehatan: Utopia atau Realita?”, Rabu (30/9/2020).
Dia menerangkan ada 38 negara yang tetap melaksanakan pemilihan umum dalam kurun waktu Februari hingga Agustus 2020. Pada Februari, ada Iran, Taiwan, dan Slovakia. Pada Maret, beberapa negara bagian di Amerika Serikat, seperti Arizona, dan Jerman. Lalu, menyusul Jepang, Korea Selatan, dan Swiss pada April 2020.
Pemerintah, DPR, dan KPU memang berjanji memperketat protokol kesehatan COVID-19 dalam pelaksanaan pilkada. Bamsoet mengatakan dirinya mendukung Komisi II DPR yang meminta revisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam COVID-19.
Hal itu untuk payung hukum yang memperketat penerapan protokol kesehatan. “Tentu dengan sanksi yang tegas,” ucapnya.
Bamsoet memberikan beberapa catatan untuk pelaksanaan pilkada di tengah pandemi COVID-19. Pertama, kemungkinan partisipasi pemilih menurun karena masyarakat was-was untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Kedua, semua pihak harus disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan COVID-19. Ketiga, sekitar 80% pertahana maju kembali.
“Di masa pandemi COVID-19, ada kekhawatiran pada pertahana akan memanfaatkan berbagai bansos yang disalurkan melalui kepala daerah. Dampak pandemi berisiko meningkatkan money politik. Itu akan mengurangi kualitas demokrasi kita,” tuturnya. (Baca juga: Polemik Komunisme, Cakada Diminta Fokus Pilkada dan Tetap Patuhi Protokol)
Keempat, pilkada membutuhkan dukungan sumber daya, seperti alat pelindung diri, tenaga medis, dan tes COVID-19. “Perlu dipastikan KPU mempunyai sumber daya. Setiap daerah mempunyai sumber daya yang berbeda-beda,” pungkasnya.
Lihat Juga: Ketua Umum Parpol Diminta Patuhi Pesan Prabowo Agar Menterinya di Kabinet Tak Main Proyek APBN
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo mengatakan yakin pemerintah telah mengolah seluruh masukan baik dari yang pro maupun kontra. Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi COVID-19 ini merupakan sebuah dilema. (Baca juga: Para Sekda Diminta Pastikan Netralitas ASN Terjaga di Pilkada 2020)
Di satu sisi, ada kekhawatiran akan penyebaran virus Sars Cov-II. Data terakhir Satgas Penanganan COVID-19, jumlah orang positif mencapai 282.724, sembuh 210.437, dan meninggal dunia 10.601.
Di sisi lain, menurut Bamsoet-sapaan akrabnya, hak politik dan konstitusional untuk dipilih dan memilih harus dipenuhi. Penyelenggaraan pilkada untuk memfasilitasi pergantian pemimpin daerah.
“Penundaan pilkada memiliki konsekuensi akan adanya pelaksana tugas (plt) yang dalam melaksanakan tugasnya memiliki keterbatasan karena tidak mengambil kebijakan strategis. Di masa pandemi ini, pengambilan kebijakan strategis sangat dibutuhkan,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Pilkada Berkualitas Dengan Protokol Kesehatan: Utopia atau Realita?”, Rabu (30/9/2020).
Dia menerangkan ada 38 negara yang tetap melaksanakan pemilihan umum dalam kurun waktu Februari hingga Agustus 2020. Pada Februari, ada Iran, Taiwan, dan Slovakia. Pada Maret, beberapa negara bagian di Amerika Serikat, seperti Arizona, dan Jerman. Lalu, menyusul Jepang, Korea Selatan, dan Swiss pada April 2020.
Pemerintah, DPR, dan KPU memang berjanji memperketat protokol kesehatan COVID-19 dalam pelaksanaan pilkada. Bamsoet mengatakan dirinya mendukung Komisi II DPR yang meminta revisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam COVID-19.
Hal itu untuk payung hukum yang memperketat penerapan protokol kesehatan. “Tentu dengan sanksi yang tegas,” ucapnya.
Bamsoet memberikan beberapa catatan untuk pelaksanaan pilkada di tengah pandemi COVID-19. Pertama, kemungkinan partisipasi pemilih menurun karena masyarakat was-was untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Kedua, semua pihak harus disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan COVID-19. Ketiga, sekitar 80% pertahana maju kembali.
“Di masa pandemi COVID-19, ada kekhawatiran pada pertahana akan memanfaatkan berbagai bansos yang disalurkan melalui kepala daerah. Dampak pandemi berisiko meningkatkan money politik. Itu akan mengurangi kualitas demokrasi kita,” tuturnya. (Baca juga: Polemik Komunisme, Cakada Diminta Fokus Pilkada dan Tetap Patuhi Protokol)
Keempat, pilkada membutuhkan dukungan sumber daya, seperti alat pelindung diri, tenaga medis, dan tes COVID-19. “Perlu dipastikan KPU mempunyai sumber daya. Setiap daerah mempunyai sumber daya yang berbeda-beda,” pungkasnya.
Lihat Juga: Ketua Umum Parpol Diminta Patuhi Pesan Prabowo Agar Menterinya di Kabinet Tak Main Proyek APBN
(kri)
tulis komentar anda