Pendanaan Terorisme Kian Canggih, Berubah Seiring Perkembangan Teknologi
Selasa, 01 September 2020 - 07:08 WIB
JAKARTA - Modus pendanaan terorisme selalu berubah seiring perkembangan teknologi. Mereka selalu mencari alternatif jika jalan utama yang biasa digunakan menemui jalan buntu atau berhasil diungkap aparat.
Artinya, jika sudah kesulitan masuk ke sistem lama, mereka akan bergerak mencari sistem lain. Salah satu kasus yang sudah terjadi adalah penyalahgunaan financial technologi (fintech) untuk aksi terorisme dan tindak pidana ekonomi yang dilakukan Bahrun Naim, salah seorang tokoh yang mendalangi berbagai aksi teror di Indonesia. (Baca: Waspadai Doktrin Teror Lewat Media Sosial)
Bahrun menggunakan sejumlah akun pembayaran daring, PayPal dan Bit Coin untuk pendanaan terorisme. Keduanya merupakan alat pembayaran virtual yang dapat digunakan untuk transaksi oleh seluruh pengguna internet di seluruh dunia. Bahkan, ada pembiayaan lain yang menggunakan modus impor rokok ilegal.
Beberapa kelompok terorisme salah satunya Jamaah Ansharut Daulah (JAD), menerima aliran dana dari luar negeri. Setelah menerima uang tersebut, kelompok itu membawa dana ke Indonesia. Dalam satu kali kesempatan, Polri sempat mendeteksi aliran dana tersebut berasal dari lima negara, yakni Trinidad dan Tobago, Maladewa, Jerman, Venezuela, dan Malaysia.
Dana tersebut dipakai untuk sejumlah kepentingan dan kebutuhan, dari merekrut anggota baru, membeli senjata, membeli bahan peledak, melakukan pelatihan, hingga menopang kehidupan atau memberi biaya hidup bagi keluarga pelaku terorisme yang tewas sebelumnya.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah menemukan fakta ancaman 'laundering offshore' yang dilakukan untuk pendanaan terorisme. Para pelaku tidak lagi menikmati hasil kejahatan melalui uang tunai atau aset lainnya, tetapi memanfaatkan teknologi informasi. (Baca juga: Ngamuk di Acara Agustusan, 22 Anggota Ormas DIbekuk)
Tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) memanfaatkan adanya inovasi keuangan digital, seperti penghimpunan dana melalui crowd funding dan penggunaan virtual currency sebagai sumber kegiatan terorisme. Inovasi keuangan digital dan realita penggunaan virtual currency dalam financial crime dapat mempertinggi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme. Tidak jauh berbeda dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Teranyar, PPATK menemukan pola pengumpulan dana jaringan di Indonesia telah berubah dari ilegal ke legal, misalnya bisnis kecil-kecilan dengan menjual herbal, jual-beli pulsa, servis elektronik, penjualan buku.
Direktur Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor) Al Araf menyatakan, pola pendanaan terorisme selalu menjadi topik utama forum internasional termasuk di Indonesia. Maka itu, kata dia, Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tentang pemberantasan pendanaan terorisme. “Kita tahu bahwa variasi kelompok itu ada yang bergerak secara sendiri dan ada yang bergerak secara organisasi," ujar Al Araf.
Artinya, jika sudah kesulitan masuk ke sistem lama, mereka akan bergerak mencari sistem lain. Salah satu kasus yang sudah terjadi adalah penyalahgunaan financial technologi (fintech) untuk aksi terorisme dan tindak pidana ekonomi yang dilakukan Bahrun Naim, salah seorang tokoh yang mendalangi berbagai aksi teror di Indonesia. (Baca: Waspadai Doktrin Teror Lewat Media Sosial)
Bahrun menggunakan sejumlah akun pembayaran daring, PayPal dan Bit Coin untuk pendanaan terorisme. Keduanya merupakan alat pembayaran virtual yang dapat digunakan untuk transaksi oleh seluruh pengguna internet di seluruh dunia. Bahkan, ada pembiayaan lain yang menggunakan modus impor rokok ilegal.
Beberapa kelompok terorisme salah satunya Jamaah Ansharut Daulah (JAD), menerima aliran dana dari luar negeri. Setelah menerima uang tersebut, kelompok itu membawa dana ke Indonesia. Dalam satu kali kesempatan, Polri sempat mendeteksi aliran dana tersebut berasal dari lima negara, yakni Trinidad dan Tobago, Maladewa, Jerman, Venezuela, dan Malaysia.
Dana tersebut dipakai untuk sejumlah kepentingan dan kebutuhan, dari merekrut anggota baru, membeli senjata, membeli bahan peledak, melakukan pelatihan, hingga menopang kehidupan atau memberi biaya hidup bagi keluarga pelaku terorisme yang tewas sebelumnya.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah menemukan fakta ancaman 'laundering offshore' yang dilakukan untuk pendanaan terorisme. Para pelaku tidak lagi menikmati hasil kejahatan melalui uang tunai atau aset lainnya, tetapi memanfaatkan teknologi informasi. (Baca juga: Ngamuk di Acara Agustusan, 22 Anggota Ormas DIbekuk)
Tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) memanfaatkan adanya inovasi keuangan digital, seperti penghimpunan dana melalui crowd funding dan penggunaan virtual currency sebagai sumber kegiatan terorisme. Inovasi keuangan digital dan realita penggunaan virtual currency dalam financial crime dapat mempertinggi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme. Tidak jauh berbeda dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Teranyar, PPATK menemukan pola pengumpulan dana jaringan di Indonesia telah berubah dari ilegal ke legal, misalnya bisnis kecil-kecilan dengan menjual herbal, jual-beli pulsa, servis elektronik, penjualan buku.
Direktur Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor) Al Araf menyatakan, pola pendanaan terorisme selalu menjadi topik utama forum internasional termasuk di Indonesia. Maka itu, kata dia, Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tentang pemberantasan pendanaan terorisme. “Kita tahu bahwa variasi kelompok itu ada yang bergerak secara sendiri dan ada yang bergerak secara organisasi," ujar Al Araf.
tulis komentar anda