Penerapan Pancasila Komprehensif Kunci Kuatnya Keberagaman

Kamis, 22 Agustus 2024 - 14:35 WIB
Direktur Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat/PPIM UIN Jakarta, Didin Syafruddin. FOTO/IST
JAKARTA - Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dianggap sebagai ikatan yang mampu menyatukan banyak perbedaan. Melalui pemahaman Pancasila yang komprehensif, rakyat Indonesia diajak untuk saling mengenal satu dengan lainnya tanpa memandang suku, ras, ataupun agama. Pemahaman ini perlu ditanamkan sejak dini, bahkan mulai dari lembaga pendidikan formal, hingga satuan pendidikan keagamaan.

Direktur Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat/PPIM UIN Jakarta, Didin Syafruddin menjelaskan, Pancasila harus diterapkan secara menyeluruh, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan pendidikan. Menurutnya, Pancasila dapat menjembatani perbedaan dari berbagai latar belakang.

"Pancasila harus diikutsertakan dalam pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pada institusi dengan identitas agama tertentu. Akan sangat baik dan indah kalau lembaga pendidikan beridentitas agama mampu menyambut baik kehadiran dari warga negara dari latar belakang agama yang berbeda," kata Didin di Jakarta, Rabu (21/8/2024).

Pengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta ini menambahkan, sekarang semakin banyak lembaga pendidikan yang homogen atau hanya mewadahi satu latar belakang agama. Menurutnya, Pancasila akan benar-benar diterapkan jika dalam lembaga pendidikan seperti ini juga memberikan pembelajaran yang membuat peserta didiknya bisa menghargai perbedaan agama di Indonesia, khususnya dalam kegiatan sehari-hari.



Ia berpendapat, adanya aspek keterbukaan antarwarga negara yang berbeda keyakinan atau latar belakang, membuat masing-masing golongan masyarakat bisa mengenal secara langsung berbagai penganut agama lainnya. Dengan demikian, masyarakat tidak mudah terprovokasi melalui medsos ataupun sumber-sumber yang tidak bisa diacak asal usulnya.

"Dengan saling mengenal karena adanya rasa ingin membuka diri, masyarakat Indonesia mampu membentengi dirinya masing-masing dalam menghadapi hoax atau kabar bohong. Derasnya sebaran informasi yang tidak terkendali seringkali disalahgunakan untuk memprovokasi perpecahan," imbuh Didin.

Didin yang berhasil menyelesaikan studinya di McGill University di Kanada ini menceritakan pula pengalamannya melakukan penelitian tentang kadar toleransi di kalangan anak-anak dan remaja. Dia menyimpulkan, anak-anak dan remaja yang toleran terhadap perbedaan agama adalah mereka yang punya pengalaman langsung hidup dalam kemajemukan.

Misalnya saja, ketika anak SMA disurvei dan ditemukan toleran, ternyata berdasarkan riset karena memiliki pengalaman dengan latar belakang majemuk di sekolah atau lingkungan tempat tinggalnya. Nah, karena itu keberagaman merupakan persyaratan untuk menunjukkan penerimaan dan penghargaan pada perbedaan.

"Pada tingkat makro, anak-anak dan remaja yang punya kecenderungan intoleransi itu rupanya juga mereka yang merasakan kesenjangan secara sosial dan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hidup berpengaruh pada persepsi seseorang dalam menyikapi perbedaan latar belakang. Kami menyebut fenomena ini sebagai deprivasi ekonomi. Kesulitan-kesulitan hidup yang ada, dipersepsikan oleh mereka yang mengalaminya sebagai ketidakadilan. Ini yang kemudian juga dapat memicu timbulnya sikap intoleransi," kata Didin.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More