MUI Sebut Ada Ketidaklaziman dalam Pengajuan RUU BPIP
Kamis, 27 Agustus 2020 - 09:58 WIB
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menemukan ketidaklaziman dalam Pengajuan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dari pemerintah kepada DPR. Jika RUU BPIP yang diusulkan bukan merupakan pengganti RUU HIP, pemerintah harus mengikuti prosedur yang berlaku.
Melalui edaran Pandangan dan Sikap MUI tentang RUU HIP dan BPIP bernomor Kep-1571/DP MUI/VIII/2020, Sekretaris Umum MUI Anwar Abbas menyampaikan ketidaklaziman tersebut terkait dengan status RUU BPIP yang diajukan oleh pemerintah dan setelah proses pengajuan RUU HIP atas inisiatif DPR.
Seperti diberitakan, sejak tanggal 16 Juli 2020, polemik RUU HIP memasuki babak baru. Menko Polhukam Mahfud MD pada tanggal itu menyerahkan draf RUU BPIP kepada Ketua DPR RI di Kantor DPR RI, Jakarta.
( ).
Belum terpublikasikanya Surat Presiden atas RUU HIP sampai saat ini, membuat status draf RUU BPIP itu rancu, apakah RUU BPIP itu usulan baru atau lampiran Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Surat Presiden terhadap RUU HIP.
"Semestinya, pengajuannya dilakukan dalam Rapat Kerja antara DPR dan Pemerintah. Sementara jika Presiden mengajukan RUU BPIP sebagai usulan baru, maka wajib melakukan penarikan RUU HIP dari proses pembahasan, mencabutnya dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan memasukkan RUU BPIP itu ke dalam perubahan Prolegnas," ujar Anwar dalam siaran persnya.
( ).
Buya Anwar menambahkan, ketika Pemerintah dan DPR menjadikan RUU BPIP sebagai RUU di luar Prolegnas, wajib merujuk dan melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019.
Bunyi pasal tersebut; Dalam keaadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas mencakup: a) untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam: dan b). Untuk megatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan urgensi nasional atau suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislatif dan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum.
Melalui edaran Pandangan dan Sikap MUI tentang RUU HIP dan BPIP bernomor Kep-1571/DP MUI/VIII/2020, Sekretaris Umum MUI Anwar Abbas menyampaikan ketidaklaziman tersebut terkait dengan status RUU BPIP yang diajukan oleh pemerintah dan setelah proses pengajuan RUU HIP atas inisiatif DPR.
Seperti diberitakan, sejak tanggal 16 Juli 2020, polemik RUU HIP memasuki babak baru. Menko Polhukam Mahfud MD pada tanggal itu menyerahkan draf RUU BPIP kepada Ketua DPR RI di Kantor DPR RI, Jakarta.
( ).
Belum terpublikasikanya Surat Presiden atas RUU HIP sampai saat ini, membuat status draf RUU BPIP itu rancu, apakah RUU BPIP itu usulan baru atau lampiran Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Surat Presiden terhadap RUU HIP.
"Semestinya, pengajuannya dilakukan dalam Rapat Kerja antara DPR dan Pemerintah. Sementara jika Presiden mengajukan RUU BPIP sebagai usulan baru, maka wajib melakukan penarikan RUU HIP dari proses pembahasan, mencabutnya dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan memasukkan RUU BPIP itu ke dalam perubahan Prolegnas," ujar Anwar dalam siaran persnya.
( ).
Buya Anwar menambahkan, ketika Pemerintah dan DPR menjadikan RUU BPIP sebagai RUU di luar Prolegnas, wajib merujuk dan melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019.
Bunyi pasal tersebut; Dalam keaadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas mencakup: a) untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam: dan b). Untuk megatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan urgensi nasional atau suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislatif dan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum.
tulis komentar anda