Menakar Merdeka Belajar sebagai Gerakan Revolusi Pendidikan
Selasa, 25 Agustus 2020 - 19:24 WIB
Suyitman
Guru MTsN 1 Kebumen
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mencanangkan reformasi sistem pendidikan nasional melalui Program Merdeka Belajar. Sungguh sebuah gebrakan yang pantas diapresiasi dan didukung semua pihak. Sistem pendidikan Indonesia memang harus diperbaiki. Namun, cukupkah hanya dengan Merdeka Belajar?
Kini, Merdeka Belajar sudah memasuki episode kelima, yakni Guru Penggerak. Program lainnya terkait dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), penggantian Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Dari lima program merdeka belajar, ada tiga program yang dapat diandalkan. Program tersebut yaitu: penyelenggaraan USBN, penggantian Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, dan zonasi PPDB yang lebih fleksibel. USBN tidak ada lagi dan diganti dengan ujian di satuan pendidikan. Kebijakan ini membuat guru merdeka dalam melakukan evaluasi pembelajaran. Guru dapat menggunakan bentuk penilaian yang komprehensif, bukan hanya tes tulis.
Begitu juga dengan penggantian UN dengan AKM dan Survei Karakter. Penghapusan UN menjadi angin segar bagi kemerdekaan belajar. Selama ini UN telah mengubah kebebasan belajar menjadi sekadar latihan soal. Guru tahu, tidak ada jurus jitu untuk meraih nilai UN yang tinggi, kecuali dengan latihan soal sebanyak-banyaknya yang kadang membuat siswa terbebani. UN juga menyebabkan pembelajaran hanya terfokus pada mata pelajaran tertentu. Banyak siswa yang menganggap remeh mata pelajaran non-UN.
Penggantian UN dengan AKM dan Survei Karakter sangat berpeluang untuk mengubah wajah pendidikan di Indonesia. Apalagi soal AKM merujuk pada model soal Program for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Saat ini posisi Indonesia berada pada peringkat bawah baik berdasarkan Tes PISA maupun TIMSS. Soal-soal PISA dan TIMSS mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi yang selama ini belum banyak dikenalkan kepada siswa.
Penggantian UN juga sejalan dengan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru. Kebijakan ini membuat siswa dapat belajar di sekolah terdekat, tidak peduli berapa jumlah nilainya, meski sekolah terdekatnya dulunya merupakan sekolah favorit. PPDB Zonasi membuat psikis siswa merdeka dari beban sebagai “anak bodoh” karena tidak bisa diterima di sekolah yang ada di dekatnya.
Kurang Efektif
Guru MTsN 1 Kebumen
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mencanangkan reformasi sistem pendidikan nasional melalui Program Merdeka Belajar. Sungguh sebuah gebrakan yang pantas diapresiasi dan didukung semua pihak. Sistem pendidikan Indonesia memang harus diperbaiki. Namun, cukupkah hanya dengan Merdeka Belajar?
Kini, Merdeka Belajar sudah memasuki episode kelima, yakni Guru Penggerak. Program lainnya terkait dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), penggantian Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Dari lima program merdeka belajar, ada tiga program yang dapat diandalkan. Program tersebut yaitu: penyelenggaraan USBN, penggantian Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, dan zonasi PPDB yang lebih fleksibel. USBN tidak ada lagi dan diganti dengan ujian di satuan pendidikan. Kebijakan ini membuat guru merdeka dalam melakukan evaluasi pembelajaran. Guru dapat menggunakan bentuk penilaian yang komprehensif, bukan hanya tes tulis.
Begitu juga dengan penggantian UN dengan AKM dan Survei Karakter. Penghapusan UN menjadi angin segar bagi kemerdekaan belajar. Selama ini UN telah mengubah kebebasan belajar menjadi sekadar latihan soal. Guru tahu, tidak ada jurus jitu untuk meraih nilai UN yang tinggi, kecuali dengan latihan soal sebanyak-banyaknya yang kadang membuat siswa terbebani. UN juga menyebabkan pembelajaran hanya terfokus pada mata pelajaran tertentu. Banyak siswa yang menganggap remeh mata pelajaran non-UN.
Penggantian UN dengan AKM dan Survei Karakter sangat berpeluang untuk mengubah wajah pendidikan di Indonesia. Apalagi soal AKM merujuk pada model soal Program for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Saat ini posisi Indonesia berada pada peringkat bawah baik berdasarkan Tes PISA maupun TIMSS. Soal-soal PISA dan TIMSS mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi yang selama ini belum banyak dikenalkan kepada siswa.
Penggantian UN juga sejalan dengan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru. Kebijakan ini membuat siswa dapat belajar di sekolah terdekat, tidak peduli berapa jumlah nilainya, meski sekolah terdekatnya dulunya merupakan sekolah favorit. PPDB Zonasi membuat psikis siswa merdeka dari beban sebagai “anak bodoh” karena tidak bisa diterima di sekolah yang ada di dekatnya.
Kurang Efektif
Lihat Juga :
tulis komentar anda