Reshuffle Kabinet di Akhir Masa Jabatan, PDIP: Jokowi Meragukan Kapasitas Prabowo Membentuk Pemerintahan
Senin, 19 Agustus 2024 - 13:50 WIB
JAKARTA - Juru Bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Chico Hakim mengkritik perombakan atau reshuffle kabinet di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Chico melihat Jokowi tampaknya meragukan kapasitas Presiden Terpilih Prabowo Subianto dalam membentuk pemerintahan yang akan datang.
“Presiden memang memiliki hak prerogatif untuk mengganti menteri, namun hak tersebut dibatasi oleh konstitusi, waktu reshuffle, dan persyaratan untuk menjadi menteri,” kata Chico dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (19/8/2024).
Pertama, lanjut dia, menteri haruslah sosok yang menguasai hal-ihwal kementerian yang dipimpinnya. Karena menteri adalah representasi pemerintahan dalam pengertian sehari-hari. “Di sini, hak prerogatif dibatasi oleh ketentuan tentang kompetensi yang mengharuskan menteri untuk memahami bidang kementeriannya,” tuturnya.
Kedua, presiden dengan dibantu oleh para menteri bertanggung jawab menjalankan konstitusi dengan setulus-tulusnya. Artinya, kata Chico, menteri juga bertanggung jawab atas pencapaian tujuan bernegara. “Dari sisi momentum, reshuffle ini dilakukan hanya 43 hari kerja sebelum presiden mengakhiri jabatannya, yang menyentuh aspek efektivitas menteri baru dalam memahami kementerian yang dipimpinnya,” katanya.
Chico berpendapat, dalam waktu yang sangat singkat tersebut, sangatlah sulit untuk mewujudkan efektivitas pemerintahan, kecuali ada agenda-agenda politik tersembunyi di dalamnya. “Jadi, reshuffle ini lebih kuat motif politiknya dibandingkan dengan menjalankan perintah konstitusi,” ungkapnya.
Ketiga, ditinjau dari waktu, dengan adanya presiden dan wakil presiden terpilih yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024, maka pemerintahan saat ini masuk pada tahapan transisi atau tahapan demisioner. Menurut Chico, secara etika seharusnya pemerintahan tidak mengambil keputusan strategis dalam masa transisi ini.
“Pak Jokowi tampaknya meragukan kapasitas Pak Prabowo dalam membentuk pemerintahan yang akan datang, sehingga dilakukan tindakan mendahului. Dalam konteks ini, reshuffle dimaknai sebagai upaya Presiden Jokowi menempatkan orang-orangnya, yang nantinya akan menimbulkan persoalan ewuh pakewuh ketika pemerintahan baru terbentuk dan presiden baru harus membentuk kabinetnya sesuai hak prerogatifnya,” ujarnya.
“Secara politik, penggantian menteri hanya dalam waktu 43 hari kerja sebelum masa jabatan presiden berakhir merupakan bentuk konsolidasi kekuasaan Jokowi di akhir masa jabatannya,” pungkasnya.
“Presiden memang memiliki hak prerogatif untuk mengganti menteri, namun hak tersebut dibatasi oleh konstitusi, waktu reshuffle, dan persyaratan untuk menjadi menteri,” kata Chico dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (19/8/2024).
Pertama, lanjut dia, menteri haruslah sosok yang menguasai hal-ihwal kementerian yang dipimpinnya. Karena menteri adalah representasi pemerintahan dalam pengertian sehari-hari. “Di sini, hak prerogatif dibatasi oleh ketentuan tentang kompetensi yang mengharuskan menteri untuk memahami bidang kementeriannya,” tuturnya.
Kedua, presiden dengan dibantu oleh para menteri bertanggung jawab menjalankan konstitusi dengan setulus-tulusnya. Artinya, kata Chico, menteri juga bertanggung jawab atas pencapaian tujuan bernegara. “Dari sisi momentum, reshuffle ini dilakukan hanya 43 hari kerja sebelum presiden mengakhiri jabatannya, yang menyentuh aspek efektivitas menteri baru dalam memahami kementerian yang dipimpinnya,” katanya.
Chico berpendapat, dalam waktu yang sangat singkat tersebut, sangatlah sulit untuk mewujudkan efektivitas pemerintahan, kecuali ada agenda-agenda politik tersembunyi di dalamnya. “Jadi, reshuffle ini lebih kuat motif politiknya dibandingkan dengan menjalankan perintah konstitusi,” ungkapnya.
Ketiga, ditinjau dari waktu, dengan adanya presiden dan wakil presiden terpilih yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024, maka pemerintahan saat ini masuk pada tahapan transisi atau tahapan demisioner. Menurut Chico, secara etika seharusnya pemerintahan tidak mengambil keputusan strategis dalam masa transisi ini.
“Pak Jokowi tampaknya meragukan kapasitas Pak Prabowo dalam membentuk pemerintahan yang akan datang, sehingga dilakukan tindakan mendahului. Dalam konteks ini, reshuffle dimaknai sebagai upaya Presiden Jokowi menempatkan orang-orangnya, yang nantinya akan menimbulkan persoalan ewuh pakewuh ketika pemerintahan baru terbentuk dan presiden baru harus membentuk kabinetnya sesuai hak prerogatifnya,” ujarnya.
“Secara politik, penggantian menteri hanya dalam waktu 43 hari kerja sebelum masa jabatan presiden berakhir merupakan bentuk konsolidasi kekuasaan Jokowi di akhir masa jabatannya,” pungkasnya.
(rca)
Lihat Juga :
tulis komentar anda