Nuansa Budaya dalam Maskulinitas Intelijen

Senin, 07 Oktober 2024 - 18:40 WIB
Dunia intelijen selalu identik dengan maskulinitas, terutama kekuatan atau kejantanan. Pada budaya pop, di film-film seperti James Bond, Mission Impossible, ataupun Kingsman yang ramai dinikmati publik, kita bisa mengenal istilah agen atau mata-mata yang semua dibingkau sebagai sosok yang “macho” dengan keunggulan fisik maupun kecerdasan di atas rata-rata. Pun demikian dengan kemampuan mereka menguasai berbagai peralatan canggih yang superior.

Kendati demikian, tidak semua hal yang terkait dengan intelijen selalu diasosiasikan dengan maskulinitas. Beberapa hal dalam dunia intelijen jauh dari kata maskulinitas, tetapi vital untuk sektor intelijen. Misalnya, nuansa budaya yang memperkaya dunia intelijen serta menjadi faktor determinan yang penting dalam pengumpulan informasi di lapangan.

Joseph Nye (2011), seorang ilmuwan politik terkenal, menekankan pada pentingnya penggunaan kekuatan halus (soft power) atau kemampuan untuk mempengaruhi orang lain melalui ketertarikan daripada paksaan atau koersif yang telah menjadi semakin penting dalam praktik hubungan internasional. Kekuatan halus pun, terutama kemampuan untuk memahami dan mampraktikkan nilai-nilai budaya, menurut penulis, juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan operasi intelijen.

Kekuatan halus melalui pemahaman kecerdasan budaya dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk memahami dan menavigasi budaya yang berbeda secara efektif sehingga menjadi faktor integral bagi keterampilan seorang agen intelijen. Hal tersebut memungkinkan mereka untuk berbaur dengan target secara mulus (soft), membangun kepercayaan dengan sumber lokal, dan, pada akhirnya, mengumpulkan informasi yang akurat.

Misalnya, selama Perang Dunia I, Sekutu mempekerjakan agen yang fasih berbahasa asing dan sangat akrab dengan budaya setempat, seperti yang dilakukan oleh Mata Hari. Agen-agen ini mampu menjalin hubungan dengan individu-individu kunci di pihak lawan sehingga pengumpulan data dapat dilaksanakan dengan lebih efisien dan efektif.

Pemahaman budaya juga membantu badan intelijen untuk menghindari kesalahan yang merugikan. Kesalahan interpretasi nilai-nilai budaya dapat menyebabkan kesalahpahaman, ketidakpercayaan, dan bahkan kegagalan operasional. Misalnya, ketika sebuah operasi intelijen dilakukan dengan prinsip koersif atau pemaksaan sangat mungkin untuk menemui kegagalan sejak awal.

Sementara itu, apabila operasi intelijen dilakukan dengan prinsip kekuatan halus, yang dipenuhi dengan kooptasi, maka sangat mungkin ada penerimaan tanpa paksaan sehingga target mau memberikan informasi secara suka rela.

Salah satunya contohnya adalah dalam kasus “Project Black Venus” pada dekade 1990-an. Dalam operasi intelijen tersebut, seorang agen intelijen Korea Selatan menyamar sebagai pengusaha yang ingin memfilmkan iklan untuk perusahaan Korea Selatan di lokasi Korea Utara yang indah (AFP, 2018). Agen tersebut bahkan bertemu secara langsung dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il, selain mampu mengumpulkan informasi-informasi krusial tentang program nuklir Korea Utara.

Faktor budaya menjadi vital karena dapat dijadikan instrumen persuasif yang menjanjikan tanpa meninggalkan jejak koersivitas tertentu. Lain lagi dengan kisah Bahasa Cia-Cia yang dipreservasi dengan Hangeul di wilayah Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, Indonesia.

Walaupun belum terbukti apakah ditunggangi operasi intelijen atau tidak, tetapi proyek preservasi dengan kekuatan halus, berupa aksara dan Bahasa Korea di sana, terbilang efektif tanpa ada jejak koersif sehingga penerimaan kekuatan halus melalui kooptasi yang tinggi pun terjadi (Mulyaman, 2021).
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More