Tragedi Terbesar Soekarno: Berjaya dan Jatuh dalam Kesenyapan
Senin, 28 September 2020 - 06:56 WIB
Tampaknya memang ada perbedaan "imajinasi" antara Hatta dan Soekarno soal keindonesiaan sehingga keduanya harus berpisah jalan. Soal konsep Demokrasi Terpimpin, hal itu tidak bisa dipisahkan dari hasrat Soekarno sejak masa muda tentang penyatuan tiga kekuatan politik "Nasakom" serta perlunya sebuah partai pelopor yang monolitik.
Soekarno tidak tertarik pada demokrasi model Barat yang multipartai. Itu sebabnya, Soekarno sempat melakukan eksperimen soal partai tunggal, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 27 Agustus 1945. Namun, usianya tidak sampai seminggu karena muncul kekhawatiran soal kemungkinan tumpang tindih antara PNI dan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).
Hari-hari setelah terbitnya dekrit, Soekarno praktis tinggal sendiri di "menara gading" kekuasaan. Setidaknya ada dua tokoh yang masih intensif berhubungan dengan dirinya terkait kedinasan atau politik, yaitu Jenderal Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan Perdana Menteri Djuanda. Mengingat beberapa tokoh lainnya dengan berbagai alasan "dikarantina politik" oleh rezim Soekarno, seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Mochtar Lubis, dan lain-lain.
Seberapa pun tingginya jabatan, kedua nama yang disebut terakhir dalam aspek gagasan tidak bisa menggantikan posisi Sjahrir dan Hatta. Nasution dan Djuanda bukanlah teman diskusi yang setara bagi Soekarno. Djuanda adalah seorang proto teknokrat yang pernah ada sebelum munculnya nama-nama, seperti Widjojo Nitisastro atau Ali Wardana.
Demikian dengan Nasution. Hubungan Soekarno dan Nasution semata-mata politis, masing-masing berkepentingan dalam menjaga kontinuitas kekuasaan. Beberapa kali usul Nasution pernah ditolak Soekarno. Salah satunya saat mencalonkan Mayjen TNI Gatot Soebroto sebagai KSAD untuk menggantikannya.
Sementara itu, Djuanda sejak masih berstatus mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng atau ITB sekarang hingga menjadi menteri dikenal sebagai figur a-politis. Sulit membayangkan terjadi perdebatan bermuatan ideologis antara Djuanda dan Soekarno. Apa yang ada dalam pikiran Djuanda kurang lebih adalah "kerja, kerja, dan kerja".
Akhir Kisah Kekuasaan
Setelah kematian Djuanda, pada November 1963, posisi Djuanda digantikan Soebandrio yang menjabat Menteri Luar Negeri. Dibanding pendahulunya, Soebandrio lebih politis tapi dari segi gagasan tetap saja tidak bisa mengimbangi Soekarno. Soebandrio lebih memikirkan mengamankan kekuasaannya sendiri.
Situasi yang hampir mirip terjadi pada pengganti Nasution selaku KSAD, yakni Mayjen Ahmad Yani. Dalam aspek gagasan, level Yani masih di bawah Nasution, karena Yani lebih sebagai tipikal perwira lapangan. Oleh sebab itu, Yani harus mencari ruang lain agar bisa masuk dalam lingkaran pertama Soekarno.
Mencari ruang kesesuaian antara Yani dan Soekarno tidaklah sulit. Keduanya dikenal sebagai figur flamboyan dan sangat menikmati kehidupan. Beda dengan Nasution yang lebih puritan. Mungkinkah sebuah kebetulan, kesesuaian hubungan antara Soekarno dan Yani meski dengan cara berbeda, menjadikan nasib mereka juga mirip, sirna dari panggung sejarah setelah Peristiwa 30 September 1965.
Soekarno tidak tertarik pada demokrasi model Barat yang multipartai. Itu sebabnya, Soekarno sempat melakukan eksperimen soal partai tunggal, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 27 Agustus 1945. Namun, usianya tidak sampai seminggu karena muncul kekhawatiran soal kemungkinan tumpang tindih antara PNI dan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).
Hari-hari setelah terbitnya dekrit, Soekarno praktis tinggal sendiri di "menara gading" kekuasaan. Setidaknya ada dua tokoh yang masih intensif berhubungan dengan dirinya terkait kedinasan atau politik, yaitu Jenderal Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan Perdana Menteri Djuanda. Mengingat beberapa tokoh lainnya dengan berbagai alasan "dikarantina politik" oleh rezim Soekarno, seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Mochtar Lubis, dan lain-lain.
Seberapa pun tingginya jabatan, kedua nama yang disebut terakhir dalam aspek gagasan tidak bisa menggantikan posisi Sjahrir dan Hatta. Nasution dan Djuanda bukanlah teman diskusi yang setara bagi Soekarno. Djuanda adalah seorang proto teknokrat yang pernah ada sebelum munculnya nama-nama, seperti Widjojo Nitisastro atau Ali Wardana.
Demikian dengan Nasution. Hubungan Soekarno dan Nasution semata-mata politis, masing-masing berkepentingan dalam menjaga kontinuitas kekuasaan. Beberapa kali usul Nasution pernah ditolak Soekarno. Salah satunya saat mencalonkan Mayjen TNI Gatot Soebroto sebagai KSAD untuk menggantikannya.
Sementara itu, Djuanda sejak masih berstatus mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng atau ITB sekarang hingga menjadi menteri dikenal sebagai figur a-politis. Sulit membayangkan terjadi perdebatan bermuatan ideologis antara Djuanda dan Soekarno. Apa yang ada dalam pikiran Djuanda kurang lebih adalah "kerja, kerja, dan kerja".
Akhir Kisah Kekuasaan
Setelah kematian Djuanda, pada November 1963, posisi Djuanda digantikan Soebandrio yang menjabat Menteri Luar Negeri. Dibanding pendahulunya, Soebandrio lebih politis tapi dari segi gagasan tetap saja tidak bisa mengimbangi Soekarno. Soebandrio lebih memikirkan mengamankan kekuasaannya sendiri.
Situasi yang hampir mirip terjadi pada pengganti Nasution selaku KSAD, yakni Mayjen Ahmad Yani. Dalam aspek gagasan, level Yani masih di bawah Nasution, karena Yani lebih sebagai tipikal perwira lapangan. Oleh sebab itu, Yani harus mencari ruang lain agar bisa masuk dalam lingkaran pertama Soekarno.
Mencari ruang kesesuaian antara Yani dan Soekarno tidaklah sulit. Keduanya dikenal sebagai figur flamboyan dan sangat menikmati kehidupan. Beda dengan Nasution yang lebih puritan. Mungkinkah sebuah kebetulan, kesesuaian hubungan antara Soekarno dan Yani meski dengan cara berbeda, menjadikan nasib mereka juga mirip, sirna dari panggung sejarah setelah Peristiwa 30 September 1965.
Lihat Juga :
tulis komentar anda