Potensi Kemunduran Reformasi Militer, Peneliti Minta DPR Tunda Revisi UU TNI
Minggu, 14 Juli 2024 - 16:15 WIB
JAKARTA - DPR diminta menunda revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ( UU TNI ). Hal ini dikatakan oleh Peneliti Hak Asasi Manusia (HAM) dan Sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie.
Sorotan utama terdapat dalam usulan perubahan pada dua Pasal, yakni Pasal 39 melalui penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit TNI dan Pasal 47 yang membuka ruang perluasan bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini.
Menurutnya, usulan perubahan pada dua Pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat.
"Setara Institute mendorong agar DPR RI menunda pembahasan Revisi UU TNI dan terlebih dahulu memperluas partisipasi bermakna publik, para pakar, akademisi, dan masyarakat sipil," dikutip dalam keterangannya, Minggu (14/7/2024).
Menurutnya, usulan perubahan pada Pasal-pasal tersebut juga kontradiktif dan tidak relevan dengan upaya penguatan TNI dalam menghadapi perkembangan spektrum ancaman yang semakin luas.
Terutama usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI dapat menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara.
"Jika sebelumnya hanya pada bidang sosial-politik, melalui usulan ini bertambah pada bidang ekonomi. Usulan ini dapat menjadi pintu masuk bagi kemunduran (regresi) profesionalitas militer, sebab memberi legitimasi aktivitas komersiil bagi prajurit TNI dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara," katanya.
Selain itu, perubahan yang diusulkan berupa penambahan ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga (K/L) lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.
"Berkaitan dengan usulan perubahan Pasal 47 tersebut, Naskah Akademik (NA) yang disusun juga memperlihatkan kemunduran paradigma mengenai Dwifungsi TNI," tegasnya.
Dia menyampaikan, penempatan TNI pada K/L dalam praktiknya tidak sebatas yang tercantum pada K/L di Pasal 47 Ayat (2) UU TNI saja. Sebab terdapat perkembangkan kebutuhan SDM pada bidang-bidang tertentu, sehingga prajurit TNI dapat diperbantukan pada K/L yang memerlukan keahliannya.
"Meskipun tidak berkaitan dengan politik praktis secara langsung, tetapi perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer. Dampak jangka panjangnya menimbulkan hutang budi politik karena semua ruang-ruang K/L tersebut dibuka berdasarkan kebijakan Presiden, yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi dalam Pemilihan Umum," tuturnya.
Sorotan utama terdapat dalam usulan perubahan pada dua Pasal, yakni Pasal 39 melalui penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit TNI dan Pasal 47 yang membuka ruang perluasan bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini.
Menurutnya, usulan perubahan pada dua Pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat.
"Setara Institute mendorong agar DPR RI menunda pembahasan Revisi UU TNI dan terlebih dahulu memperluas partisipasi bermakna publik, para pakar, akademisi, dan masyarakat sipil," dikutip dalam keterangannya, Minggu (14/7/2024).
Menurutnya, usulan perubahan pada Pasal-pasal tersebut juga kontradiktif dan tidak relevan dengan upaya penguatan TNI dalam menghadapi perkembangan spektrum ancaman yang semakin luas.
Terutama usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI dapat menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara.
"Jika sebelumnya hanya pada bidang sosial-politik, melalui usulan ini bertambah pada bidang ekonomi. Usulan ini dapat menjadi pintu masuk bagi kemunduran (regresi) profesionalitas militer, sebab memberi legitimasi aktivitas komersiil bagi prajurit TNI dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara," katanya.
Selain itu, perubahan yang diusulkan berupa penambahan ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga (K/L) lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.
"Berkaitan dengan usulan perubahan Pasal 47 tersebut, Naskah Akademik (NA) yang disusun juga memperlihatkan kemunduran paradigma mengenai Dwifungsi TNI," tegasnya.
Dia menyampaikan, penempatan TNI pada K/L dalam praktiknya tidak sebatas yang tercantum pada K/L di Pasal 47 Ayat (2) UU TNI saja. Sebab terdapat perkembangkan kebutuhan SDM pada bidang-bidang tertentu, sehingga prajurit TNI dapat diperbantukan pada K/L yang memerlukan keahliannya.
"Meskipun tidak berkaitan dengan politik praktis secara langsung, tetapi perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer. Dampak jangka panjangnya menimbulkan hutang budi politik karena semua ruang-ruang K/L tersebut dibuka berdasarkan kebijakan Presiden, yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi dalam Pemilihan Umum," tuturnya.
(maf)
tulis komentar anda