Pembakaran Lahan oleh Masyarakat Berisiko Tinggi
Senin, 24 Agustus 2020 - 09:07 WIB
Pembukaan lahan dengan cara membakar punya risiko tinggi dan berbahaya akibat pergeseran (anomali) iklim. Pergeseran musim berkepanjangan itu menyebabkan lahan kering dan mudah terbakar sehingga pembakaran bisa melenceng dan justru berpotensi menjadi bencana.
Dari aspek regulasi, kegiatan membuka lahan dengan cara membakar kerap abai mengikuti ketentuan BMKG mengenai persyaratan dan waktu yang tepat untuk membuka lahan. Akibatnya, potensi karhutla bisa terjadi kapan saja. (Baca: Kapal Perang Paling Berbahaya Rusia Admiral Nakhimov Siap Dimunculkan Lagi)
Staf pengajar Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Basuki Sumawinata mengatakan, pembakaran lahan sebagai kearifan lokal yang dilakukan masyarakat lokal di Kalimantan Barat pada awalnya hanya dilakukan saat kegiatan perladangan yang berpindah. Namun, dengan kondisi saat ini, yakni perladangan menetap, kegiatan membuka lahan harus dikombinasikan dengan mekanisasi pertanian agar tidak berisiko tinggi.
Menurut Basuki, kondisi tanah di Kalimantan Barat agak berbeda dengan tanah di Jawa. Hal ini karena tanah di Kalimantan miskin hara dan tanah bereaksi masam. Tanpa memberikan tambahan unsur hara untuk bercocok tanam di daerah tersebut, hasilnya sangat minim. (Baca juga: Banyak Spekulasi terkait kebakaran gedung Kejagung, Ini Kata Mahfud MD)
Para petani tradisional melakukan pembakaran lahan dengan tujuan membersihkan lahan sambil memberikan abu pada tanah. Pemberian abu bisa dipandang sebagai pemberian oksida dari unsur hara yang meningkatkan pH tanah atau menurunkan kemasaman dan membuat unsur hara lebih tersedia.
“Pembakaran lahan ini hanya cocok untuk bercocok tanam padi palawija. Biasanya, setelah melewati beberapa bulan tanah kembali ke pH asalnya. Begitu juga setelah unsur hara tercuci, maka tanah menjadi miskin lagi,” kata Basuki di Jakarta, kemarin. (Lihat videonya: Pembunuh Keji Satu Keluarga di Sukoharjo Ditangkap)
Karena itu, petani untuk siklus berikutnya membuka lahan di lokasi lain, yang setelah beberapa tahun mungkin saja kembali ke siklus semula. Menurut dia, pembukaan lahan dengan membakar, tidak cocok untuk membangun perkebunan karena lahan yang dibutuhkan sangat luas. Selain itu, kebutuhan hara untuk perkebunan berlangsung terus menerus sehingga tidak bisa dicukupi abu yang terbentuk saat pembakaran lahan pada saat pembersihan lahan. (Sudarsono)
Dari aspek regulasi, kegiatan membuka lahan dengan cara membakar kerap abai mengikuti ketentuan BMKG mengenai persyaratan dan waktu yang tepat untuk membuka lahan. Akibatnya, potensi karhutla bisa terjadi kapan saja. (Baca: Kapal Perang Paling Berbahaya Rusia Admiral Nakhimov Siap Dimunculkan Lagi)
Staf pengajar Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Basuki Sumawinata mengatakan, pembakaran lahan sebagai kearifan lokal yang dilakukan masyarakat lokal di Kalimantan Barat pada awalnya hanya dilakukan saat kegiatan perladangan yang berpindah. Namun, dengan kondisi saat ini, yakni perladangan menetap, kegiatan membuka lahan harus dikombinasikan dengan mekanisasi pertanian agar tidak berisiko tinggi.
Menurut Basuki, kondisi tanah di Kalimantan Barat agak berbeda dengan tanah di Jawa. Hal ini karena tanah di Kalimantan miskin hara dan tanah bereaksi masam. Tanpa memberikan tambahan unsur hara untuk bercocok tanam di daerah tersebut, hasilnya sangat minim. (Baca juga: Banyak Spekulasi terkait kebakaran gedung Kejagung, Ini Kata Mahfud MD)
Para petani tradisional melakukan pembakaran lahan dengan tujuan membersihkan lahan sambil memberikan abu pada tanah. Pemberian abu bisa dipandang sebagai pemberian oksida dari unsur hara yang meningkatkan pH tanah atau menurunkan kemasaman dan membuat unsur hara lebih tersedia.
“Pembakaran lahan ini hanya cocok untuk bercocok tanam padi palawija. Biasanya, setelah melewati beberapa bulan tanah kembali ke pH asalnya. Begitu juga setelah unsur hara tercuci, maka tanah menjadi miskin lagi,” kata Basuki di Jakarta, kemarin. (Lihat videonya: Pembunuh Keji Satu Keluarga di Sukoharjo Ditangkap)
Karena itu, petani untuk siklus berikutnya membuka lahan di lokasi lain, yang setelah beberapa tahun mungkin saja kembali ke siklus semula. Menurut dia, pembukaan lahan dengan membakar, tidak cocok untuk membangun perkebunan karena lahan yang dibutuhkan sangat luas. Selain itu, kebutuhan hara untuk perkebunan berlangsung terus menerus sehingga tidak bisa dicukupi abu yang terbentuk saat pembakaran lahan pada saat pembersihan lahan. (Sudarsono)
(ysw)
tulis komentar anda