Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan Beri 8 Langkah Quick Wins ke Prabowo-Gibran
Sabtu, 14 September 2024 - 22:19 WIB
Direktur Eksekutif Humanis Foundation Tunggal Pawestri menyebutkan dalam konteks pensiun dini PLTU, juga penting untuk menyoroti dampak langsung terhadap masyarakat rentan, khususnya pekerja, kelompok informal dan komunitas yang bergantung pada sektor ini.
"Kebijakan perlindungan jaminan sosial, program pelatihan, dan penciptaan lapangan kerja lokal baru harus menjadi bagian integral dari transisi agar tidak memperburuk kesejahteraan masyarakat yang paling terdampak,” ucapnya.
Ketiga, perlu ada insentif pembiayaan untuk pengalihan ke energi terbarukan, serta pemberdayaan dan peningkatan akses pembiayaan UMKM dan koperasi untuk pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat.
"Kemudahan ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemandirian energi di tingkat masyarakat sehingga dapat mengantisipasi pertumbuhan kebutuhan energi ke depan," ujarnya.
Keempat, aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (ESG/LST) perlu dijadikan persyaratan untuk mendapatkan perizinan investasi.
“Tanpa perlindungan (safeguard) yang kuat, pengembangan energi terbarukan dapat membawa konsekuensi signifikan bagi lingkungan dan masyarakat setempat. Apalagi, lembaga keuangan global semakin ketat menyoroti aspek LST dalam menyalurkan pembiayaan proyek,“ ungkap Direktur Iklim dan Transformasi Pasar Yayasan WWF-Indonesia Irfan Bakhtiar.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan juga menyoroti perlunya evaluasi dari program yang sudah berjalan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden terpilih perlu meninjau ulang program bahan bakar nabati, yakni pencampuran biodiesel 50% (B50) dan bioetanol 10% (E10), serta program co-firing biomassa di PLTU.
"Kedua program ini harus mempertimbangkan aspek keadilan sosial, daya dukung lingkungan, serta daya saing industri dalam negeri," ucapnya.
Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menjelaskan program B50 harus dievaluasi kembali karena studi Madani menunjukkan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan sudah berada di ambang batas kritis. Artinya, pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit yang menjadi bahan baku biodiesel harus dihentikan.
Juru Kampanye Forest Watch Anggi Prayoga menambahkan praktik co-firing justru akan memperpanjang usia PLTU dan mendorong perluasan pembukaan hutan untuk memenuhi target produksi biomassa kayu melalui Hutan Tanaman Energi (HTE). Akibatnya, Indonesia justru akan menanggung utang emisi.
"Kebijakan perlindungan jaminan sosial, program pelatihan, dan penciptaan lapangan kerja lokal baru harus menjadi bagian integral dari transisi agar tidak memperburuk kesejahteraan masyarakat yang paling terdampak,” ucapnya.
Ketiga, perlu ada insentif pembiayaan untuk pengalihan ke energi terbarukan, serta pemberdayaan dan peningkatan akses pembiayaan UMKM dan koperasi untuk pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat.
"Kemudahan ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemandirian energi di tingkat masyarakat sehingga dapat mengantisipasi pertumbuhan kebutuhan energi ke depan," ujarnya.
Keempat, aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (ESG/LST) perlu dijadikan persyaratan untuk mendapatkan perizinan investasi.
“Tanpa perlindungan (safeguard) yang kuat, pengembangan energi terbarukan dapat membawa konsekuensi signifikan bagi lingkungan dan masyarakat setempat. Apalagi, lembaga keuangan global semakin ketat menyoroti aspek LST dalam menyalurkan pembiayaan proyek,“ ungkap Direktur Iklim dan Transformasi Pasar Yayasan WWF-Indonesia Irfan Bakhtiar.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan juga menyoroti perlunya evaluasi dari program yang sudah berjalan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden terpilih perlu meninjau ulang program bahan bakar nabati, yakni pencampuran biodiesel 50% (B50) dan bioetanol 10% (E10), serta program co-firing biomassa di PLTU.
"Kedua program ini harus mempertimbangkan aspek keadilan sosial, daya dukung lingkungan, serta daya saing industri dalam negeri," ucapnya.
Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menjelaskan program B50 harus dievaluasi kembali karena studi Madani menunjukkan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan sudah berada di ambang batas kritis. Artinya, pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit yang menjadi bahan baku biodiesel harus dihentikan.
Juru Kampanye Forest Watch Anggi Prayoga menambahkan praktik co-firing justru akan memperpanjang usia PLTU dan mendorong perluasan pembukaan hutan untuk memenuhi target produksi biomassa kayu melalui Hutan Tanaman Energi (HTE). Akibatnya, Indonesia justru akan menanggung utang emisi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda