Pengembaraan Tak Pernah Usai Seniman Nurhidayat
Jum'at, 26 Juli 2024 - 10:45 WIB
Nurhidayat mengaku bahwa tuntutan intelektual untuk berkarya, menjadi serasa terasing saat sama amunisi artistiknya makin membludak. “Simbol-simbol itu melekat pada saya selama di Perancis, setidaknya itu anggapan bagi diri saya sendiri,” tegasnya.
Tajuk utama Pameran solonya, Flaneur yang artinya keluyuran atau “menggelandang tak tentu arah” di tengah kota, mengamati orang-orang serta diamati –to seen and to be seen-- adalah sebentuk ikhtiar Nurhidayat menyelami hakekatnya sebagai pengembara.
Terutama sebagai perantau---atau bisa dikatakan juga Flaneur ala Nurhidayat—dengan kegigihan perjuangan totalnya menghidupi keluarganya, serta eksistensinya sebagai seniman di Perancis. Kita bisa menyaksikan di karya, misalnya pada judul Flanerie #1, 2024, Acrylic on canvas, 100 x 90 cm atau Flanerie #3, 2024, Drawing on canvas, 110 x 90 cm.
“Saya memulai kerja setiap hari, dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam non-stop di studio, yang benar-benar upaya serius menghadapi persaingan para seniman sepenjuru Eropa, melobi para art lover dan pemilik galeri untuk bisa berpameran, serta diakui di ajang Biennale. Sisanya, memaknai pengembaraan fisik dan imajinasi tentang kota-kota, sebab saya tinggal di area beberapa kilometer dari kota Lyon, Perancis” ujarnya.
Narasi Pop Art ala Perancis
Bagi Kurator Heru Hikayat, yang menemani Nurhidayat dalam pameran solonya ini menyebut Nurhidayat sebagai seniman Tanah air, yang berhasil mencatat partisipasinya di ajang bergengsi Biennale d’Issy dan tampil di Galerie Marcel Strouk yang sohor itu.
Komentarnya sebagai sahabat lama sekaligus kurator tentang Nurhidayat adalah praktik artistiknya sebagai seniman yang mewarisi generasi Figuratif-Naratif di Perancis. “Ia mewakili Asia dan Indonesia, Nurhidayat dengan metode artistiknya dengan cara mengamati, menelisik, mencerap, memahami, lingkungan dan kebudayaan baru tempat Nurhidayat hidup sekarang,” ujarnya di tajuk kuratorial.
Ketika Amerika Serikat, sebagai pendulum utama menggoyang magnet seni rupa Barat paska perang dunia ke- II dan hadirnya gerakan pop art yang mengkritisi kehidupan urban, saat sama era post-imprisionisme Eropa di akhir abad dan awal abad ke-20 berakhir. Demikian juga manifesto Surealisme memudar dan merangseknya gaya abstrak, maka serta-merta kehadiran spirit pop-art mengemuka menggedor jantung Eropa.
Gerakan Figuratif-Naratif dengan cepat menggejala dengan isyarat warna-warna mencolok bak poster, bill-board, cover majalah gaya hidup, serta hiruk-pikuk sebagian kelas menengah-atas Eropa sebagai borjuisme anyar. Fenomena itu meruyak dengan mitos-mitos benda-benda konsumen yang diberhalakan, dan tentu saja Nurhidayat mau tak mau terinspirasi.
Tajuk utama Pameran solonya, Flaneur yang artinya keluyuran atau “menggelandang tak tentu arah” di tengah kota, mengamati orang-orang serta diamati –to seen and to be seen-- adalah sebentuk ikhtiar Nurhidayat menyelami hakekatnya sebagai pengembara.
Terutama sebagai perantau---atau bisa dikatakan juga Flaneur ala Nurhidayat—dengan kegigihan perjuangan totalnya menghidupi keluarganya, serta eksistensinya sebagai seniman di Perancis. Kita bisa menyaksikan di karya, misalnya pada judul Flanerie #1, 2024, Acrylic on canvas, 100 x 90 cm atau Flanerie #3, 2024, Drawing on canvas, 110 x 90 cm.
“Saya memulai kerja setiap hari, dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam non-stop di studio, yang benar-benar upaya serius menghadapi persaingan para seniman sepenjuru Eropa, melobi para art lover dan pemilik galeri untuk bisa berpameran, serta diakui di ajang Biennale. Sisanya, memaknai pengembaraan fisik dan imajinasi tentang kota-kota, sebab saya tinggal di area beberapa kilometer dari kota Lyon, Perancis” ujarnya.
Narasi Pop Art ala Perancis
Bagi Kurator Heru Hikayat, yang menemani Nurhidayat dalam pameran solonya ini menyebut Nurhidayat sebagai seniman Tanah air, yang berhasil mencatat partisipasinya di ajang bergengsi Biennale d’Issy dan tampil di Galerie Marcel Strouk yang sohor itu.
Komentarnya sebagai sahabat lama sekaligus kurator tentang Nurhidayat adalah praktik artistiknya sebagai seniman yang mewarisi generasi Figuratif-Naratif di Perancis. “Ia mewakili Asia dan Indonesia, Nurhidayat dengan metode artistiknya dengan cara mengamati, menelisik, mencerap, memahami, lingkungan dan kebudayaan baru tempat Nurhidayat hidup sekarang,” ujarnya di tajuk kuratorial.
Ketika Amerika Serikat, sebagai pendulum utama menggoyang magnet seni rupa Barat paska perang dunia ke- II dan hadirnya gerakan pop art yang mengkritisi kehidupan urban, saat sama era post-imprisionisme Eropa di akhir abad dan awal abad ke-20 berakhir. Demikian juga manifesto Surealisme memudar dan merangseknya gaya abstrak, maka serta-merta kehadiran spirit pop-art mengemuka menggedor jantung Eropa.
Gerakan Figuratif-Naratif dengan cepat menggejala dengan isyarat warna-warna mencolok bak poster, bill-board, cover majalah gaya hidup, serta hiruk-pikuk sebagian kelas menengah-atas Eropa sebagai borjuisme anyar. Fenomena itu meruyak dengan mitos-mitos benda-benda konsumen yang diberhalakan, dan tentu saja Nurhidayat mau tak mau terinspirasi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda