Simalakama 'Omnibus Law’ Cipta Kerja

Selasa, 01 September 2020 - 16:40 WIB
Rio Christiawan
Rio Christiawan

Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

BEBERAPA waktu lalu DPR bersama pemerintah mengumumkan akan kembali melakukan pembahasan klaster ketenagakerjaan pada RUU ‘omnibus law’ Cipta Kerja sempat ditunda pembahasannya karena adanya serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB). Kini SP/SB kembali menyampaikan akan melakukan demo besar-besaran jika pemerintah dan DPR tetap membahas dan mengesahkan ‘omnibus law’ Cipta Kerja. Menunda klaster ketenagakerjaan tampaknya kala itu merupakan kompromi sesaat dari pemerintah untuk menghindari demonstrasi besar-besaran di masa pandemi yang dapat berakhir dengan berbagai kerentanan sosial.

Secara psikologis, beberapa bulan lalu pengumuman penundaan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja menjelang hari buruh adalah upaya untuk membangun optimisme para pekerja, meskipun sebenarnya hal ini merupakan bom waktu. Dapat dikatakan sebenarnya kala itu pengumuman penundaan klaster ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja merupakan bentuk ‘hiburan’ dari isu yang sebenarnya yakni permasalahan PHK yang terus meningkat pekerja dalam tiga bulan terakhir. Angka tersebut masih akan bertambah secara signifikan setidaknya sampai dengan pandemi Covid-19 benar-benar berakhir.

Persoalannya adalah jika dalam kondisi lesunya perekonomian akibat pandemi dan masyarakat membutuhkan lapangan pekerjaan maka RUU Cipta Kerja diharapkan bisa menjadi salah satu solusi bagi penyerapan, sebagaimana disampaikan dalam pidato pertama presiden Joko Widodo saat pertama kali dilantik sebagai presiden periode 2019 – 2024. Semangat pembentukan omnibus law yang kini dikenal sebagai RUU Cipta Kerja adalah menciptakan aturan yang terintegrasi untuk kesejahteraan masyarakat dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan memudahkan investasi dari hambatan-hambatan yang selama ini menghalangi potensi investasi dan terciptanya lapangan pekerjaan.



Shane Murugan (2011), ahli perundang-undangan Sorbonne University menguraikan bahwa pembahasan omnibus law merupakan satu kesatuan antar bagiannya, mengingat omnibus law merupakan aturan payung yang dibentuk berdasarkan tujuan tertentu. Ihwal semangat pembentukan omnibus law Cipta Kerja di Indonesia adalah membentuk daya saing melalui perekonomian, yakni mengurangi faktor penghambat pada investasi sehingga daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi menjadi lebih baik dan berkorelasi positif pada penciptaan lapangan pekerjaan. Artinya dalam hal ini substansi dari seluruh klaster yang ada dalam RUU Cipta Kerja memiliki kaitan satu sama lain.

Produktif atau Kontra Produktif ?

Kini masyarakat terbelah menyikapi pembahasan kembali RUU Cipta Kerja yang segera akan memasuki klaster ketenagakerjaan. Kalangan yang menyikapi dengan pesimis ini memandang bahwa dengan ditundanya pembahasan RUU Cipta kerja, khususnya penundaan klaster ketenagakerjaan akan menciptakan peluang bagi perubahan substansi di klaster ketenagakerjaan sehingga akan lebih menguntungkan bagi pekerja. Pandangan ini tentunya mewakili pandangan SP/SB maupun mayoritas pekerja.

Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru karena dengan melihat anatomi dari RUU Cipta Kerja yang terdiri dari 11 klaster yang saling berkaitan, 1200 Pasal yang merangkum tidak kurang dari 79 aturan perundangan, jika salah satu klasternya bermasalah maka akan berdampak pada klaster lainnya. Dengan kondisi demikian jika dipaksakan untuk dibahas dan disahkan maka RUU Cipta Kerja akan potensial menuai banyak gugatan uji materiil (judicial review). Pada akhirnya jika banyak Pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi maka justru akan menyebabkan RUU Cipta Kerja tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More