KAMI antara Harapan dan Menjaga Eksistensi

Senin, 31 Agustus 2020 - 06:28 WIB
Firman Noor
Firman Noor

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI)

KOALISI Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dibentuk oleh kalangan yang selama ini memiliki track record sebagai oposisi pemerintah. Keberadaan KAMI dengan demikian adalah suatu upaya menyatukan dan memformalkan sebuah perkumpulan mereka-mereka yang memiliki kepedulian terhadap nasib bangsa ini, hanya saja memiliki jalur yang berbeda dari pemerintah.

KAMI juga dapat dilihat sebagai sebuah saluran aspirasi dari mereka yang merasa terpanggil mengingat masih banyaknya persoalan yang ada di republik ini, dan juga berbagai potensi masalah, yang akan makin memberatkan hidup rakyat banyak. Saat pendeklarasiannya, KAMI dengan tegas menekankan agar pemerintah saat ini dapat bekerja lebih relevan lagi dengan aspirasi rakyat banyak dan tetap berjalan dengan hakekat jati diri bangsa.

Keberadaaan KAMI dan juga ormas-ormas sejenisnya harus dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan demokrasi. Mengingat bahwa demokrasi memberikan kebebasan yang luas untuk berekspresi dan berkumpul menyuarakan pendapat atau aspirasi.



Lebih dari itu, manuver gerakan ini bagian dari kontrol masyarakat kepada pemerintah. Pemerintahan dalam negara demokrasi harus berkenan untuk senantiasa dikontrol dan diimbangi (checks and balances), maka pemerintah, dan para pendukungnya, harus dapat bersikap membuka diri atas kelompok-kelompok seperti itu. Karena demokrasi pada dasarnya tidak menghendaki munculnya pemerintah yang eksklusif, tanpa koreksi dan kritik publik.

Apakah KAMI kemudian dapat memainkan peran oposisi? Jawabannya mungkin saja. Oposisi bukan barang haram bahkan adalah konsekuensi logis dalam kehidupan demokrasi yang sejalan dengan nilai-nilai demokrasi terutama penghargaan atas perbedaan pendapat. Selain itu, keberadaan oposisi juga dalam rangka memberikan alternatif pemikiran atau kebijakan kepada pemerintah, yang bisa jadi lebih aspiratif.

Peran semacam ini biasanya dimainkan oleh partai politik dalam parlemen, sebagai bagian dari pola hubungan di antara lembaga-lembaga trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif) untuk memainkan peran checks and balances. Namun dalam praktiknya, bisa saja peran itu tidak berjalan dengan efektif. Salah satunya karena lembaga eksekutif dan legilatif dikuasai oleh satu kubu politik.

Dalam situasi seperti ini, peran kontrol dapat dimainkan oleh kelompok-kelompok di luar lembaga-lembaga trias politica tersebut. Di antaranya adalah kalangan yang disebut sebagai pressure group atau kelompok penekan, yang kehadirannya bertujuan memberikan masukan atau koreksi atau sikap atau kebijakan pemerintah.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More