Tragedi Terbesar Soekarno: Berjaya dan Jatuh dalam Kesenyapan
Senin, 28 September 2020 - 06:56 WIB
Eko Sulistyo
Sejarawan dan Deputi di Kantor Staf Presiden (2015-2019)
SOEKARNO adalah warisan terbesar Abad XX. Dia lahir kemudian merintis jalan sebagai orang besar hingga menuju kejatuhannya terjadi di abad tersebut. Sewindu terakhir periode kekuasaannya menjadi fase paling bergemuruh dalam sejarah Indonesia modern (1959-1967). Turbulensi politik begitu tinggi, salah satunya ditandai keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dengan terbitnya dekrit tersebut, kekuasaan Soekarno menjadi sangat besar dan berpotensi menjadi otoriter. Namun. dengan kekuasaannya yang besar, Soekarno seolah orang "kesepian" dalam dinamika politik saat itu. Praktis dia tidak memiliki kawan diskusi yang seimbang. Mengingat beberapa kawan berdebatnya sejak masa muda, seperti Hatta dan Sjahrir berada di luar lingkaran kekuasaan.
Sjahrir bahkan dijebloskannya ke penjara dengan alasan terkait partai yang dipimpinnya, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dianggap terlibat dalam gerakan separatis PRRI/Permesta. Sjahrir ditahan sejak Januari 1962 dan meninggal dalam status sebagai tahanan politik. Soekarno dengan kekuasaan yang masih tersisa, pada pertengahan April 1966, menetapkan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional yang berlaku surut sejak hari meninggalnya pada 9 April 1966.
Perjalanan Sjahrir memang penuh ironi. Dia meninggal dalam status tahanan dari sebuah negeri yang turut didirikannya. Bersama Soekarno dan Hatta, Syahrir bahu membahu membangun negeri yang baru bebas dari penjajahan. Karena begitu besar peran mereka, ketiganya memperoleh sebutan triumvirate Bapak Bangsa yang posisinya dalam sejarah tak mungkin tergantikan.
Bersimpang Jalan
Namun, dalam perjalanan republik selanjutnya, berdasarkan alasan politik dan kekuasaan, ketiganya kemudian bersimpang jalan. Dimulai dengan Sjahrir ketika terjadi Clash II pada akhir 1948, posisinya sudah di luar lingkaran elite pemerintahan. Kemudian menyusul Hatta yang mundur sebagai wakil presiden pada pertengahan dekade 1950-an.
Setelah menjadi warga biasa, Hatta sempat menulis risalah Demokrasi Kita (1960), sebuah esai yang mengkritik keras sistem Demokrasi Terpimpinnya Soekarno. Hatta antara lain mengatakan, "sejarah dunia memberi petunjuk, bahwa diktator yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistem yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri." Dalam pandangan Hatta pula, golongan dan elite politik yang ada di sekitar Soekarno, datang dari berbagai aliran yang sejatinya saling bertentangan satu sama lain. Ikatan di antara mereka hanya bergantung pada keberadaan figur Soekarno. Mereka sekadar setuju saja pada apa yang menjadi kehendak Soekarno.
Sejarawan dan Deputi di Kantor Staf Presiden (2015-2019)
SOEKARNO adalah warisan terbesar Abad XX. Dia lahir kemudian merintis jalan sebagai orang besar hingga menuju kejatuhannya terjadi di abad tersebut. Sewindu terakhir periode kekuasaannya menjadi fase paling bergemuruh dalam sejarah Indonesia modern (1959-1967). Turbulensi politik begitu tinggi, salah satunya ditandai keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dengan terbitnya dekrit tersebut, kekuasaan Soekarno menjadi sangat besar dan berpotensi menjadi otoriter. Namun. dengan kekuasaannya yang besar, Soekarno seolah orang "kesepian" dalam dinamika politik saat itu. Praktis dia tidak memiliki kawan diskusi yang seimbang. Mengingat beberapa kawan berdebatnya sejak masa muda, seperti Hatta dan Sjahrir berada di luar lingkaran kekuasaan.
Sjahrir bahkan dijebloskannya ke penjara dengan alasan terkait partai yang dipimpinnya, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dianggap terlibat dalam gerakan separatis PRRI/Permesta. Sjahrir ditahan sejak Januari 1962 dan meninggal dalam status sebagai tahanan politik. Soekarno dengan kekuasaan yang masih tersisa, pada pertengahan April 1966, menetapkan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional yang berlaku surut sejak hari meninggalnya pada 9 April 1966.
Perjalanan Sjahrir memang penuh ironi. Dia meninggal dalam status tahanan dari sebuah negeri yang turut didirikannya. Bersama Soekarno dan Hatta, Syahrir bahu membahu membangun negeri yang baru bebas dari penjajahan. Karena begitu besar peran mereka, ketiganya memperoleh sebutan triumvirate Bapak Bangsa yang posisinya dalam sejarah tak mungkin tergantikan.
Bersimpang Jalan
Namun, dalam perjalanan republik selanjutnya, berdasarkan alasan politik dan kekuasaan, ketiganya kemudian bersimpang jalan. Dimulai dengan Sjahrir ketika terjadi Clash II pada akhir 1948, posisinya sudah di luar lingkaran elite pemerintahan. Kemudian menyusul Hatta yang mundur sebagai wakil presiden pada pertengahan dekade 1950-an.
Setelah menjadi warga biasa, Hatta sempat menulis risalah Demokrasi Kita (1960), sebuah esai yang mengkritik keras sistem Demokrasi Terpimpinnya Soekarno. Hatta antara lain mengatakan, "sejarah dunia memberi petunjuk, bahwa diktator yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistem yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri." Dalam pandangan Hatta pula, golongan dan elite politik yang ada di sekitar Soekarno, datang dari berbagai aliran yang sejatinya saling bertentangan satu sama lain. Ikatan di antara mereka hanya bergantung pada keberadaan figur Soekarno. Mereka sekadar setuju saja pada apa yang menjadi kehendak Soekarno.
Lihat Juga :
tulis komentar anda