Transportasi Umum dan Konservasi Energi, Mengelola Kawasan Perkotaan Jabodetabek
Selasa, 10 Desember 2024 - 06:00 WIB
Tantangan Sistem Transportasi Umum
Ada beberapa kendala utama yang membuat kendaraan pribadi masih menjadi pilihan utama. Pertama, meskipun interkoneksi moda transportasi sudah mulai terintegrasi, cakupannya belum merata. Sebagai contoh, jalur MRT Jakarta yang saat ini baru mencakup rute Blok M–Bundaran HI masih dalam tahap pembangunan untuk mencapai jalur timur-barat.
Kedua, kapasitas angkutan umum belum memadai, terutama pada jam sibuk. Bus TransJakarta sering kali penuh sesak, sementara pada beberapa ruas jalan, Jaklingko belum sepenuhnya mengisi kekosongan layanan transportasi umum. Ketiga, aksesibilitas ke jaringan transportasi umum di beberapa daerah penyangga masih terbatas, memaksa banyak orang menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai stasiun atau halte.
Dampak Kendaraan Pribadi terhadap Energi
Jumlah kendaraan pribadi di Jabodetabek terus meningkat setiap tahun. Pada 2024, diperkirakan terdapat 19,4 juta unit sepeda motor dan 3,9 juta mobil pribadi. Konsumsi bahan bakar yang dihasilkan dari kendaraan-kendaraan ini mencapai angka yang mengejutkan: 4,85 miliar liter per tahun untuk sepeda motor dan 5,85 miliar liter per tahun untuk mobil pribadi. Setiap tahun, sekitar 1,25 juta motor baru dan 240 ribu mobil baru masuk ke wilayah ini, menambah beban konsumsi energi dan emisi karbon.
Tingginya ketergantungan pada kendaraan pribadi tidak hanya meningkatkan biaya energi, tetapi juga memperburuk polusi udara. Hal ini bertentangan dengan upaya global untuk mencapai keberlanjutan energi dan pengurangan emisi karbon.
Evaluasi Kebijakan Pemerintah
Pemerintah telah mencoba berbagai cara untuk mengurangi kemacetan dan emisi di Jabodetabek, termasuk mempromosikan kendaraan listrik, membangun hunian vertikal, dan meningkatkan ruang publik. Namun, langkah-langkah ini memiliki keterbatasan. Kendaraan listrik, misalnya, meskipun ramah lingkungan, tidak akan mengurangi kemacetan karena ruas jalan tetap sama. Bebasnya kendaraan listrik dari aturan ganjil-genap justru menambah volume lalu lintas. Sementara itu, pembangunan hunian vertikal membutuhkan anggaran besar dan tidak secara langsung menjawab kebutuhan mobilitas pekerja urban yang masuk dari wilayah penyangga.
Pada hari kerja, Jakarta menjadi pusat aktivitas urban dengan sekitar 12 juta orang berada di kota ini pada siang hari. Angka ini jauh lebih tinggi dari populasi malam hari yang hanya sekitar 10,68 juta orang. Selisih ini menunjukkan tingginya tingkat komuter harian dari wilayah sekitar seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Artinya, sistem transportasi di Jakarta tidak bisa berdiri sendiri; harus ada integrasi yang lebih baik dengan daerah penyangga.
Rekomendasi untuk masa depan
Ada beberapa kendala utama yang membuat kendaraan pribadi masih menjadi pilihan utama. Pertama, meskipun interkoneksi moda transportasi sudah mulai terintegrasi, cakupannya belum merata. Sebagai contoh, jalur MRT Jakarta yang saat ini baru mencakup rute Blok M–Bundaran HI masih dalam tahap pembangunan untuk mencapai jalur timur-barat.
Kedua, kapasitas angkutan umum belum memadai, terutama pada jam sibuk. Bus TransJakarta sering kali penuh sesak, sementara pada beberapa ruas jalan, Jaklingko belum sepenuhnya mengisi kekosongan layanan transportasi umum. Ketiga, aksesibilitas ke jaringan transportasi umum di beberapa daerah penyangga masih terbatas, memaksa banyak orang menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai stasiun atau halte.
Dampak Kendaraan Pribadi terhadap Energi
Jumlah kendaraan pribadi di Jabodetabek terus meningkat setiap tahun. Pada 2024, diperkirakan terdapat 19,4 juta unit sepeda motor dan 3,9 juta mobil pribadi. Konsumsi bahan bakar yang dihasilkan dari kendaraan-kendaraan ini mencapai angka yang mengejutkan: 4,85 miliar liter per tahun untuk sepeda motor dan 5,85 miliar liter per tahun untuk mobil pribadi. Setiap tahun, sekitar 1,25 juta motor baru dan 240 ribu mobil baru masuk ke wilayah ini, menambah beban konsumsi energi dan emisi karbon.
Tingginya ketergantungan pada kendaraan pribadi tidak hanya meningkatkan biaya energi, tetapi juga memperburuk polusi udara. Hal ini bertentangan dengan upaya global untuk mencapai keberlanjutan energi dan pengurangan emisi karbon.
Evaluasi Kebijakan Pemerintah
Pemerintah telah mencoba berbagai cara untuk mengurangi kemacetan dan emisi di Jabodetabek, termasuk mempromosikan kendaraan listrik, membangun hunian vertikal, dan meningkatkan ruang publik. Namun, langkah-langkah ini memiliki keterbatasan. Kendaraan listrik, misalnya, meskipun ramah lingkungan, tidak akan mengurangi kemacetan karena ruas jalan tetap sama. Bebasnya kendaraan listrik dari aturan ganjil-genap justru menambah volume lalu lintas. Sementara itu, pembangunan hunian vertikal membutuhkan anggaran besar dan tidak secara langsung menjawab kebutuhan mobilitas pekerja urban yang masuk dari wilayah penyangga.
Pada hari kerja, Jakarta menjadi pusat aktivitas urban dengan sekitar 12 juta orang berada di kota ini pada siang hari. Angka ini jauh lebih tinggi dari populasi malam hari yang hanya sekitar 10,68 juta orang. Selisih ini menunjukkan tingginya tingkat komuter harian dari wilayah sekitar seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Artinya, sistem transportasi di Jakarta tidak bisa berdiri sendiri; harus ada integrasi yang lebih baik dengan daerah penyangga.
Rekomendasi untuk masa depan
Lihat Juga :
tulis komentar anda