Tambang Korporatisme Negara
Minggu, 04 Agustus 2024 - 16:04 WIB
Negara saat itu melakukan perpanjangan tangan ke dalam berbagai wadah kemasyarakatan yang telah dikotak-kotakkan dalam fungsi-fungsi seperti PWI untuk urusan jurnalistik, SPSI untuk urusan perburuhan, MUI untuk urusan keagamaan Islam, atau ICMI untuk urusan kesarjanaan. Bahkan kekuatan mahasiswa coba diredam pula dengan menerapkan kebijakan NKK/BKK dan memaksakan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) untuk menggantikan Dewan Mahasiswa yang dikenal anti-Orde Baru.
Dalam era pasca-Reformasi, pemerintahan Jokowi telah melakukan berbagai cara untuk memastikan berjalannya pembangunan ekonomi yang diwarisi dari masterplan pembangunan era SBY dan menjaga arus investasi dengan beragam regulasi dan kebijakan pendukung. UU Ciptakerja dan UU Minerba memperkuat kendali pemerintahan pusat (resentralisasi) terhadap sektor-sektor strategis pembangunan yang mana bertentangan dengan otonomi daerah dan pelayanan publik yang mendekat kepada warga.
Yang lebih disayangkan, Jokowi di akhir pemerintahannya, tidak merasa cukup dengan mengatur isi sektor-sektor strategis, tapi juga memastikan aktor-aktor pengontrol dan penyeimbang berada di bawah naungannya. Revisi UU KPK yang sudah kita rasakan akibatnya, begitu pula sejumlah revisi UU dalam Prolegnas di DPR, telah dan potensial menjadi ajang perpanjangan tangan pemerintah ke dalam lembaga quasi-negara.
Pemberian izin pengelolaan pertambangan kepada ormas keagamaan menjadi skenario berikutnya dari upaya kontrol negara atas agenda-agenda politik yang non-demokratis, eksklusif, dan tidak sadar lingkungan. Inilah proyek percobaan (pilot project) yang diterapkan berdasarkan pragmatisme pasca-Pilpres-Pileg dan kalkulasi elektoral pra-Pilkada Serentak.
Patut dikiritisi lebih jauh jika ini bukanlah episode terakhir dari korporatisme negara atas kekuatan sipil. Aktor yang memiliki otonomi dan kekuatan, seperti perguruan tinggi dan organisasi-organisasi mahasiswa intra dan ekstra kampus jangan-jangan juga sudah masuk dalam skema korporatis untuk mengelola tambang atau sumber daya ekonomi lainnya.
Sinyalemennya sudah terlihat pada munculnya figur-figur akademik, ormas, dan organisasi mahasiswa yang mendeskreditkan para penentang kebijakan perizinan tambang ini. Juga bisa dibaca kembali di dalam UU Ciptakerja yang menyederhanakan partisipasi publik ke dalam keterlibatan akademisi dan konsultan profesional.
Wacana Hegemonik
Negara yang berusaha memikat ormas ke dalam gengamannya itu sudah jelas, meskipun tidak mengagetkan. Setiap rezim selalu punya hasrat dan cara untuk menyederhanakan masalah dan mengontrol yang dianggap bisa bermasalah. Apalagi dengan kecenderungan Jokowi di periode kedua pemerintahannya yang tidak urung melepas pedal gas pertumbuhan ekonomi.
Yang tragis justru pada hilangnya sikap kritis ormas keagamaan yang telah sekian lama menjadi kontrol sosial dan suara nurani publik. Para tokoh dan proponen intelektual dari ormas keagamaan tidak saja melakukan pembelaan diri, mereka malah menyerang para kritikus lingkungan yang secara by default pasti sangat vokal terhadap kebijakan korporatis negara.
Tidak kurang tulisan dan komentar dari unsur pengurus PB NU dan PP Muhammadiyah yang berupaya melakukan delegitimasi dan pemburukan citra aktivis dan intelektual pro-lingkungan dan perubahan iklim. Upaya lebih jauh untuk melunakkan sikap kritis dalam jamaah masing-masing ormas keagamaan tentunya berjalan pula di balik yang tersaji di media dan ruang publik digital.
Dalam era pasca-Reformasi, pemerintahan Jokowi telah melakukan berbagai cara untuk memastikan berjalannya pembangunan ekonomi yang diwarisi dari masterplan pembangunan era SBY dan menjaga arus investasi dengan beragam regulasi dan kebijakan pendukung. UU Ciptakerja dan UU Minerba memperkuat kendali pemerintahan pusat (resentralisasi) terhadap sektor-sektor strategis pembangunan yang mana bertentangan dengan otonomi daerah dan pelayanan publik yang mendekat kepada warga.
Yang lebih disayangkan, Jokowi di akhir pemerintahannya, tidak merasa cukup dengan mengatur isi sektor-sektor strategis, tapi juga memastikan aktor-aktor pengontrol dan penyeimbang berada di bawah naungannya. Revisi UU KPK yang sudah kita rasakan akibatnya, begitu pula sejumlah revisi UU dalam Prolegnas di DPR, telah dan potensial menjadi ajang perpanjangan tangan pemerintah ke dalam lembaga quasi-negara.
Pemberian izin pengelolaan pertambangan kepada ormas keagamaan menjadi skenario berikutnya dari upaya kontrol negara atas agenda-agenda politik yang non-demokratis, eksklusif, dan tidak sadar lingkungan. Inilah proyek percobaan (pilot project) yang diterapkan berdasarkan pragmatisme pasca-Pilpres-Pileg dan kalkulasi elektoral pra-Pilkada Serentak.
Patut dikiritisi lebih jauh jika ini bukanlah episode terakhir dari korporatisme negara atas kekuatan sipil. Aktor yang memiliki otonomi dan kekuatan, seperti perguruan tinggi dan organisasi-organisasi mahasiswa intra dan ekstra kampus jangan-jangan juga sudah masuk dalam skema korporatis untuk mengelola tambang atau sumber daya ekonomi lainnya.
Sinyalemennya sudah terlihat pada munculnya figur-figur akademik, ormas, dan organisasi mahasiswa yang mendeskreditkan para penentang kebijakan perizinan tambang ini. Juga bisa dibaca kembali di dalam UU Ciptakerja yang menyederhanakan partisipasi publik ke dalam keterlibatan akademisi dan konsultan profesional.
Wacana Hegemonik
Negara yang berusaha memikat ormas ke dalam gengamannya itu sudah jelas, meskipun tidak mengagetkan. Setiap rezim selalu punya hasrat dan cara untuk menyederhanakan masalah dan mengontrol yang dianggap bisa bermasalah. Apalagi dengan kecenderungan Jokowi di periode kedua pemerintahannya yang tidak urung melepas pedal gas pertumbuhan ekonomi.
Yang tragis justru pada hilangnya sikap kritis ormas keagamaan yang telah sekian lama menjadi kontrol sosial dan suara nurani publik. Para tokoh dan proponen intelektual dari ormas keagamaan tidak saja melakukan pembelaan diri, mereka malah menyerang para kritikus lingkungan yang secara by default pasti sangat vokal terhadap kebijakan korporatis negara.
Tidak kurang tulisan dan komentar dari unsur pengurus PB NU dan PP Muhammadiyah yang berupaya melakukan delegitimasi dan pemburukan citra aktivis dan intelektual pro-lingkungan dan perubahan iklim. Upaya lebih jauh untuk melunakkan sikap kritis dalam jamaah masing-masing ormas keagamaan tentunya berjalan pula di balik yang tersaji di media dan ruang publik digital.
Lihat Juga :
tulis komentar anda