Iduladha 2024 Beda dengan Arab Saudi, Wamenag: Enggak Masalah
Jum'at, 07 Juni 2024 - 20:35 WIB
JAKARTA - Arab Saudi telah menetapkan Hari Raya Iduladha 1445 hijriyah jatuh pada Minggu 16 Juni 2024. Sedangkan pemerintah Indonesia menetapkan Iduladha jatuh pada 17 Juni 2024.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Saiful Rahmat Dasuki mengatakan, bukan menjadi permasalahan dengan perbedaan itu.
Sebab kata dia, Indonesia menggunakan kriteria baru MABIMS, imkanur rukyat dianggap memenuhi syarat apabila posisi hilal mencapai ketinggian 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat.
"Itu bagian dari sebuah proses, enggak jadi masalah dan kita tetap pada kriteria MABIMS dan sudah disepakati bahwa tidak menjadi masalah utama insya Allah," kata Wamenag saat ditemui di Kantor Kemenag, Thamrin, Jakarta, Jumat (7/6/2024).
Alasan perbedaan tersebut juga karena adanya kondisi geografis. Sehingga terjadi perbedaan derajat maupun elongasi pada bulan. "Salah satunya kondisi alam yang berbeda, wilayah kita berbeda itu, elongasi dan lain- lain," jelas Wamenag.
Hal senada disampaikan Dirjen Bimas Islam, Kamaruddin Amin yang mengungkapkan, adanya perbedaan zona waktu. Sehingga hal tersebut kerapkali terjadi.
"Beda zona, beda waktu masuknya magrib kan beda, dilakukan rukyat pada saat itu kan, beda itu biasa, karena beda zona jauh sekali perbedaan kita jadi hal yang seringkali terjadi," tuturnya.
"Karena tidak ada hukum global enggak bisa karena perbedaan, bumi, rotasi bulan yang tidak memungkinkan bisa sama," sambungnya.
Sehingga menurutnya, bagi umat Islam yang menjalankan puasa Arafah dan berada di Arab Saudi maka mengikuti ketetapan di sana. Sementara umat muslim di Indonesia mengikuti ketetapan pemerintah di Tanah Air.
"Yang di sana mengikuti di sana orang yang di Saudi mengikuti keputusan Saudi. Di sini kita mengikuti keputusan sini," katanya.
"Jadi hal yang sangat biasa terjadi. Enggak masalah karena beda memang tempat, biasa itu hampir setiap tahun biasa sekali terjadi," tutupnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Saiful Rahmat Dasuki mengatakan, bukan menjadi permasalahan dengan perbedaan itu.
Sebab kata dia, Indonesia menggunakan kriteria baru MABIMS, imkanur rukyat dianggap memenuhi syarat apabila posisi hilal mencapai ketinggian 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat.
"Itu bagian dari sebuah proses, enggak jadi masalah dan kita tetap pada kriteria MABIMS dan sudah disepakati bahwa tidak menjadi masalah utama insya Allah," kata Wamenag saat ditemui di Kantor Kemenag, Thamrin, Jakarta, Jumat (7/6/2024).
Alasan perbedaan tersebut juga karena adanya kondisi geografis. Sehingga terjadi perbedaan derajat maupun elongasi pada bulan. "Salah satunya kondisi alam yang berbeda, wilayah kita berbeda itu, elongasi dan lain- lain," jelas Wamenag.
Hal senada disampaikan Dirjen Bimas Islam, Kamaruddin Amin yang mengungkapkan, adanya perbedaan zona waktu. Sehingga hal tersebut kerapkali terjadi.
"Beda zona, beda waktu masuknya magrib kan beda, dilakukan rukyat pada saat itu kan, beda itu biasa, karena beda zona jauh sekali perbedaan kita jadi hal yang seringkali terjadi," tuturnya.
"Karena tidak ada hukum global enggak bisa karena perbedaan, bumi, rotasi bulan yang tidak memungkinkan bisa sama," sambungnya.
Sehingga menurutnya, bagi umat Islam yang menjalankan puasa Arafah dan berada di Arab Saudi maka mengikuti ketetapan di sana. Sementara umat muslim di Indonesia mengikuti ketetapan pemerintah di Tanah Air.
"Yang di sana mengikuti di sana orang yang di Saudi mengikuti keputusan Saudi. Di sini kita mengikuti keputusan sini," katanya.
"Jadi hal yang sangat biasa terjadi. Enggak masalah karena beda memang tempat, biasa itu hampir setiap tahun biasa sekali terjadi," tutupnya.
(maf)
tulis komentar anda