Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS Terkendala, DPR: Lamban dan Birokratis
Selasa, 05 Mei 2020 - 08:20 WIB
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan putusan Nomor 7P/ HUM/2020 tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Putusan MA itu diterima pemerintah secara resmi pada 31 Maret 2020.
Terkait hal itu, Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyayangkan eksekusi putusan MA tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan masih harus berlarut karena menunggu peraturan presiden (Perpres) baru. Akibatnya, putusan MA tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang seharusnya berlaku 1 April 2020 hingga kini belum bisa dilaksanakan.
"Kita sudah rapat dengan BPJS Kesehatan, Dewan Pengawas BPJS Kesehatan dan DJSN. Kita mendesak agar pemerintah segera mengeluarkan Perpres yang mencabut, mengubah Perpres sebelumnya dan melaksanakan keputusan MA. Kita sayangkan masalah pemenuhan hak rakyat ini kok berbelit hanya terkendala urusan birokrasi regulasi," ujar Mufida dalam keterangannya, Selasa (5/5/2020).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, putusan MA itu sudah diterima BPJS pada 31 Maret 2020. Kemudian ada laporan dari banyak masyarakat bahwa iuran untuk Mei masih menggunakan tarif yang sudah dinaikkan.
Dia mengatakan, artinya sudah dua bulan putusan MA itu belum dijalankan oleh pemerintah yang tak kunjung menerbitkan Perpres.
"Ada hak peserta yang dirugikan karena per 1 April seharusnya menggunakan harga iuran lama tapi sampai tagihan Mei masih ditagih dengan iuran yang naik. Kalau Pemerintah beritikad baik melihat kesulitan rakyatnya, satu hari saja bisa keluar Perpres. Ini hal yang sederhana sebenarnya kok. Dua bulan terlalu lama," katanya.
Dia melanjutkan, DPR bahkan juga mengusulkan agar BPJS Kesehatan langsung saja melaksanakan putusan MA karena situasi masyarakat yang terdampak COVID-19. Saat ini daya membayar masyarakat untuk iuran apapun menurun drastis.
"Sekarang kalau iuran naiknya Rp 50 ribu per kepala, satu rumah ada empat kepala jadi naiknya Rp 200 ribu. Di era Covid-19 seperti ini uang Rp 200 ribu sangat berharga sekali. Sensitivitas pemerintah itu bagaimana? BPJS Kesehatan tidak berani langsung menaikkan karena mereka beralasan sebagai operator bukan regulator," kata Mufida.
Di samping itu, jajaran Komisi IX DPR RI juga mendesak agar ada kompensasi yang dilakukan BPJS Kesehatan untuk memotong iuran BPJS bulan April dan Mei 2020. "Hasilnya BPJS Kesehatan berkomitmen untuk selisih iuran pada bulan April dan Mei akan dibayarkan di bulan berikutnya. Mei ini harus keluar Pepres sehingga iuran Juni sudah kembali ke harga awal sebelum dinaikkan," ujarnya.
Legislator asal daerah pemilihan DKI Jakarta II ini juga mendesak agar BPJS Kesehatan dan juga BPJS Ketenagakerjaan melakukan relaksasi pembayaran iuran dengan kondisi COVID-19. "Semua sektor terpukul. Kemampuan masyarakat untuk membayar iuran-iuran juga menurun. Berika relaksasi iuran tapi dengan tetap melakukan pelayanan meski telat membayar iuran. Ini tugas negara untuk membantu rakyatnya yang kesulitan," pungkasnya.
Terkait hal itu, Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyayangkan eksekusi putusan MA tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan masih harus berlarut karena menunggu peraturan presiden (Perpres) baru. Akibatnya, putusan MA tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang seharusnya berlaku 1 April 2020 hingga kini belum bisa dilaksanakan.
"Kita sudah rapat dengan BPJS Kesehatan, Dewan Pengawas BPJS Kesehatan dan DJSN. Kita mendesak agar pemerintah segera mengeluarkan Perpres yang mencabut, mengubah Perpres sebelumnya dan melaksanakan keputusan MA. Kita sayangkan masalah pemenuhan hak rakyat ini kok berbelit hanya terkendala urusan birokrasi regulasi," ujar Mufida dalam keterangannya, Selasa (5/5/2020).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, putusan MA itu sudah diterima BPJS pada 31 Maret 2020. Kemudian ada laporan dari banyak masyarakat bahwa iuran untuk Mei masih menggunakan tarif yang sudah dinaikkan.
Dia mengatakan, artinya sudah dua bulan putusan MA itu belum dijalankan oleh pemerintah yang tak kunjung menerbitkan Perpres.
"Ada hak peserta yang dirugikan karena per 1 April seharusnya menggunakan harga iuran lama tapi sampai tagihan Mei masih ditagih dengan iuran yang naik. Kalau Pemerintah beritikad baik melihat kesulitan rakyatnya, satu hari saja bisa keluar Perpres. Ini hal yang sederhana sebenarnya kok. Dua bulan terlalu lama," katanya.
Dia melanjutkan, DPR bahkan juga mengusulkan agar BPJS Kesehatan langsung saja melaksanakan putusan MA karena situasi masyarakat yang terdampak COVID-19. Saat ini daya membayar masyarakat untuk iuran apapun menurun drastis.
"Sekarang kalau iuran naiknya Rp 50 ribu per kepala, satu rumah ada empat kepala jadi naiknya Rp 200 ribu. Di era Covid-19 seperti ini uang Rp 200 ribu sangat berharga sekali. Sensitivitas pemerintah itu bagaimana? BPJS Kesehatan tidak berani langsung menaikkan karena mereka beralasan sebagai operator bukan regulator," kata Mufida.
Di samping itu, jajaran Komisi IX DPR RI juga mendesak agar ada kompensasi yang dilakukan BPJS Kesehatan untuk memotong iuran BPJS bulan April dan Mei 2020. "Hasilnya BPJS Kesehatan berkomitmen untuk selisih iuran pada bulan April dan Mei akan dibayarkan di bulan berikutnya. Mei ini harus keluar Pepres sehingga iuran Juni sudah kembali ke harga awal sebelum dinaikkan," ujarnya.
Legislator asal daerah pemilihan DKI Jakarta II ini juga mendesak agar BPJS Kesehatan dan juga BPJS Ketenagakerjaan melakukan relaksasi pembayaran iuran dengan kondisi COVID-19. "Semua sektor terpukul. Kemampuan masyarakat untuk membayar iuran-iuran juga menurun. Berika relaksasi iuran tapi dengan tetap melakukan pelayanan meski telat membayar iuran. Ini tugas negara untuk membantu rakyatnya yang kesulitan," pungkasnya.
(cip)
tulis komentar anda